Menukar Pekerjaan

April 19, 2018

Baca Juga


"Hei, sudah punya teman baru?"

Sebagai orang baru, saya hanya akan terus didera pertanyaan semacam itu disini. Perjalanan saya nampaknya masih akan cukup panjang. Bukan tak mungkin bisa menghabiskan lebih dari 12 purnama.

Karena semangat "orang baru" itu pula lah yang mendaratkan saya pada kegiatan sosial Kelas Inspirasi di Kabupaten Bone. Saya telah lama merindukan kesibukan di dunia komunitas. Berbaur dengan orang-orang karena visi yang sama. Berlelah-lelah hanya demi bisa menyumbangkan tawa satu sama lain.

Hidup tak sekadar memburu uang dan menciptakan hubungan-hubungan relasional berlabel pekerjaan, bung!. Saya yang mengenal orang lain karena anggapan narasumber. Atau orang lain mengenal saya karena kepentingan liputan. Padahal, hidup tak selugu itu, kan?

Kemunculan Kelas Inspirasi tentu menjadi jalan bagi saya mengenal lebih banyak orang. Bahkan, penawaran menjelajah sekolah di pelosok menyunggingkan senyum yang tak bisa ditahan-tahan. Sebagian kehidupan saya di Enrekang sudah cukup karib dengan pegunungan dan pedalaman. Jarak dua jam perjalanan tentu bukan soal jika dibandingkan jalan mulus daerah ini. Malah sebenarnya, kalau perlu tempat menginap di alam terbuka, tenda saya sudah siap buat sekadar camp. Sungguh sayang, tenda itu harus tergeletak tak berdaya di sudut kamar.

"Tahu kegiatan ini dari mana?" tanya seorang kawan.

Sebenarnya, saya mengenal komunitas itu sudah lama. Bak angin lalu. Terdengar kabarnya, tanpa pernah terlibat aktif di dalamnya. Angin sejuknya baru terasa ketika saya melihat pengumumannya di media sosial. Begitu lembutnya menginjak separuh kesadaran saya untuk menengok Kecamatan Cenrana.

Uniknya, semesta memang cukup "kurang ajar" berkomplot melengkapkan separuh perjalanan itu. Saya mendapatkan lokasi SDN 84 Watang Cenrana yang paling jauh dari akses utama. Kata orang, lokasinya berada di perbatasan kabupaten. Sekali lagi melangkah, Wajo sudah siap menyambut.

Perlengkapan yang sepennuhnya tak berlaku. (Imam Rahmanto)

***

"Satu mobil maki. Kakakku juga mau ikut besok pagi," ujar seorang teman.

Kami berjumpa dalam briefing Kelas Inspirasi, tepat detik-detik terakhir. Pun, saya mengenalnya sudah sejak lama. Kami terhubung dalam komunitas cabang media nasional di Makassar. Pertemuan di sela-sela penutup briefing merangkum kami dalam lokasi yang sama. Yah, mumpung kami juga kekurangan fotografer.

Hanya butuh beberapa jam keikutsertaan kakak perempuannya, yang juga seorang apoteker, bersama kami. Saya pun batal memulai berkendara motor dari malam hari menuju Cenrana. Lagipula, hujan dan kopi sudah cukup kuat menahan obrolan saya bersama seorang teman wartawan di warung kopi. Saya tak tega meninggalkannya karena sudah jauh-jauh menemui disana.

"Coba bayangkan, bagaimana jadinya kalau kita berangkat malam. Sementara hujan deras sepanjang jalan," kata teman saya lagi.

Ternyata hujan pula yang menahan saya hingga berjam-jam lamanya di depan tegukan kopi. Saya baru bisa pulang ke kosan menjelang pukul dua dini hari. Pun, saya tak memutuskan lelap. Saya lebih memilih menjaga kesadaran dengan menuntaskan novel terbaru dari Dewi 'Dee' Lestari. Karena saya punya penyakit akut yang sangat sulit disembuhkan; telat-bangun-pagi"

Sebelum mobil menjemput, saya sudah siaga di depan kamar. Kami harus memperkirakan tiba di lokasi sebelum upacara bendera dimulai. Artinya, perjalanan harus dimulai selepas subuh. Apalagi, ini juga pengalaman pertama kalinya teman saya yang berdarah asli Bone menjelahi ujung Cenrana.

