Kapan terakhir kali kamu bertandang kemari? Kamu seharusnya merasa bersalah meninggalkan "rumah" terlalu lama. Akhirnya, kehidupan di luar rumah terasa monoton dan mengarahkanmu pulang ke setiap pelukan tulisan ini.
Keindahan belum begitu banyak meyambangi saya beberapa bulan belakangan. Mata saya lebih banyak terpaku dengan gawai di tangan dan aroma-aroma hangat di kedai kopi langganan. Teman-teman baru disini lebih banyak berputar pada pekerjaan saya sebagai pewarta. Kami berjumpa, berkenalan, bertukar nomor telepon, dan pokok perbincangan seumpama hubungan penjual dan pembeli saja.
Barangkali, seperti kata teman, saya butuh keberanian untuk melangkah sendirian. Saya hanya terbiasa menyendiri di balik meja kedai kopi langganan. Aroma kopi hangat bercampur sejuknya udara kota terasa membekap kaki dan tangan saya. Sudah lima bulan, saya belum bisa bercerita lebih banyak dari kota ini.
Saya berjumpa teman-teman baru. Sebagian diantaranya orang-orang yang baik dan tanpa tuntutan kepentingan. Hubungan baik semacam itu lebih murni dan tidak menyesakkan isi kepala. Paling tidak, kami masih bisa berkelakar dan tertawa bukan karena pekerjaan. Yahh, mungkin bisa menggosipkan perempuan-perempuan yang sekadar lewat di jalanan.
"Ayo main ke rumah. Nanti kita naik perahu cari gambar-gambar bagus di muara. Ada pemandangan yang kelihatan jelas gunung di seberang lautan. Habis itu makan-makan kelapa," ajak seorang teman.
Ajakan semacam itu memang terkesan biasa-biasa saja. Akan tetapi, bagi saya yang sangat merindukan udara segar, itu bisa bermakna petualangan. Bukankah hal-hal baru selalu menyegarkan isi kepala?
Meskipun pada akhirnya, kunjungan saya hanya berujung pada menikmati kelapa muda diantara sawah yang baru panen. Waktu saya sedikit tersita sebelum berjalan. "Seandainya datang pagi-pagi atau mau menginap, banyak yang bisa kita datangi," pintu rumah teman saya selalu terbuka dengan tawaran menangkap kepitingnya.
Kunjungan sederhana itu juga merupakan hal baru. Jalan-jalan yang belum pernah saya lalui. Jalan-jalan yang juga masih belum beraspal atau dibeton. Sawah yang membentang setelah panen. Alur sungai yang mulai surut dan terkadang pasang naik kembali. Pun, semarak bintang membentuk Milky Way, yang menemani perjalanan pulang saya di malam hari. Saya tersadar, tak butuh tempat-tempat tinggi untuk berjumpa dengan jejeran bintang dari galaksi Bima Sakti itu.
"Nah, yang seperti itu yang saya cari-cari. Kalau bisa, kita camping di tempat-tempat tinggi, sambil menikmati pemandangan begitu. Kalau bisa, jangan pas bulan sedang muncul," pandangan saya sesekali mengarah ke langit. Teman saya, yang beriringan mengendarai motor, ikut menengadahkan mukanya ke langit malam.
Milky way selalu mengingatkan saya dengan romantisme gulita malam. Masa-masa dimana kami mengandalkan kaki untuk melangkah. Ransel di punggung tak pernah terlalu berat untuk bermalam di puncak bukit. Bahkan, sekadar menyeduh mi instan sudah bisa membuat kami kenyang diantara dinginnya udara malam. Terkadang, tanpa jaringan, cerita-cerita kami meluncur dengan cukup ringan.
Kenikmatan di alam terbuka sungguh tak bisa dibayarkan dengan beberapa lembar uang. Saya mengakui, kesejahteraan saya sebagai wartawan masih jauh panggang dari api. Di satu sisi, saya kerap memikirkannya. Bukan berpikir untuk diri sendiri. Karena sejatinya, saya punya adik yang saban semester akan mengeluhkan ongkos-ongkos yang mesti ditebusnya.
Sementara di sisi satunya lagi, saya tak peduli dengan penghasilan yang masih minim itu. Sepanjang saya masih bisa menikmati tempat-tempat baru, hobi baru, pengalaman baru, kebebasan adalah barang yang paling berharga. Tak ada tekanan atau tuntutan merupakan barang mewah bagi kami (pewarta yang bertugas nun jauh dari kota metropolitan). Karena sejatinya, kelak, setiap orang dewasa akan merindukan waktu-waktu luang untuk "bermain" lagi bersama teman-temannya.
Tanah dan padang rumput tak pernah berhenti menyuarakan nama-nama kita yang semasa kecil pernah akrab dengan mereka.
"Datanglah padaku. Datanglah padaku. Datanglah padaku. Ayo kita bermain bersama lagi, kawan," suara daun yang melambai-lambai ditiup angin dari selatan.
Ah ya, arah hidup saya terus berkembang biak. Kalau kemarin-kemarin saya hanya memperhitungkan tafsiran permintaan keluarga, kali ini saya harus berhitung lebih banyak pada kemungkinan lain. Selembar tiket pesawat ke ujung negeri, pulang-pergi, membentuk kilasan mimpi. Jauh di ujung sana, ada gadis yang selalu bermimpi dihujani cerita-cerita dari sepasang kekasih.
