Begadanglah

Mei 22, 2018

Baca Juga

Selamat dini hari...

(Imam Rahmanto)

Mari sahur dengan sebatang es krim. Sebuah minimarket dekat kosan buka nonstop 24 jam. Saya menyempatkan diri membungkus sebatang rasa cokelat. Sesekali, tak perlu membatasi diri untuk hal-hal yang diinginkan. Yah, sedikitnya, begitu cara menikmati hidup.

Yah, saya sedang dan masih terjaga saat mencoba menuliskan ini. Sepanjang menjalani puasa, saya belum pernah "bangun-sahur". Yang ada, saya justru terjaga hingga waktu sahur tiba. Saya lebih suka menyebutnya "begadang-sahur".

Sudah menjadi kebiasaan bagi saya untuk terjaga hingga lewat tengah malam. Bulan Ramadan malah memperpanjangnya hingga beberapa jam. Termasuk, intensitas bangun pagi yang semakin parah dan memburuk. Saya tampaknya butuh pertolongan darurat sesegera mungkin.

Teman saya selalu menyarankan "alarm hidup" untuk satu "penyakit" itu. Sayang, kehidupan masih belum memastikan satu pilihan itu. Lagipula, duka-perantau-muda semacam itu tidak serta-merta menjadi pembenaran untuk menggandeng seorang anak gadis ke pelaminan, bukan? Butuh alasan logis dan lebih bertanggung jawab untuk penjajakan kehidupan yang penuh "tanggung jawab" itu.

Tidak lantas hanya karena melihat teman-teman sudah melepas masa lajangnya. Tidak pula hanya gara-gara membayangkan bahwa kelak, spesies seangkatan saya yang tersisa adalah diri sendiri. "Halah, masih banyak teman lain yang selow, kok."

Kehidupan berumah tangga, bagi saya, bukan soal adu cepat atau tak mau ketinggalan. Mengucap ijab-kabul juga tak sesimpel mengatakan "aku menyayangimu". It's sacred! (or scared?)

Jikalau saya punya kesempatan, tanpa beban yang sekarang masih terjaga, barangkali saya memang sudah baiknya mendatangi rumah seorang gadis. Bertemu ayahnya. Duduk berhadapan dengannya. Berbicara kikuk. Sesekali menatap mata tegasnya. "Om, boleh saya gantikan tugas ta untuk jaga anak ta?"

Saya harus tersenyum-senyum sendiri membayangkan hal lucu ini. Berikan saya jeda sejenak.

"Memangnya kenapa tidak? Sebut saja, nak. Nanti Bunda yang datangi orang tuanya," ini usulan Bunsa, yang selalu hanya saya tanggapi dengan mesam-mesem, setiap kali mau berbicara hal-hal serius; pernikahan.

Saya, seyogyanya, ingin menyebut namanya. Bahkan, cukup merindukannya. Jika ingin menunjuk satu orang, barangkali saya akan mengajukannya. Sayang, itu hanya seumpama isyarat yang disampaikan angin kepada hujan.

Puasa menjadi lebih sulit dengan pekerjaan yang biasa-biasa saja. Barangkali, saya butuh lebih banyak perjalanan. Bukan hanya sekadar berbaring di atas tempat tidur dan memimpikan banyak hal. Termasuk kisah indah yang pernah saya impikan dan ceritakan untuknya.

Sudahlah, keramaian kota masih cukup padat dipikirkan untuk banting tulang. Dan lagi, saya masih bisa memilah untuk merasa sunyi diantara keramaian itu. Kata orang, kesibukan akan membuat kita melupakan segala hal. Dan itulah sunyi yang sesungguhnya.

Suasana kosan saya tak sesunyi itu lagi. Ada anak-anak lucu tetangga kamar kosan. Mereka kerap menjadi "alarm" dengan teriakan-teriakan di luar kamar. Dua orang gadis kecil bersaudara dan satu anak lelaki yang belum genap berusia lima tahun. Ketiganya selalu bermain bersama, berkejar-kejaran, sesekali nyelonong masuk ke kamar.

Padahal, baru dua hari terakhir anak-anak itu tidak merasa segan lagi dengan saya. Awal berjumpa, mereka segan dan enggan mendekat. Sekarang saja langsung berteriak-teriak setiap kali melihat kedatangan saya di kosan.

Oiya, soal "alarm" anak-anak, itu tetap tidak mempan. Saya cuma terhibur kala menjelang berbuka puasa. Sesekali, bermain dengan anak-anak bisa kembali membuat lebih muda. Hahaha...

Ps: tolong, jangan dikaitkan dengan "hasrat-berkeluarga".


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments