Kata-kata Kota

Mei 11, 2018

Baca Juga

Aroma kopi hanyut dan lenyap seketika. Tersisa rasa yang melekat di pangkal lidah. Saya beruntung, hujan baru saja mengubah udara menjadi lebih lembut. Semilir udaranya masuk menyapu punggung semua pengunjung kafe. Jarang-jarang kota Watampone disambangi udara dingin semacam ini.

Bagi saya, kota ini malah sudah merupa sebagai ibukota yang agak sinis. Saya harus terbiasa menjumpai anak-anak kecil yang duduk sendirian di sebelah lampu merah. Di sebelahnya tergeletak karung yang tak kalah lusuh dengan kaos di tubuhnya. Sementara senja sudah menghilang diantara batas-batas garis jalan.

Di waktu lainnya, seorang wanita tua mendatangi meja saya. Ia tak meminta-minta. Hanya sekadar menawarkan barang jualan dalam tas lusuhnya. Tangannya gemetar menawari plastik-plastik yang berisikan jambu, kacang goreng, atau sayuran. Keriput sudah nyaris menenggelamkan wajahnya yang renta. Saya tak paham bahasa Bugis yang digumamkan.

Untuk menghargai upayanya, saya pernah membeli seplastik jambunya. Akan tetapi, ternyata ia datang lagi pada waktu berikutnya. Saya baru tahu, ia memang kerap berkeliling dari kafe atau warkop ke warkop untuk menawari setiap pengunjung. Saban hari, saya kemudian selalu berjumpa dengan nenek renta itu.

Semua itu berkelindan dalam kepala saya. Seolah menggali kebiasaan-kebiasaan yang serupa saya temukan di perkotaan, semisal Makassar. Kumuhnya kehidupan yang tanpa malu-malu hadir di depan keramaian, sudah menjadi isyarat sebuah tempat merupa jadi perkotaan. Teramat berbeda dengan kampung kami yang ada di balik pegunungan.

Saya pernah berpikir, perkampungan seharusnya bisa jadi tempat berteduh orang-orang di bawah garis kemiskinan. Orang kampung tahu caranya tersenyum tanpa pretensi atau tendensi. Mereka tahu bagaimana memuliakan tetangga. Sekadar obrolan hangat bisa jadi perekat hubungan kekeluargaan.

"Yah, tetapi sedikit-sedikit, orang kampung punya banyak obrolan yang langsung jadi gosip. Bisik-bisik tetangga," ungkap teman saya suatu ketika.

Tak bisa dipungkiri, hal itu memang menjadi kebiasaan orang-orang di kampung atau pedesaan. Wajar, anggap saja sebagai bagian dari risiko bersosialisasi dengan masyarakat lainnya. Apa kita hanya akan mengandalkan media sosial untuk saling bercakap di kampung? Percayalah, obrolan tatap muka selalu jauh lebih memanusiakan.

"Kamu lebih suka yang mana?"

Selama satu purnama menghabiskan waktu di kota ini, sejujurnya, saya masih merindukan keakraban di perkampungan. Tawa-tawa yang bisa berujung pada rencana berkemah di ujung bukit. Berjumpa bintang lebih banyak dengan perbincangan remeh-temeh. Bahkan, sekadar "memindahkan tempat tidur" hanya karena bosan di kamar.

Beberapa orang masih terus menanyakan kabar. Menyusul pertanyaan-pertanyaan tentang tempat ini. Dalam kepala saya, sudah terpapar jelas bagaimana menggambarkan hidup di perkotaan ini. Tak ada yang lebih tepat menggambarkan kota dari bentuk lain. Berbagai kemewahan juga tampak hilir-mudik tanpa permisi.

Saya masih merindukan beberapa hal yang sederhana. Semisal, memandangi paras-paras wajah yang sederhana...

Anak-anak dari Pelabuhan Bajoe, Bone. (Imam Rahmanto)


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments