Pot baru retak dan dipaksa dengan ikatan karet gelang. (Imam Rahmanto) |
Rak buku berdampingan dengan Sansevieria (lidah mertua), yang semakin rimbun karena membiakkan tiga anakan baru. Di atas puncak tumoukan-tumpukan buku itu, saya memajang Golden photos atau sirih gading yang sudah memanjangkan sulurnya. Jenis kaktus Stapelia gigantea sengaja saya tempatkan di sebelah buku yang berjejer.
Akh, saya belum menyebutkan Peace lily atau yang biasa dikenal dengan Spathiphyllum di sebelah meja kecil pojokan kamar. Malah, potongan-potongan daun Janda bolong (Monstera adansonii) sengaja saya jadikan hiasan meja dalam bentuk propagasi.
Nah kan, saya jadi menyebutkan terlalu banyak. Antusias sih.
Saya sendiri tak menyangka, keinginan untuk sekadar mengubah kamar menjadi aesthetic berbuah perkenalan dengan teman tanaman itu. "Hai, saya Imam. Kamu siapa?"
Dari yang semula hanya mencari tanaman meja, seperti sukulen dan kaktus, saya malah terbawa suasana mengamati banyak tanaman lainnya. Sedikit demi sedikit mencocokkan tanaman indoor dari dunia maya dan dunia nyata. Hingga akhirnya nama-nama itu terpilin tanpa sadar dalam kepala.
Suatu kali, saya berkunjung ke rumah seorang rekan kerja di media yang sama. Di depan rumahnya, berdesakan pot-pot tanaman hias. Mata saya langsung nyalang melihat berbagai macam tanaman hias yang dimilikinya. Mengamati satu per satu hingga mencocokkan namanya dari memori kepala.
"Kamu suka tanaman juga, mam?" tanya istri rekan saya itu. Bibir saya telanjur tak bisa direm melafalkan nama tanaman itu satu per satu.
Dari sana pula, saya lebih sering main ke rumah rekan saya itu. Saya biasanya akan membawa pulang beberapa jenis tanaman hingga botol-botol bekas untuk propagasi dari rumahnya. Kaktus centong yang kini bertunas di parkiran motor indekos saya, berasal dari halaman belakang rumahnya. Haha...
Eksperimen menumbuhkan dan merawat dari kecil. (Imam Rahmanto) |
Ada kesenangan tersendiri dalam melihat hijau dan tanaman itu. Hasrat untuk tak-melakukan-apa-apa tersalurkan melalui tanaman itu. Pikiran yang ruwet karena pekerjaan dan berita buruk pandemi juga bisa sedikit tersalurkan dengan "pelajaran" baru. Sekali-kali, tanaman bisa diajak bicara dan curhat. Dia akan mendengarkan tanpa menghakimi. Ehem.
Sebenarnya, perjalanan saya "seolah-olah" akrab dengan mereka juga tidak berjalan mulus begitu saja. Beberapa kali, ada tanaman yang mati. Bahkan, sekelas sukulen atau kaktus yang perawatannya tak perlu disiram pun bisa mati di tangan saya. Terhitung sudah tiga sukulen jenis Haworthia yang tewas. Entah karena apa. Kekurangan cahaya matahari kah? Kekurangan air kah? Atau jangan-jangan kekurangan kasih sayang? I dunno, exactly...
***
Terkadang saya merasa merawat tanaman itu cukup sulit. Bahkan, nyaris berputus asa karena melihatnya tak tumbuh selama beberapa pekan. Misal, saya menjumpai tangkai daun Sansevieria yang membusuk setelah tunas barunya (anakan) muncul di sekitarnya. dan itu tak berlangsung hanya sekali. Dalam pot dan tanah yang berbeda, hal itu terjadi berulang kali.
"Barangkali, tangkai yang lama selalu mengorbankan diri untuk tunas yang baru," begitu pikir saya.
Di sisi lain, ada juga lidah mertua yang sama sekali tak menunjukkan pertumbuhan dan cenderung bertemu dengan kematian. Saya tak bisa mencegahnya. Kecewa saja terhadap diri sendiri, yang bisa abai dengan tanaman yang perawatannya paling mudah seperti mereka.
Tanaman janda bolong saya juga nyaris bertemu dengan maut. Gegara media tanamnya dihinggapi banyak hama, kaki seribu kecil, pertumbuhannya terhambat. Saya menyiramnya dengan insektisida. Imbasnya, daun-daun baru tak muncul lagi. Selama beberapa pekan justru menunjukkan tanda-tanda kematian karena semakin layu. Bahkan, hal itu tetap terjadi setelah saya menggantikan tanah atau media tanamnya yang baru.
Karena itulah, saya memotong beberapa tangkai daun Janda Bolong itu dipropagasikan. Setidaknya, bisa tetap hidup sebagai penghias meja.
Seiring waktu, akar-akar dari propagasi itu tumbuh. Sisa tangkai tanaman yang masih ada di dalam pot juga tak pernah saya buang. Lama-kelamaan malah menunjukkan "kebangkitan" kembali. Dari bawah tanah, kuncup baru muncul dan merekah menjadi daun "bolong" yang baru. Eureeka!
Bukankah menyenangkan menyaksikan hal-hal sederhana semacam itu;
kuncup daun Peace liliy yang baru merekah,
daun Sirih Gading yang merambat semakin panjang,
tunas baru Sansivieria menyeruak dari bawah tanah,
gulungan daun Janda Bolong yang perlahan membuka,
akar-akar propagasi memanjang dan bercabang dari baalik botol kaca,
Tanpa bunga, semua tetap terasa indah. Saya tetap berbahagia menjadi saksi hidup atas semua hal kecil itu. Tak peduli jika perbedaannya hanya memanjang 1 centimeter.
Sirih gading ini sudah berpindah tangan. (Imam Rahmanto) |
Barangkali, itu juga menggambarkan bagaimana kehidupan kita.
Sesuatu yang kita rawat dan perjuangkan menunjukkan sedikit "perbedaan" sudah bisa menyumbangkan rona bahagia. Jatuh dan gagal adalah hal biasa. Kadang kala, kita sudah telanjur trauma dan berhenti atas sesuatu yang tak berjalan sesuai ekspektasi. Padahal, barangkali seperti merawat tanaman itu, kita hanya belum menyadari bahwa ada akar-akar yang tumbuh di bawah tanah dan sedang membentuk tunas dan kuncup baru.
Menikmati proses adalah tujuan dari hidup. Terus berjalan, meski tertatih-tatih dan butuh banyak berlatih, adalah esensinya. []
--Imam Rahmanto--
- Oktober 23, 2020
- 0 Comments