Pemberian

Januari 31, 2022

Baca Juga

Semasa kecil, saya cukup akrab dengan lingkungan komunitas Jawa. Tempat lahir saya memang bukan di Jawa, nun jauh di pegunungan yang membatasi Kabupaten Tanah Toraja dan Enrekang. Namun, semua keluarga saya murni berasal dari Jawa. 

Di kampung itu, orang-orang Jawa menjalin kedekatan yang cukup erat. Layaknya keluarga. Mungkin, karena diikat kesamaan nasib dan status sebagai "perantau" di kampung orang.

Saya biasanya akan senang ketika bermain di rumah salah seorang teman dari keluarga Jawa. Di waktu-waktu tertentu, saya berkunjung ke rumahnya. Menjajal komputer barunya beserta game yang diinstal di dalamnya. Mengagumi kamarnya yang bisa didesain sesuka hati. 

Bonus, orang tuanya selalu menyelipkan uang di saku celana ataupun genggaman tangan saya. Entah, apakah karena saya terlalu imut atau menggemaskan.

Saya kadang kala terkejut dan hendak menolak. Ayah selalu mengajarkan agar tidak banyak menerima pemberian orang lain. Namun, di sisi lain, jiwa kanak-kanak saya tentu memberontak dan tak bisa menolak uang jajan itu. Sambil malu-malu kucing, saya tetap mengantonginya dengan mata yang berbinar-binar. Pulang ke rumah sambil melompat-lompat riang. 

Alasan yang tentu cukup sederhana bagi anak-anak seumuran saya, bukan?

Akan tetapi, saya baru menyadari hal sederhana itu. Orang-orang bisa terus bergelimangan harta bukan dari lezatnya usaha mereka yang mereka bangun. Justru, harta itu berlipat karena keringanan tangan mereka memberi. Kita sering diajarkan dengan nama bersedekah. 

Keluarga teman saya diberkahi dengan usaha yang cukup berkembang, karena ibunya tak pernah sungkan menyisipkan beberapa lembar uang receh untuk siapa pun teman main anaknya. Bahkan, saya juga sering dibebaskan makan bakso tanpa perlu membayar di warungnya. Cukup dengan tanggung jawab moral individu; mencuci piring. 

Pemberian-pemberian semacam itu yang membuatnya "berlebih". Hingga kini, saya mendengar keluarga itu masih rutin berbuat baik dan berbagi kepada orang lain.

Saya pun seharusnya bisa mencontoh hal itu. Toh, saya sudah hampir tujuh tahun bisa mencari uang sendiri. Meski saya bukan orang berada. Penghasilan malah masih di bawah rata-rata UMK.

Baru-baru ini, Minggu pagi, saya menyusuri jalan raya Kota Bogor berboncengan dengan kekasih dan adik kecilnya. Tumpukan kotak kertas dipangku lekat-lekat. Isinya bukan nasi yang mengenyangkan. Hanya sebatas kue untuk teman minum teh bagi orang-orang yang menghabiskan pekerjaannya di jalanan kota.

Mengajarkan sejak dini. (Imam Rahmanto)

Kami memutuskan berbagi sedikit makanan ringan ini pun bukan karena punya uang atau rejeki berlebih. Saya hanya merasa pernah berada di posisi yang sama dengan mereka, yakni menjadi orang yang dominan mengharapkan pemberian orang lain. 

Kalau saya harus menunggu kaya mendadak seperti Gozhali, siapa yang bisa menjamin saya masih idealis untuk mewujudkan keinginan berbagi itu? Lantas, kenapa saya tidak mengawalinya dari hal kecil saja? Memang tak seberapa, setidaknya satu kaki saya sudah ada di garis start.

Berbagi sebenarnya takkan bisa secara instan membuat saya kaya. Pengalaman emosional dari berbagi itulah yang lebih penting. Karena akan membuat kita terus hidup. 

Mata-mata yang berbinar karena menerima pemberian itu. Senyum yang mengembang meski hanya beberapa inci. Mulut-mulut yang bergetar mengucapkan terima kasih dan hamdalah.

Sejatinya, berbagi bisa membuat berbahagia. 

Berbagi dan berbahagia hanya beda 3 huruf.

Anggap saja, ini juga sebentuk cara saya membalas kebaikan orang tua teman saya di masa kecil. Pun, tak hanya mereka dari komunitas Jawa. Ternyata sampai sekarang, masih banyak tetangga di sana yang menunjukkan kasih sayangnya dari jauh kepada keluarga kami. 

Terima kasih untuk siapa saja yang masih mengingat keluarga kecil kami dengan segala kesederhanaannya. Saya juga tak bisa membalas apa-apa. Hanya meneruskan kebaikan-kebaikan "pemberian" itu kepada orang yang juga membutuhkan.

Doakan saja kami konsisten. Kalaupun ada teman-teman yang ingin bergandengan tangan, saya akan sangat senang menyampaikannya.[]


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments