Road to Bali (part 2)

Desember 07, 2021

Baca Juga

Baru bangun tidur, layar hape saya sudah menumpuk puluhan missed call. Aneh, saya sama sekali tak mendengarkannya. Atau barangkali dering telepon itu hadir secara implisit dalam salah satu mimpi saya?

Saya paham dengan teror di pagi hari itu. Sejak semalam, saya sudah diwanti-wanti untuk ikut dalam Sunday Walking ke Baduy, Banten. Perjalanan itu direncanakan menjadi salah satu rangkaian awal perjalanan panjang Jawa - Bali. Jadi, rutenya dianggap seperti ini; Bogor - Banten - Banyuwangi - Bali.

Sayangnya, saya tidak ikut bersama rombongan komunitas pimpinan kantor itu. Telat sejam dari waktu kumpul yang ditentukan. Wajar jika teror itu terselip dalam puluhan panggilan tak terjawab. Bahkan, bukan hanya dari satu orang. 

Ya sudahlah. Saya juga tidak begitu panik dengan panggilan itu. Sejak semalam, saya memang sudah tidak berniat untuk ikut dalam perjalan tersebut. Karena itu, saya pun sebenarnya sudah sempat berpikir untuk sekalian saja tidak ikut dalam perjalanan ke Bali. Biar ada alasan juga kenapa tidak ikut dalam perjalanan awal ke Baduy. 

"Saya pura-pura saja sakit, makanya gak bisa ke Baduy dan sekalian gak jadi ikut ke Bali," saya sudah berpikir begini dalam hati.

Namun, rencana itu urung saya lakukan. Cara "melarikan diri" itu sudah terlalu usang. Saya ingat betul, cara-cara licik semacam itu pernah selalu saya pakai untuk menghindari beban-beban yang tak sanggup dipikul kepala. Beralasan sakit dan tak ingin membalas pesan siapa-siapa. 

Di satu sisi, saya terus belajar untuk menghadapi masalah, bukan menghindarinya. Lari sama sekali tak menyelesaikan masalah. Yang ada, justru semakin menumpuk dan suatu saat akan meledak. Saya selalu mengutarakan itu pada kekasih saya, "Kalau ada masalah atau kecewa, yuk diomongin. Jangan membatin lama-lama sampai membusuk."

Jadilah saya mengambil tas carrier terbesar saya, membuka lemari, melesakkan sejumlah pakaian dari dalam lemari itu. Setengah malas-malasan tentunya. Namun, bukan pula ingin menyusul ke Baduy.

Saya berencana menunggu kepulangan rombongan itu dari Banten. Seperti info semula, perjalanan Jawa - bali itu akan dimulai dari titik start Graha Pena Bogor. Oleh karena itu, saya hanya perlu menunggu di sana dengan mempersiapkan barang bawaan yang dibutuhkan. Namanya laki-laki, ringan saja isi dalam tasnya.

Eh, tidak. Saya lebih memilih untuk menunggu dari warung kopi (warkop) langganan. Ada kopi yang bisa menemani pagi-pagi. 

***

Jadwal pelepasan rombongan yang dijadwalkan, ternyata mulur lebih lama. Seremoni seadanya di antara guyuran hujan. Di tengah hujan itu pula, rombongan Gerakan Anak Negeri mulai tancap gas pertamanya. Nyaris tengah malam. Nasib. 

Tidak usah cari saya. (Foto: Imam Rahmanto)


***

Saya sampai lupa sudah "berhutang" di tempat ini. Beberapa hal datang tanpa henti dan membuat fokus kepala saya teralihkan. Dunia nyata memang begitu menyebalkan ketika kita beranjak semakin dewasa. Alhasil, membuat saya selalu mendambakan masa muda dulu dengan waktu yang melimpah ruah. []


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments