Welcome Ramadan!

Mei 19, 2018

Baca Juga

Sudah tiga tarawih kota ini dirundung hujan. Derasnya bisa membuat ujung sajadah terkena tempias dari teras masjid. Namun, seperti biasa, tak pernah menghabiskan satu lagu galau judul apa pun. 

Tahun ini, saya menjalani puasa di tempat yang berbeda. Kalau tahun kemarin berada di tanah kelahiran, kali ini benar-benar manyandang status "perantauan". Satu-satunya yang pernah menghubungkan saya dengan tempat ini hanyalah teman-teman kampus yang kebanyakan berasal dari sini.

Sebagian teman (baru) bergantian menjatuhkan pertanyaan, "Tidak pulang kampung ki?" Sebagaimana kata teman mereka, orang-orang Bugis punya adat atau kebiasaan menjalani puasa pertama dengan keluarga. Minimal, sahur pertama harus merasakan masakan di rumah. Mereka pun menyangka kalau jarak Enrekang tak terlalu jauh untuk ditempuh demi sahur perdana bersama bapak dan mamak. Sejauh ini, saya memang selalu menjawab "Enrekang" jikalau mendapat pertanyaan "Asli manaki?"

Kenyataannya, saya hanya menggeleng menanggapi pertanyaan yang cukup menggelisahkan itu. Dalam sepekan terakhir menjelang puasa, kabar dari keluarga di Jawa rutin menyambangi separuh kepala saya. Untuk pertama kalinya, bapak dirujuk ke puskesmas setempat. Sebagian keluhan penyakitnya kambuh. Karena sudah tak tahan lagi sakitnya, bapak terpaksa merelakan diri diopname selama seminggu di puskesmas kecamatan.

"Sekarang sudah lumayan. Bapak sudah boleh pulang, kok," jawabnya, tepat sehari menjelang Ramadan.

Suaranya sudah lebih baik ketimbang beberapa hari sebelumnya. Pertama kali mendapatkan kabarnya, suara bapak terasa berat. Lemah.

Saya bersyukur, Tuhan masih mengizinkan keluarga saya menikmati puasa di rumah. Betapa tak menyenangkannya puasa di antara bau obat dan gesekan kereta dorong. Kami pernah merasakannya, dua tahun silam. Bahkan, harus menjalaninya dari dua rumah sakit berbeda, yang keduanya didominasi pegawai non-muslim.

Kadang kala, saya masih merindukan masakan-masakan rumah yang biasa-biasa saja. Lezatnya memang tak pernah kekal di lidah. Kenikmatan hakiki justru karena bisa bercengkerama dengan keluarga. Paling tidak, saya tak perlu sendirian mencari menu berbuka puasa di pinggir-pinggir jalan. Dan lagi waktu sahur, saya tak perlu repot-repot begadang menunggui pagi.

Barangkali, puasa memang tak pernah istimewa bagi orang-orang yang sibuk bekerja. Fokus pikirannya berangsur-angsur berubah. Puasa bisa saja menjadi sekadar selingan. Ibadah itu dikerjakan semata-mata karena perintah wajib. Segala kenikmatan dan suasana Ramadan hanya sesekali meresap hingga ke kalbu.

"Tarawih sudah berapa?" adalah pertanyaan yang seharusnya menjadi indikator bagaimana Ramadan dijalani. Saya masih beruntung bisa mencatatkan tiga dari empat tarawih berlalu. Meski, sebenarnya, saya ragu bisa menjaga konsistensi semacam itu hingga bulan suci berakhir. Padahal, kata ustaz, sungguh merugilah orang-orang yang menjalani Ramadan tanpa mengambil apa-apa (manfaat) darinya.

Sederhananya, kalau Ramadanmu tampak seperti hari-hari biasanya di bulan kemarin, kamulah yang disindir sang ustaz!

Meski begitu, saya harus mengakui, kesepian justru semakin mendera diantara keramaian pekerjaan dan puasa kali ini. Saya merasa lebih tenang di tempat sebelumnya. Entahlah, apakah karena saya masih butuh waktu lebih banyak untuk menemukan hal-hal yang bisa membuat betah lebih lama. Ataukah karena saya hanya sedang merindu?

Satu diantaranya harus khatam selama Ramadan. Eh, Alquran juga tetap jalan. _ _" (Imam Rahmanto) 



--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

2 comments

  1. Bacaki itu Sapiens, kak. Langsungki' itu merasa berdosa jadi makhluk bernama manusia. Haha

    BalasHapus
  2. Masa? Baruka mau memang bacai. Kukira ji novel malah...

    BalasHapus