foto: iyan/ profesi |
Beberapa hari yang lalu, seorang gadis kecil bertanya pada ibunya,
“Ma, mereka kok ngambil-ngambil di warung itu?” tanyanya sambil menunjuk ke sekumpulan mahasiswa yang sementara berdemo.
“Oh, itu karena mereka haus, nak. Mereka kan seharian berdemo,” jawab sang ibu sekenanya.
“Boleh ya seperti itu?” tanya gadis kecil itu polos.
Sang ibu hanya bisa terdiam seraya mengusap-usap kepala anaknya itu. Dalam benaknya, entah apakah ia berharap anaknya kelak bisa menjadi seperti yang disaksikannya sekarang atau tidak.
Ia tak habis pikir mengapa kondisi negaranya jadi karut-marut begini. Belum usai penanganan kasus korupsi besar-besaran yang dilakukan oleh pembesar-pembesar negaranya, disusul lagi dengan keputusan kenaikan harga BBM.
Ia bingung (galau) harus menyalahkan siapa (atau apa).
Ia ingin menyalahkan pemerintah yang menaikkan harga BBM tak tanggung-tanggung senilai Rp 1500,-. Akan tetapi, pikirannya pun berkata lain. Ia menganggap kebijakan pemerintah itu demi kehidupannya juga, demi kehidupan rakyat. Tak mungkin menolak jika demi kebaikan bersama.
Di sisi lain, ingin pula ia menyalahkan mahasiswa yang melakukan aksi-aksi unjuk rasa untuk menolak kenaikan BBM. Dimana-mana, ia mendengar kasak-kusuk masalah demo. Demo lagi, demo lagi. Ia bergidik ngeri ketika menyaksikan para demonstran bertindak anarkis. Kian hari, kerusakan yang ditimbulkan semakin parah. Mulai dari aksi damai – menutup jalan-jalan protokol – merusak fasilitas-fasilitas umum – membakar pos polisi – entah apa lagi yang akan terjadi kemudian. Minus hari kenaikan BBM, jumlah para demonstran pun semakin banyak. Gelora penolakan yang ditunjukkan pun semakin besar.
Akan tetapi, hatinya kembali menyangkal. “Mereka kan memperjuangkan keadilan bagi kami, rakyat Indonesia,” lirihnya. Jika BBM naik, ia pun merasa akan disulitkan. Tentu biaya-biaya lainnya akan mengekor, termasuk biaya pendidikan buat anaknya. Lalu, mengapa kami harus marah jika mereka memperjuangkan hak-hak kami?
Kemarin, ia juga sempat mendengar teriakan seorang pedagang es kelapa muda, sesamanya, “Sudah-sudah mi itu demo ee… Tidak laku nanti jualanku!” teriaknya diantara riuh mahasiswa. Namun suaranya hanya tenggelam di sela-sela lemparan batu para demonstran. Sama seperti pedagang itu, ia pun sebenarnya berharap bisa berjualan di sepanjang trotoar Pettarani dengan tenang. Sudah tiga hari ini ia memutuskan untuk libur sementara demi menghindari kecelakaan-kecelakaan akibat demonstrasi mahasiswa.
Pantas bila masyarakat merasa geram dengan mahasiswa dan balik menyerang mereka, saling lempar batu. Lha wong masyarakat merasa terganggu dengan aksi mereka. Ini namanya perang saudara.
Harus menyalahkan siapa? Pemerintah dengan kebijakan kontroversialnya kah, atau mahasiswa dengan tindakan-tindakan anarkisnya kah? Lagi, ia bingung harus memilih. Kehidupannya sebagai wong cilik memaksanya untuk hanya bisa diam tak bisa berbuat apa-apa.
Sambil menggandeng tangan anaknya, diajaknya ia dari kerumunan-kerumunan mahasiswa berdemo. Ia tidak ingin sesuatu terjadi pada anak semata wayangnya. Wanti-wanti, batu nyasar bisa melukai putrinya.
“Karena suara-suara kita tak lagi didengar, maka jalan satu-satunya adalah dengan mendobrak mereka!! Perlihatkan bahwa kita benar-benar serius, meski dengan jalan anarkis!” teriak salah seorang mahasiswa yang sedang berorasi di atas truk kontainer.
Dalam hatinya, ia bergumam haruskah dengan menimbulkan korban? Baik pemerintah maupun mahasiswa, baginya, sudah mengorbankannya selaku orang-orang kecil. Bahkan, anak-anak kecil yang belum waktunya mengenal kekerasan pun disuguhi dengan adegan-adegan anarkis. Ia tak ingin lingkungan seperti sekarang membesarkan anaknya.
“Nak, semoga engkau kelak bisa mengubah negeri kita dengan cara berbeda,” lirihnya dalam hati.
***
--Imam Rahmanto--
- Maret 29, 2012
- 0 Comments