***
Keindahan belum begitu banyak meyambangi saya beberapa bulan belakangan. Mata saya lebih banyak terpaku dengan gawai di tangan dan aroma-aroma hangat di kedai kopi langganan. Teman-teman baru disini lebih banyak berputar pada pekerjaan saya sebagai pewarta. Kami berjumpa, berkenalan, bertukar nomor telepon, dan pokok perbincangan seumpama hubungan penjual dan pembeli saja.
Barangkali, seperti kata teman, saya butuh keberanian untuk melangkah sendirian. Saya hanya terbiasa menyendiri di balik meja kedai kopi langganan. Aroma kopi hangat bercampur sejuknya udara kota terasa membekap kaki dan tangan saya. Sudah lima bulan, saya belum bisa bercerita lebih banyak dari kota ini.
Saya berjumpa teman-teman baru. Sebagian diantaranya orang-orang yang baik dan tanpa tuntutan kepentingan. Hubungan baik semacam itu lebih murni dan tidak menyesakkan isi kepala. Paling tidak, kami masih bisa berkelakar dan tertawa bukan karena pekerjaan. Yahh, mungkin bisa menggosipkan perempuan-perempuan yang sekadar lewat di jalanan.
"Ayo main ke rumah. Nanti kita naik perahu cari gambar-gambar bagus di muara. Ada pemandangan yang kelihatan jelas gunung di seberang lautan. Habis itu makan-makan kelapa," ajak seorang teman.
Ajakan semacam itu memang terkesan biasa-biasa saja. Akan tetapi, bagi saya yang sangat merindukan udara segar, itu bisa bermakna petualangan. Bukankah hal-hal baru selalu menyegarkan isi kepala?
Meskipun pada akhirnya, kunjungan saya hanya berujung pada menikmati kelapa muda diantara sawah yang baru panen. Waktu saya sedikit tersita sebelum berjalan. "Seandainya datang pagi-pagi atau mau menginap, banyak yang bisa kita datangi," pintu rumah teman saya selalu terbuka dengan tawaran menangkap kepitingnya.
Saya merindukan tatapan senja seperti ini. (Imam Rahmanto) |
Kunjungan sederhana itu juga merupakan hal baru. Jalan-jalan yang belum pernah saya lalui. Jalan-jalan yang juga masih belum beraspal atau dibeton. Sawah yang membentang setelah panen. Alur sungai yang mulai surut dan terkadang pasang naik kembali. Pun, semarak bintang membentuk Milky Way, yang menemani perjalanan pulang saya di malam hari. Saya tersadar, tak butuh tempat-tempat tinggi untuk berjumpa dengan jejeran bintang dari galaksi Bima Sakti itu.
"Nah, yang seperti itu yang saya cari-cari. Kalau bisa, kita camping di tempat-tempat tinggi, sambil menikmati pemandangan begitu. Kalau bisa, jangan pas bulan sedang muncul," pandangan saya sesekali mengarah ke langit. Teman saya, yang beriringan mengendarai motor, ikut menengadahkan mukanya ke langit malam.
Milky way selalu mengingatkan saya dengan romantisme gulita malam. Masa-masa dimana kami mengandalkan kaki untuk melangkah. Ransel di punggung tak pernah terlalu berat untuk bermalam di puncak bukit. Bahkan, sekadar menyeduh mi instan sudah bisa membuat kami kenyang diantara dinginnya udara malam. Terkadang, tanpa jaringan, cerita-cerita kami meluncur dengan cukup ringan.
Kenikmatan di alam terbuka sungguh tak bisa dibayarkan dengan beberapa lembar uang. Saya mengakui, kesejahteraan saya sebagai wartawan masih jauh panggang dari api. Di satu sisi, saya kerap memikirkannya. Bukan berpikir untuk diri sendiri. Karena sejatinya, saya punya adik yang saban semester akan mengeluhkan ongkos-ongkos yang mesti ditebusnya.
Sementara di sisi satunya lagi, saya tak peduli dengan penghasilan yang masih minim itu. Sepanjang saya masih bisa menikmati tempat-tempat baru, hobi baru, pengalaman baru, kebebasan adalah barang yang paling berharga. Tak ada tekanan atau tuntutan merupakan barang mewah bagi kami (pewarta yang bertugas nun jauh dari kota metropolitan). Karena sejatinya, kelak, setiap orang dewasa akan merindukan waktu-waktu luang untuk "bermain" lagi bersama teman-temannya.
Tanah dan padang rumput tak pernah berhenti menyuarakan nama-nama kita yang semasa kecil pernah akrab dengan mereka.
"Datanglah padaku. Datanglah padaku. Datanglah padaku. Ayo kita bermain bersama lagi, kawan," suara daun yang melambai-lambai ditiup angin dari selatan.
Senja di Cenrana, Kabupaten Bone. (Imam Rahmanto) |
***
Ah ya, arah hidup saya terus berkembang biak. Kalau kemarin-kemarin saya hanya memperhitungkan tafsiran permintaan keluarga, kali ini saya harus berhitung lebih banyak pada kemungkinan lain. Selembar tiket pesawat ke ujung negeri, pulang-pergi, membentuk kilasan mimpi. Jauh di ujung sana, ada gadis yang selalu bermimpi dihujani cerita-cerita dari sepasang kekasih.
--Imam Rahmanto--
- September 21, 2018
- 0 Comments