"Kita berangkat?"
"Ayo, supaya kita bisa magrib di tengah jalan," ujar Rahim, yang menjadi pucuk perjalanan kami.
Kami baru saja merampungkan segala persiapan, termasuk packing logistik ke dalam beberapa tas carrier. Keberangkatan lepas Dhuhur terpaksa mulur hingga empat jam. Selain menunggu teman, perlengkapan lain juga masih dalam pencarian. Saya baru tahu, macam-macam perlengkapan mesti dipaksa ikut dalam perjalanan empat hari kami.
Perjalanan menuju gerbang pendakian Latimojong, Dusun Karangan butuh waktu yang lebih lama. Kondisi sudah mulai menggelap dan tak memberikan ruang bagi mata. Teman kami, Pandi, terpaksa mengendarai motornya dengan berbekal headlamp di kepala. Lampu depan motornya tak berfungsi.
Tak butuh petunjuk khusus menuju Dusun Karangan. Ujung kecamatan itu bisa ditempuh melalui jalur keramaian Kecamatan Baraka. Di tempat ini pula biasanya para pendaki dari luar kota mengawali petualangannya. Ada yang menyewa kendaraan roda empat, seperti jip, maupun sekadar registrasi di sekretariat kelompok pecinta alam.
Sayangnya, kami anti mainstream. Kami tak perlu berhenti disana. Rahim punya banyak kenalan di dusun Karangan, yang bakal menjadi titik awal petualangan bagi kami.
Jalan berlumpur menjadi adangan di tengah jalan. Hampir seperti jalur menuju Dusun Angin-angin, kami harus berjibaku dengan jalanan yang masih basah oleh lumpur. Hujan baru saja mengguyur dan membuat perjalanan kami agak licin. Bukan agak licin. Malah sangat ekstrem dengan kondisi tanpa lampu jalan. Jurang menganga di sebelah kanan jalan.
Saya harus mengakali laju motor di tengah perjalanan. Beberapa kali terjebak lumpur membuat saya harus bermain ala motor trail. Sebenarnya cukup menyenangkan sih. Petualangan semacam itu yang membuat perasaan lebih hidup dan mendebarkan. Termasuk ketika saya nyaris terjungkal ke jurang karena kehilangan pijakan kaki kanan. Hahaha...
Kami tiba di Dusun Karangan nyaris tengah malam. Suasana sudah sepi. Udara sudah mulai terasa dinginnya. Hanya anjing menggonggong yang kedengaran menyambut kedatangan kami. Seolah mereka berseru, "Pulanglah, ngapain kalian disini?"
Saya menjawab, "Kami baru tiba. Jangan diganggu lah. Ini bahu sudah pegal-pegal gendong ransel (carrier) besar, maunya istirahat dulu."
Rumah Kepala Dusun menjadi persinggahan sementara kami. Meskipun ia sudah tidur dan tidak sempat menyambut kami (yang memang telat dan mengganggu jam tidur orang), rumahnya tetap terbuka lebar. Kami langsung mencari bidang paling datar untuk tempat meluruskan punggung alias berbaring.
Tak ada yang terbebas dari tanah dan lumpur. Air (yang sangat) dingin terpaksa membasuh kaki malam-malam.
"Kita ngopi dulu," ajak Rahim.
Diantara sela-sela ruang tamu, kami menyalakan kompor portabel. Sebagian perlengkapan dapur sudah dijajal dari sini; kopi (andalan) arabika kalosi. Itulah gunanya kami bersama teman, yang juga pemilik kafe dan pegiat kopi. Ilmu barista dan kopinya tak bisa jauh-jauh. Aroma hangatnya berpadu dengan udara dingin yang menembus lubang dinding rumah panggung ini.
Dusun ini tak dijangkau oleh sinyal operator telekomunikasi. Kami tak butuh lagi mengecek handphone satu per satu. Dijamin, takkan ada notifikasi yang masuk selama empat hari ke depan. Satu-satunya alasan untuk tetap memegang gadget karena keperluan mendokumentasikan perjalanan.
Meski begitu, hal semacam itu yang benar- benar menenangkan. Suasana dusun begitu damai. Kami tak perlu lagi memusingkan masalah pekerjaan, kuliah, atau isu-isu tak penting di dunia maya. Kami cukup merasai saja alam pegunungan yang menakjubkan. Heningnya yang takkan dijumpai di perkotaan. Gelapnya begitu dicintai bintang-bintang di langit.
Kapan terakhir kali kita menjauh dari layar dunia maya? Saya belajar menjauhinya dari tempat ini. Dimulai dari kebersamaan kami. Betapa tawa harus terus dipupuk dalam perjalanan kami.
