Selamat berhari raya!
Saya terpaksa merayakan lebaran jauh dari keluarga. Meski tergolong kota besar, Makassar cenderung sepi di hari raya semacam ini. Banyak yang lebih suka mencicipi makanan di kampung halaman. Setidaknya, mereka bisa merasakan nikmat udara segar dan jabat tangan yang lebih erat.
Hujan sudah menyapa sejak kemarin. Selepas subuh, ia datang kembali. Bunyi gemericiknya begitu jelas dari dalam kamar saya. Hanya plafon yang membatasi langit-langit kamar dengan atap bangunan indekos berlantai tiga ini. Meski sekadar gerimis, suaranya sudah berkejaran dengan takbir yang bersahutan di luar sana.
Di hari-hari biasa, saya akan memilih tidur lebih lama di pagi yang agak lembap itu. Hanya saja, kesialan saya 24 jam sebelumnya memaksa pikiran saya berbenah.
"Sudah jatuh, masa masih tertimpa tangga?"
Rencana mudik ke kampung halaman raib, sehari sebelumnya. Tiket pesawat saya hangus. Gara-garanya, kata mbak-mbak petugasnya, telat check in. Padahal, masih ada jeda 20 menit dari waktu keberangkatan ke Surabaya, 6.40 wita. Setelah berdebat dan meminta alternatif, saya harus merelakan tiket berharga selangit itu melayang.
Pergi dengan santai, pulang dengan gontai. Semua rencana yang tersusun untuk kampung halaman musnah seketika. Keluarga di kampung halaman hanya bisa mengomel sembari menyalahkan keteledoran saya terhadap waktu. Padahal, saya tak tidur semalaman suntuk. Hanya karena memilih salat Subuh terlebih dahulu sebelum berangkat, saya kehabisan waktu buat check in.
Sudahlah. Barangkali, memang bukan jatahnya saya untuk mudik kali ini. Saya "kebagian" jatah menjagai indekos yang kepalang sunyi dari para penghuni.
Saya pernah menjalani lebaran seperti ini. Tempat yang sama, enam tahun silam. Yang bisa saya lakukan hanya menitip salam dalam gumaman minta maaf. Setiap kali menonton video tentang "pulang" dan ibu, air mata saya tak terbendung. Saya bebas sesenggukan di sekretariat lembaga tanpa ada yang melihat. Betapa rindu, kala itu, menyayat-nyayat hati.
Nasihat ayah yang selalu bilang, "Laki-laki tidak boleh nangis," ternyata sia-sia belaka. Saya benar-benar sesenggukan dengan hidung yang basah, malam itu, enam tahun silam.
Belakangan, saya baru menyadari kalau nasihat itu hanya agar anaknya tidak cengeng dan melapor setelah dijahili teman sepermainannya.
Untuk kali ini, saya masih bisa menahan rindu yang terkumpul di dada. Tak ada sesak karena menahan katupnya. Mata juga sekadar berkaca-kaca melihat runutan status teman-teman mudik berseliweran di media sosial. Paling tidak, lebaran kali ini bukan karena tak ingin pulang. Atau memutus harapan berjumpa keluarga. Saya hanya "pulang" dalam bentuk yang berbeda.
Masih ada telepon hingga fasilitas video call yang menghubungkan saya dengan keluarga. Ayah juga sudah pasrah memaklumi keteledoran anak lelakinya ini. Lagipula, harga tiket terlampau mahal untuk dibeli kedua kalinya.
"Ya sudah, mending kamu simpan saja dulu untuk adikmu. Kayaknya bulan depan semesteran lagi," saran ayah.
Selesai mandi, saya mematut diri di depan cermin. Salat ied kali ini hanya berbekal kemeja putih dan sarung hitam. Kain sarung dengan motif khusus itu pemberian dari seorang perempuan yang menanam rindu dari jauh. Barangkali, dikiranya saya bisa gagah pakai sarung khas motif tenunan Aceh. Padahal, dipakaikan apa pun, saya tak bisa segagah aktor idolanya, Ji Chang-Wook. Hahaha
"Semoga kita cepat berlebaran bareng ya," doanya, yang akan ditampung malaikat di akhir Ramadan ini. Rindunya, terurai dan jatuh dalam bentuk hujan paling lembut pagi ini.
Rinai hujan itu turun membekap takbir yang bertalu-talu. Jemaah nyaris berhamburan. Beruntung, butirannya tak sampai membuat kuyup pakaian jemaah. Derainya perlahan menghilang jelang salat dan khutbah. Hanya menyisakan awan mendung.
Gerimis baru kembali menyapa selepas jemaah pulang ke rumah masing-masing. Tuhan tahu benar cara menyejukkan suasana 1 Syawal ini. Barangkali, sekaligus menghapus perasaan sepi dari orang-orang yang sendirian menjalani Idulfitri, seperti saya.[]
Saya terpaksa merayakan lebaran jauh dari keluarga. Meski tergolong kota besar, Makassar cenderung sepi di hari raya semacam ini. Banyak yang lebih suka mencicipi makanan di kampung halaman. Setidaknya, mereka bisa merasakan nikmat udara segar dan jabat tangan yang lebih erat.
