Membaca Aroma
April 27, 2018Baca Juga
Aroma Karsa tiba di tempat yang begitu jauuuh. (Imam Rahmanto) |
Saya tergolong sangat beruntung bisa menambah satu-dua koleksi buku, jauh dari pusat kota. Kampung kami sangat kekurangan toko-toko yang menyediakan berbagai jenis buku. Paling banyak, mereka hanya menyediakan buku-buku pelajaran, yang kelak hanya akan dilupakan setelah menginjak usia dewasa.
Koleksi terbaru dan menjadi bahan bacaan saya adalah Aroma Karsa. Buku karya Dewi "Dee" lestari itu sudah lama numpang lewat dalam lini masa pertwitteran saya. Beberapa orang teman bahkan berlangganan versi digitalnya, sebelum penulis merelakannya dicetak secara besar-besaran. Saat menjumpainya di lapak Pekan Literasi Enrekang, saya tak butuh berpikir terlalu lama untuk meminangnya.
Saya mematok, buku-buku karya Dee selalu istimewa. Imajinasi di dalamnya selalu berhasil membawa saya, sebagai pembaca, seolah-olah menonton film sains-fiksi. Tak kalah dengan buku terbitan penulis mancanegara yang memang didominasi cerita-cerita imajinasi. Wajarlah jika buku ini membuat saya begadang semalam suntuk. Tanpa tidur. Padahal, saya harus berangkat pagi-pagi sekali ke acara komunitas yang daerahnya sungguh terpencil di Kabupaten Bone.
Aroma Karsa adalah anak bungsu. Akan tetapi, ia tetap istimewa. Bagi saya, Dee menjajal strategi penceritaan dari sudut pandang lain. Tak lagi melalui penggambaran visual, sebagaimana cara bercerita lazimnya. Melainkan lebih menekankan bagaimana orang-orang bisa "membaca" aroma.
"Penciuman adalah jendela pertama manusia mengenal dunia. Manusia lebih mudah dipengaruhi oleh yang tidak terlihat." [hal.153]
Yah, ia membukanya lewat tokoh Jati Wesi yang diberi bakat kemampuan membaui segala aroma. Apa pun yang melayang lewat udara, Jati bisa merasakan kehadirannya. Bau rumput, keringat manusia, kayu, batu, tanah, hingga detail aroma paling terkecil zat bisa dibedakannya.
Jati yang hidup di TPA Bantar Gebang menyangka hanya seorang diri yang punya kemampuan seperti itu. Hingga akhirnya, ia harus berurusan dengan pihak kepolisian setelah toko parfum, tempatnya bekerja, kedapatan memalsukan parfum milik perusahaan ternama. Kasus itu membawanya bertemu Raras, pemilik perusahaan parfum Kemara, yang menguasai berjuta wewangian komersial.
Raras punya seorang anak perempuan, Tanaya Suma, yang sangat sensitif terhadap bau. Dari Suma, Jati akan menyadari sejauh apa petualangannya berurusan dengan perusahaan Kemara. Kebenaran-kebenaran di balik siapa dirinya, keluarganya, tujuan dipekerjakan di Kemara, tak sesederhana ia membaui segala aroma. Ada bunga Puspa Karsa yang menjadi obsesi Raras selama bertahun-tahun.
Misterinya terkuak, seiring penciumannya yang semakin tajam dan hubungannya dengan Suma yang, juga, tidak sederhana.
Hal yang paling saya suka dalam buku ini adalah bagian fantasi Jawa-nya yang ikut melekat. Penggunaan nama-nama rekaan, perkampungan, hingga legenda-legenda yang dibangun menjadi sebuah cerita. Saya menikmatinya. Justru, menurut saya, buku-buku yang disisipi kebudayaan lokal semacam ini punya nilai lebih. Paling tidak, pembaca dibuat belajar tentang nilai-nilai budaya secara tidak langsung. Tidak terlalu menggurui.
"Tan wenang kinawruhan ng katrsnan, wenang rinasan ri manah juga. Asmara. Tidak bisa dipahami, cuma bisa dirasakan akibatnya." [hal.442]
Saya terkadang heran, bagaimana seorang Dee meluangkan waktunya hanya demi observasi data. Tentunya, menyisipkan hal-hal yang berkaitan sejarah dan kebudayaan bukanlah sesuatu yang "asal karang" saja. Sama halnya dengan menyisipkan aneka ragam aroma, dari yang paling sederhana, hingga yang paling kompleks. *Bayangkan, saya sendiri baru mengenal zat-zat yang (aromanya) ada di dalam buku ini.
Buku ini malah menunjukkan kelihaian seorang penulis seperti Dee. Ia selalu punya banyak variasi cerita untuk menghibur pembaca-pembacanya. Mulai dari kisah drama, hingga kisah fantasi. Semuanya terlalu sayang untuk dilewatkan. Aroma Karsa jadi bukti betapa beraneka ragam imajinasi yang dimiliki oleh Dee.
Biasanya, saya menilai penulis lain hanya menceritakan sesuatu yang tak jauh-jauh dari kehidupannya sendiri. Tiga-empat bukunya, selalu berputar pada sebagian pengalaman hidupnya. Jadinya, bukunya tak memiliki lompatan terjauh untuk mencapai puncak kejayaan.
Berbeda dengan seorang Dee, yang benar-benar menekuninya. Hanya demi mengejar penulisan satu buku semacam ini, ia sampai menghabiskan waktu berbulan-bulan. Saya tak habis pikir, dedikasi penulis untuk mencatat dan menemukan hal-hal baru jauh melampaui keinginan wartawan menguak narasumber.
Tetap saja, karya-karya Dee selalu keren.
"Semua yang berharga dalam hidup ini datang dengan risiko besar." [hal.431]
--Imam Rahmanto--
2 comments
Sebagai seorang pembaca Dee, bapak tidak diragukan lagi kesetiaannya begadang untuk menuntaskan buku yang Masya Allah tebalnya. Salute cappucino!
BalasHapusHahaha...saya lebih salut sama mereka yang bersedia buang-buang waktu baca reviu tak berguna ini.
Hapus