Saya sebenarnya sudah lama ingin menuliskan ini. Sekian detik setelah dibangkitkan kenangan tentang secuil foto di akun penyimpanan online (Flickr) saya. Sayangnya, pikiran saya selalu terdistraksi banyak hal selama beberapa hari (atau malah beberapa bulan belakangan).
Entah bagaimana caranya, foto itu mengendap cukup lama. Saya baru sadar, pernah mengambil gambarnya lewat kamera saku (pocket) milik Bunda. Ia meminjamkannya, untuk riset karya ilmiah di sekolah. Iseng-iseng, saya mengambil beberapa gambar yang ada di rumah. Tanpa pernah menyadari, kelak foto itu akan menjadi salah satu puzzle kenangan di labirin kepala.
Seperti dandelion yang tertiup angin, satu per satu ingatan itu menyergap isi kepala. Kadang kala, mengundang air mata. Yah, jikalau itu tentang keluarga, saya biarkan saja arus air di pelupuk mata itu mengalir...
Kepala memang punya mesin waktunya sendiri...
Foto itu memang hanya menunjukkan gerobak usang. Berlatar belakang tumpukan gabus-gabus kosong. Sayangnya, kepala saya berpilin-pilin ke ingatan tentang keluarga di balik foto itu.
Rumah berlantai tanah. Dinding anyaman bambu. Rumah yang hanya merupakan modifikasi kolong rumah milik orang lain. Sekat pemisah kamar dan ruang tamu hanya gabungan dari dinding tripleks dan karton yang disusun-susun. Tak ada ruang tamu dengan kursi yang dilengkapi meja alakadarnya.
Mata saya dibuat berkaca-kaca akan ingatan masa silam itu. Bagi saya, bukanlah hal kelam mengingat kehidupan yang penuh dengan keterbatasan. Ada unsur kekuatan di dalamnya. Entah dari mana lagi saya mendapati mata yang penuh belas kasih dari seorang ibu. Suara-suara racauan amarah dari ayah, yang hanya tak tahu cara terbaik meluapkan rasa sayang.
Bukankah kasih sayang seorang ayah diperlihatkan dari kerja kerasnya? Saban hari, ayah akan menggandeng dua kerajang penuh dengan ikan untuk dibawa berkeliling. Ia menjelajah kampung demi kampung. Dari terbawah, hingga ke atas yang berbukit-bukit.
Karena lelahnya itu, ia meninggalkan pekerjaan berdagang es teler di pasar. Pekerjaan yang dilakoni selama dua kali dalam seminggu itu diambil alih ibu. Itu pun, setelah ayah mendorong gerobaknya ke pasar. Usai berjualan, ayah pula yang akan mendorong gerobaknya sampai ke rumah.
Ayah pernah berseloroh, "Sekali-kali kamu yang coba mendorong gerobaknya ke pasar. Masa dikalah sama si......anu...."
Saya hanya bisa menanggapinya dengan tersenyum kecut. Jalan menanjak ke pasar bisa membuat tubuh kecil saya tertimpa gerobak. Cukuplah bantuan saya di bidang kebersihan "cuci mangkok" dan beli batu es saja. Jangan ditambah-tambahi lagi dengan keinginan terpendam ayah itu.
Dulu, ayah mengidam-idamkan anaknya jadi seorang laki-laki yang sebenar-benarnya laki-laki. Dari segi kekuatan, hingga cara bergaul. Sayangnya, anak sulungnya semasa SMA lebih banyak berkawan dengan buku TTS dan majalah Bobo. Uang hasil upah bekerjanya membantu berjualan es teler ludes hanya untuk dua hal, yang dianggap ayah dan ibunya tak berguna, itu. Sampai bertumpuk-tumpuk buku TTS di rumah, yang kadang diselingi dengan cover artis kondang masa itu.
Kelak, apa yang diidamkan ayah itu ternyata menjelma dalam bentuk yang lebih nyata. Bukan lagi soal kekuatan "lelaki" yang didamba-dambakannya. Atau keterampilan "lelaki" yang seharusnya diturunkannya untuk anak sulungnya. Laki-laki dalam bayangan kepala ayah kini, justru hidup untuk menghidupi dirinya dan keluarga. Barangkali, air mata ayah setiap kali mencium wajah anaknya tercetus dari ingatan masa silam itu.
"Seandainya ayah sehat bugar, kamu tidak akan seperti ini, nak," katanya, setiap kali bekas jambangnya menusuk-nusuk sebelah pipi saya.
