Persiapan penanganan rumah sakit terhadap pasien Covid-19. (Imam Rahmanto) |
"Istrinya Paklik (paman) meninggal, mam,"
Sebuah pesan singkat masuk begitu saja. Kabar duka itu dikirimkan oleh seorang kerabat di Makassar. Ia baru saja melayat ke rumah duka. Dalam keping ingatan saya, rumah itu pula yang pernah menjadi tempat berteduh saya selama setahun mengawali kuliah di kota Anging Mammiri.
Pesan duka selalu datang tanpa terduga.
Parahnya lagi, sepupu saya itu menyebutkan penyebab kematian salah satu anggota keluarga itu karena Covid-19. Pihak keluarga tak diperbolehkan membawa pulang jenazah ke kampung halamannya ke Jawa di tengah pandemi Covid-19. Dengan berat hati pula, mereka harus menerima keputusan bahwa jenazah itu mesti dimakamkan dengan protokol Covid-19.
Kehilangan itu tentu akan menjadi satu hal paling membekas dalam benak mereka selamanya. Ditambah lagi, ini pertama kalinya mereka menguburkan sanak saudara jauh dari kampung halaman. Sebenar-benarnya jauh dari keluarga. Tanah rantauan telah menjadi tempat berpulang sekaligus, tanpa pulang yang seutuhnya.
Ayah saya menyusulkan kesedihannya lewat sambungan telepon. Suaranya serak menahan luka. Orang yang begitu dihormatinya ternyata lebih dulu meninggalkan kami. Ayah, yang pernah menitipkan saya kepada keluarga mereka, bahkan belum sempat bertanya kabar atau sekadar salam setelah terpisah jarak bermil-mil sangat jauh. Jarak itu pun kini membentang lintas dimensi. Tak tergapai lagi.
"Buklikmu itu orang sangat baik, nak. Penyayang," kata ayah, yang menyelipkan doa terbaik untuk kerabat.
Kehilangan itu bukan satu-satunya Pengalaman Selama Pandemi Covid-19 merebak tanpa ampun. Saudara ipar saya juga harus meregang nyawa. Meski sebenarnya bukan karena terpapar virus yang bermula dari negeri Tirai Bambu itu.
Ia mengalami kecelakaan motor. Malangnya, tak mendapatkan penanganan lebih cepat. Tubuhnya yang penuh luka tertahan hingga semalaman di puskesmas. Pihak puskesmas kesulitan mencari rumah sakit rujukan di tengah pandemi. Kapasitas rumah sakit nyaris collapse, karena jumlah pasien Covid-19 yang membeludak. Tenaga kesehatan juga dibuat kewalahan.
Di tempat sekarang, saya juga menjumpai lebih banyak kematian karena pandemi Covid-19. Orang-orang yang baru dikenal beberapa hari, tiba-tiba disusul berita kematiannya. Bahkan, orang-orang ramah yang baru dikenal lewat telepon (sebagai narasumber), telanjur berpulang tanpa pernah bertukar senyum dan pandangan. Saya hanya bisa memandangi fotonya yang terpajang di media sosial (medsos) beriring segala jenis belasungkawa.
Bahkan, kehilangan dari orang-orang yang tak dikenal sama sekali, jauh lebih banyak.
***
Kehilangan-kehilangan itu seharusnya tak pernah lebih dini menjumpai kehidupan kita. Terlalu banyak kehilangan yang hadir lebih banyak dalam setahun belakangan ini. Entah, kehilangan seperti apa lagi yang akan menjumpai dalam beberapa waktu ke depannya.
Pesan duka, memang, selalu datang tanpa terduga.
Pandemi Covid-19 lah yang membalikkannya. Setiap jam, dalam hitungan hari, beranjak berminggu-minggu, kita akan terbiasa menduga-duga pesan duka apa yang akan tiba. Kita belajar terbiasa. Tapi, takkan pernah bisa. Manusia takkan pernah terbiasa dengan kehilangan-kehilangan (kepergian) orang yang dikasihinya.
Rapid test. (Imam Rahmanto) |
Wabah yang saat ini terjadi tidak pernah memandang sejauh apa kita bisa tersenyum. Orang-orang dengan bodi tegap atau praktisi kesehatan pun sudah teramat biasa menghiasi angka-angka kasus Covid-19. Orang dengan kebiasaan paling higienis dan introvert juga tetap rentan. Apalagi dengan orang-orang dengan kegiatan di luar rumah hampir setiap hari, seperti saya. Mungkin, bisa dibilang, kita hanya perlu menunggu giliran mencapai jebakan pandemi Covid-19 ini.