Bahkan, tak ada namanya teman yang merepotkan. Karena saat mengencangkan ikatan ransel, kami seharusnya sudah siap untuk direpotkan kapan saja. Ada perjalanan berat (dan betul-betul berat) yang menanti di depan.
"Ngapain kalian disini?" gonggong anjing kembali terdengar.
"Belum tidur? Jangan begadang karena besok kita harus mendaki pagi-pagi," pesan Rahim saat melihat saya menyeduh mi instan.
"Untuk apa?" suara anjing terus saja melolong.
"Ada lelah yang pantas terbayarkan untuk merasai pengalaman menakjubkan ini. Biarkan kami melaju, menyiapkan diri untuk bersahabat dengan alam Latimojong," debar di dada menyuarakannya.
[bersambung]
Sayangnya, kami anti mainstream. Kami tak perlu berhenti disana. Rahim punya banyak kenalan di dusun Karangan, yang bakal menjadi titik awal petualangan bagi kami.
Jalan berlumpur menjadi adangan di tengah jalan. Hampir seperti jalur menuju Dusun Angin-angin, kami harus berjibaku dengan jalanan yang masih basah oleh lumpur. Hujan baru saja mengguyur dan membuat perjalanan kami agak licin. Bukan agak licin. Malah sangat ekstrem dengan kondisi tanpa lampu jalan. Jurang menganga di sebelah kanan jalan.
Istirahat dulu di jalan, biar tak oleng. (Imam Rahmanto) |
Kami tiba di Dusun Karangan nyaris tengah malam. Suasana sudah sepi. Udara sudah mulai terasa dinginnya. Hanya anjing menggonggong yang kedengaran menyambut kedatangan kami. Seolah mereka berseru, "Pulanglah, ngapain kalian disini?"
Saya menjawab, "Kami baru tiba. Jangan diganggu lah. Ini bahu sudah pegal-pegal gendong ransel (carrier) besar, maunya istirahat dulu."
Rumah Kepala Dusun menjadi persinggahan sementara kami. Meskipun ia sudah tidur dan tidak sempat menyambut kami (yang memang telat dan mengganggu jam tidur orang), rumahnya tetap terbuka lebar. Kami langsung mencari bidang paling datar untuk tempat meluruskan punggung alias berbaring.
Tak ada yang terbebas dari tanah dan lumpur. Air (yang sangat) dingin terpaksa membasuh kaki malam-malam.
"Kita ngopi dulu," ajak Rahim.
Diantara sela-sela ruang tamu, kami menyalakan kompor portabel. Sebagian perlengkapan dapur sudah dijajal dari sini; kopi (andalan) arabika kalosi. Itulah gunanya kami bersama teman, yang juga pemilik kafe dan pegiat kopi. Ilmu barista dan kopinya tak bisa jauh-jauh. Aroma hangatnya berpadu dengan udara dingin yang menembus lubang dinding rumah panggung ini.
Dusun ini tak dijangkau oleh sinyal operator telekomunikasi. Kami tak butuh lagi mengecek handphone satu per satu. Dijamin, takkan ada notifikasi yang masuk selama empat hari ke depan. Satu-satunya alasan untuk tetap memegang gadget karena keperluan mendokumentasikan perjalanan.
Meski begitu, hal semacam itu yang benar- benar menenangkan. Suasana dusun begitu damai. Kami tak perlu lagi memusingkan masalah pekerjaan, kuliah, atau isu-isu tak penting di dunia maya. Kami cukup merasai saja alam pegunungan yang menakjubkan. Heningnya yang takkan dijumpai di perkotaan. Gelapnya begitu dicintai bintang-bintang di langit.
Kapan terakhir kali kita menjauh dari layar dunia maya? Saya belajar menjauhinya dari tempat ini. Dimulai dari kebersamaan kami. Betapa tawa harus terus dipupuk dalam perjalanan kami.
Bahkan, tak ada namanya teman yang merepotkan. Karena saat mengencangkan ikatan ransel, kami seharusnya sudah siap untuk direpotkan kapan saja. Ada perjalanan berat (dan betul-betul berat) yang menanti di depan.
"Ngapain kalian disini?" gonggong anjing kembali terdengar.
"Belum tidur? Jangan begadang karena besok kita harus mendaki pagi-pagi," pesan Rahim saat melihat saya menyeduh mi instan.
"Untuk apa?" suara anjing terus saja melolong.
"Ada lelah yang pantas terbayarkan untuk merasai pengalaman menakjubkan ini. Biarkan kami melaju, menyiapkan diri untuk bersahabat dengan alam Latimojong," debar di dada menyuarakannya.
Barangkali, kelak, saya juga akan lebih banyak mengabadikan bintang dan Milky Way-nya. Saya menyukainya. (Imam Rahmanto) |
[bersambung]
- September 26, 2017
- 0 Comments