Memang, sejak dulu, kehidupan kami teramat-sangat sederhana. Tak ada sedikit pun yang bisa dibanggakan dari kehidupan beralaskan tanah dan beratapkan lantai rumah orang lain itu. Hanya saja, setiap detail kehidupan itu mengingatkan saya untuk lebih banyak bersyukur. Kelak, ketika saya mencapai titik tertinggi dalam hidup ini, saya hanya perlu memutar ulang kembali kenangan-kenangan usang itu dan mengatakan,
"Saya pernah merasakan hidup seperti itu dan tak kan pernah lupa caranya, sesederhana itu." []
Belajen, yang menjadi kampung halaman kelahiran saya. (Imam Rahmanto) |
Entah bagaimana caranya, foto itu mengendap cukup lama. Saya baru sadar, pernah mengambil gambarnya lewat kamera saku (pocket) milik Bunda. Ia meminjamkannya, untuk riset karya ilmiah di sekolah. Iseng-iseng, saya mengambil beberapa gambar yang ada di rumah. Tanpa pernah menyadari, kelak foto itu akan menjadi salah satu puzzle kenangan di labirin kepala.
Seperti dandelion yang tertiup angin, satu per satu ingatan itu menyergap isi kepala. Kadang kala, mengundang air mata. Yah, jikalau itu tentang keluarga, saya biarkan saja arus air di pelupuk mata itu mengalir...
Kepala memang punya mesin waktunya sendiri...
Foto itu memang hanya menunjukkan gerobak usang. Berlatar belakang tumpukan gabus-gabus kosong. Sayangnya, kepala saya berpilin-pilin ke ingatan tentang keluarga di balik foto itu.
Rumah berlantai tanah. Dinding anyaman bambu. Rumah yang hanya merupakan modifikasi kolong rumah milik orang lain. Sekat pemisah kamar dan ruang tamu hanya gabungan dari dinding tripleks dan karton yang disusun-susun. Tak ada ruang tamu dengan kursi yang dilengkapi meja alakadarnya.
Mata saya dibuat berkaca-kaca akan ingatan masa silam itu. Bagi saya, bukanlah hal kelam mengingat kehidupan yang penuh dengan keterbatasan. Ada unsur kekuatan di dalamnya. Entah dari mana lagi saya mendapati mata yang penuh belas kasih dari seorang ibu. Suara-suara racauan amarah dari ayah, yang hanya tak tahu cara terbaik meluapkan rasa sayang.
Bukankah kasih sayang seorang ayah diperlihatkan dari kerja kerasnya? Saban hari, ayah akan menggandeng dua kerajang penuh dengan ikan untuk dibawa berkeliling. Ia menjelajah kampung demi kampung. Dari terbawah, hingga ke atas yang berbukit-bukit.
Karena lelahnya itu, ia meninggalkan pekerjaan berdagang es teler di pasar. Pekerjaan yang dilakoni selama dua kali dalam seminggu itu diambil alih ibu. Itu pun, setelah ayah mendorong gerobaknya ke pasar. Usai berjualan, ayah pula yang akan mendorong gerobaknya sampai ke rumah.
Ayah pernah berseloroh, "Sekali-kali kamu yang coba mendorong gerobaknya ke pasar. Masa dikalah sama si......anu...."
Saya hanya bisa menanggapinya dengan tersenyum kecut. Jalan menanjak ke pasar bisa membuat tubuh kecil saya tertimpa gerobak. Cukuplah bantuan saya di bidang kebersihan "cuci mangkok" dan beli batu es saja. Jangan ditambah-tambahi lagi dengan keinginan terpendam ayah itu.
Dulu, ayah mengidam-idamkan anaknya jadi seorang laki-laki yang sebenar-benarnya laki-laki. Dari segi kekuatan, hingga cara bergaul. Sayangnya, anak sulungnya semasa SMA lebih banyak berkawan dengan buku TTS dan majalah Bobo. Uang hasil upah bekerjanya membantu berjualan es teler ludes hanya untuk dua hal, yang dianggap ayah dan ibunya tak berguna, itu. Sampai bertumpuk-tumpuk buku TTS di rumah, yang kadang diselingi dengan cover artis kondang masa itu.
Kelak, apa yang diidamkan ayah itu ternyata menjelma dalam bentuk yang lebih nyata. Bukan lagi soal kekuatan "lelaki" yang didamba-dambakannya. Atau keterampilan "lelaki" yang seharusnya diturunkannya untuk anak sulungnya. Laki-laki dalam bayangan kepala ayah kini, justru hidup untuk menghidupi dirinya dan keluarga. Barangkali, air mata ayah setiap kali mencium wajah anaknya tercetus dari ingatan masa silam itu.
"Seandainya ayah sehat bugar, kamu tidak akan seperti ini, nak," katanya, setiap kali bekas jambangnya menusuk-nusuk sebelah pipi saya.
Memang, sejak dulu, kehidupan kami teramat-sangat sederhana. Tak ada sedikit pun yang bisa dibanggakan dari kehidupan beralaskan tanah dan beratapkan lantai rumah orang lain itu. Hanya saja, setiap detail kehidupan itu mengingatkan saya untuk lebih banyak bersyukur. Kelak, ketika saya mencapai titik tertinggi dalam hidup ini, saya hanya perlu memutar ulang kembali kenangan-kenangan usang itu dan mengatakan,
"Saya pernah merasakan hidup seperti itu dan tak kan pernah lupa caranya, sesederhana itu." []
--Imam Rahmanto--
- Juli 02, 2019
- 0 Comments