Hujan sudah menyapa sejak kemarin. Selepas subuh, ia datang kembali. Bunyi gemericiknya begitu jelas dari dalam kamar saya. Hanya plafon yang membatasi langit-langit kamar dengan atap bangunan indekos berlantai tiga ini. Meski sekadar gerimis, suaranya sudah berkejaran dengan takbir yang bersahutan di luar sana.
Di hari-hari biasa, saya akan memilih tidur lebih lama di pagi yang agak lembap itu. Hanya saja, kesialan saya 24 jam sebelumnya memaksa pikiran saya berbenah.
"Sudah jatuh, masa masih tertimpa tangga?"
Rencana mudik ke kampung halaman raib, sehari sebelumnya. Tiket pesawat saya hangus. Gara-garanya, kata mbak-mbak petugasnya, telat check in. Padahal, masih ada jeda 20 menit dari waktu keberangkatan ke Surabaya, 6.40 wita. Setelah berdebat dan meminta alternatif, saya harus merelakan tiket berharga selangit itu melayang.
Pergi dengan santai, pulang dengan gontai. Semua rencana yang tersusun untuk kampung halaman musnah seketika. Keluarga di kampung halaman hanya bisa mengomel sembari menyalahkan keteledoran saya terhadap waktu. Padahal, saya tak tidur semalaman suntuk. Hanya karena memilih salat Subuh terlebih dahulu sebelum berangkat, saya kehabisan waktu buat check in.
Sudahlah. Barangkali, memang bukan jatahnya saya untuk mudik kali ini. Saya "kebagian" jatah menjagai indekos yang kepalang sunyi dari para penghuni.
Saya pernah menjalani lebaran seperti ini. Tempat yang sama, enam tahun silam. Yang bisa saya lakukan hanya menitip salam dalam gumaman minta maaf. Setiap kali menonton video tentang "pulang" dan ibu, air mata saya tak terbendung. Saya bebas sesenggukan di sekretariat lembaga tanpa ada yang melihat. Betapa rindu, kala itu, menyayat-nyayat hati.
Nasihat ayah yang selalu bilang, "Laki-laki tidak boleh nangis," ternyata sia-sia belaka. Saya benar-benar sesenggukan dengan hidung yang basah, malam itu, enam tahun silam.
Belakangan, saya baru menyadari kalau nasihat itu hanya agar anaknya tidak cengeng dan melapor setelah dijahili teman sepermainannya.
Untuk kali ini, saya masih bisa menahan rindu yang terkumpul di dada. Tak ada sesak karena menahan katupnya. Mata juga sekadar berkaca-kaca melihat runutan status teman-teman mudik berseliweran di media sosial. Paling tidak, lebaran kali ini bukan karena tak ingin pulang. Atau memutus harapan berjumpa keluarga. Saya hanya "pulang" dalam bentuk yang berbeda.
Masih ada telepon hingga fasilitas video call yang menghubungkan saya dengan keluarga. Ayah juga sudah pasrah memaklumi keteledoran anak lelakinya ini. Lagipula, harga tiket terlampau mahal untuk dibeli kedua kalinya.
"Ya sudah, mending kamu simpan saja dulu untuk adikmu. Kayaknya bulan depan semesteran lagi," saran ayah.
Selesai mandi, saya mematut diri di depan cermin. Salat ied kali ini hanya berbekal kemeja putih dan sarung hitam. Kain sarung dengan motif khusus itu pemberian dari seorang perempuan yang menanam rindu dari jauh. Barangkali, dikiranya saya bisa gagah pakai sarung khas motif tenunan Aceh. Padahal, dipakaikan apa pun, saya tak bisa segagah aktor idolanya, Ji Chang-Wook. Hahaha
"Semoga kita cepat berlebaran bareng ya," doanya, yang akan ditampung malaikat di akhir Ramadan ini. Rindunya, terurai dan jatuh dalam bentuk hujan paling lembut pagi ini.
Rinai hujan itu turun membekap takbir yang bertalu-talu. Jemaah nyaris berhamburan. Beruntung, butirannya tak sampai membuat kuyup pakaian jemaah. Derainya perlahan menghilang jelang salat dan khutbah. Hanya menyisakan awan mendung.
Gerimis baru kembali menyapa selepas jemaah pulang ke rumah masing-masing. Tuhan tahu benar cara menyejukkan suasana 1 Syawal ini. Barangkali, sekaligus menghapus perasaan sepi dari orang-orang yang sendirian menjalani Idulfitri, seperti saya.[]
Anggap saja saya ada di belakang, lagi pilih-pilih kue lebaran. |
--Imam Rahmanto--
- Juni 05, 2019
- 3 Comments