"Ada baiknya setiap orang, siapapun itu, menganggap dirinya 'positif' Covid-19, sebelum ada hasil swab PCR di atas kertas yang menyebutkan dirinya negatif. Karena bisa saja kita yang merasa sehat-sehat, justru menjadi penyebab (carrier) bagi orang lain positif Covid-19," pesan seorang dokter dalam kesempatan wawancara.
Saya sungguh bersyukur masih bisa terhindar dari penularan wabah Covid-19 ini. Dua kali rapid (biasa dan antigen), tak ada hasil reaktif. Sementara, pekerjaan saya tak pernah libur bertemu dan berinteraksi dengan orang lain. Dari yang masuk gang-gang hingga gedung-gedung mentereng. Dari orang-orang pinggiran sampai pejabat kelas atas. Dari petugas (kesehatan) hingga penyintas.
Tiga kali saya "lolos" dari status kontak erat dengan beberapa orang yang dinyatakan positif Covid-19. Tak terkecuali dengan kasus positif yang sempat menimpa Wali Kota Bogor, Bima Arya. Teman-teman saya yang mengikuti press conference sehari sebelumnya, ramai-ramai disasar untuk menjalani swab test dan isolasi.
Angka kasus yang berentetan di tengah pandemi Covid-19 ini membuat siapa saja bakal mengurut dada. Angka kematian yang menyusul sekejap membuat dada berdebar lebih kencang.
Bukankah menyebalkan? (Sumber: Kemenkes) |
Sungguh, tak ada keberuntungan yang bisa bertahan lebih lama. Selayaknya bom waktu, kita tinggal menunggu waktu masing-masing. Pun, sekuat-kuatnya saya dalam menjaga diri, barangkali akan merasakan sakit itu pada waktunya. Parahnya lagi, beban anak rantau di tengah pandemi Covid-19 ini menjadi semakin berlipat ganda. Sudah tak ada keluarga, teman hidup, terancam pula hidupnya.
"Si A katanya positif Covid-19 ya? Artis Z juga kemarin di medsos lagi isolasi karena kena juga," obrolan yang akan lebih sering terngiang-ngiang di telinga.
Sudah terlalu banyak kita melihat kematian dan kehilangan akibat wabah. Pemerintah sebenarnya telah melakukan berbagai upaya untuk menangani Pandemi Covid-19 yang menimpa seluruh belahan dunia ini. Mulai dari penegakan protokol kesehatan (prokes), pembatasan (tidak begitu) ketat, hingga penutupan jalan seperti di kota ini; Ganjil-Genap weekend.
Alternatif yang lebih mengundang optimisme tiba di tahap Vaksinasi Covid-19.
Vaksin COVID-19 (Sinovac) memang masih menjadi kontroversi di tengah masyarakat. Tak peduli itu urusan agama atau urusan politis. Bahkan, di kota besar penyangga ibu kota negara ini, tidak semuanya setuju 100 persen. Seorang teman sempat mendapati mural-mural yang menyuarakan penolakan. Suara yang samar-samar itu dengan lantangnya tak menginginkan vaksin. Menganggap vaksin sebagai hal yang sial. Fucksin, seperti kata mereka.
Keisengan dalam bentuk mural. (Foto: Sofyansyah) |
Meski begitu, langkah sekecil apapun untuk meredakan pandemi Covid-19 sebenarnya patut dicoba. Kita terlalu kolot dengan urusan religi dan ideologi hingga memperpendek "bom waktu" pandemi.
Sudah terlalu banyak kehilangan yang menimpa masyarakat Indonesia. Kehilangan yang terlalu cepat, kematian yang berlangsung singkat. Bahkan, atas kematian itu orang-orang akan merasa kehilangan yang lebih pilu: kehilangan waktu terakhir bersama orang terkasihnya.
Di sisi lainnya, kita harus percaya bahwa wabah ini akan berakhir, meski belum diketahui sampai kapan. Yang perlu dilakukan saat ini adalah bertahan sekuat tenaga. Survive. Percaya dengan upaya tenaga kesehatan. Tak abai pula dengan masker dan kebersihan tangan. Sembari, tentunya, tetap bersiap atas kehilangan-kehilangan lain yang akan kita dengar saban hari. (menghela napas dalam-dalam)
"Mankind's been fighting plagues from the start. We get our behinds kicked for a while, then we bounce back. It's nature correcting herself, restoring some balance." [Hershel Greene, The Walking Dead, serial]
Barangkali benar, alam sedang me-restart kehidupannya. (Imam Rahmanto) |
Tulisan ini diikutkan dalam #TantanganBlogAM2021.
--Imam Rahmanto--
- Februari 22, 2021
- 1 Comments