"Kalau Cenrana, saya pernah ji kesana. Cuma kukira tidak ada mi kampung lain di ujungnya," ucapnya.

Perkiraannya benar-benar jauh meleset. Meski sudah berbekal Google Map dan pengetahuan terbatas sebagai warga pribumi, kami tetap berputar-putar jalan. Seandainya bisa menyeberangkan mobil dengan perahu di bawah jembatan, barangkali itu pilihan terbaik ketimbang kami memutar jauh hanya gara-gara kesasar. Ternyata, bertanya pada warga juga merupakan pilihan paling masuk akal.

Perjalanan menuju Cenrana ikut diwarnai hujan lebat. Kami membayangkan relawan lainnya yang berkendara motor. Barangkali, mereka bakal kuyup setiba di sekolahnya masing-masing.

Cenrana merupakan salah satu kecamatan yang masih ramai dengan lalu lintas sungai besarnya. Beberapa warga masih menggunakan perahu untuk aktivitasnya. Salah satu kecamatan yang juga masih terbilang pelosok di sekitar Kabupaten Bone. Wajar, kata teman saya, Cenrana jadi surga kepiting di kabupaten ini. Beruntungnya, saya bukan penggemar makanan yang kurang praktis di lidah itu.

Pemandangan sawah di sana juga masih lekat. Sebagian besar masyarakat nampaknya hidup dari bertani. Sejauh mata memandang, terhampar lahan yang belum ditanami padi. Di sisi lain, padi-padi menguning belum diarit. Sementara itu, saya juga didera kantuk karena belum tidur semalaman.

***

Anak-anak SDN 84 Watang Cenrana, Bone. (Imam Rahmanto)

Upacara belum dimulai ketika kami tiba di SDN 84 Watang Cenrana. Berbekal sambungan telepon, kami berhasil menjangkau sekolah tanpa perlu membuka peta apa pun. Nasib kami masih jauh lebih beruntung dibanding Kapolres dan Kepala Dinas Pendidikan yang juga masih sempat mengalami momen tersesat sebagai warga pribumi.

Oh iya, kami ternyata mendapatkan bantuan khusus dari kedua "relawan" tambahan. Tak disangka, sekolah di ujung kampung menjadi lokasi yang disambangi orang nomor satu kepolisian dan dinas itu. Mereka bahkan tak ingin ketinggalan ikut berbagi pengalaman mengenai pekerjaannya dalam satu-dua ruang kelas. Padahal, ada 9 sekolah di Cenrana yang sudah dibagi-bagi oleh panitia dan fasilitator.

Saya sempat kepikiran, kalau polisi juga ikut serta dalam Kelas Inspirasi, bisa habis "menjajah" persaingan kami yang profesinya tak pernah disebut-sebut anak kecil.

"Kamu mau jadi apa?"

"Polisi!"

"Tentara!"

"Dokter!"

"Guru!"

"Hokage!"

Mana ada yang pernah menyebut mau jadi wartawan? Hah? Hah!

Akan tetapi, saya menyadari, Kelas Inspirasi memang tak pernah membatasi profesi yang bisa berpartisipasi. Siapa saja boleh bergabung. Tak perlu punya pengalaman mengajar. Tujuannya semata-mata menunjukkan profesi masing-masing kepada para  siswa SD. Paling tidak, cita-cita mereka bisa bergeser dari pemahaman umum yang hanya membatasi pekerjaan pada bidang tertentu.

Saya pun menghargai teman-teman yang rela mengambil cuti sehari untuk bisa menginspirasi anak-anak. Profesi apa pun selalu punya peran dan nilai masing-masing untuk diperkenalkan pada anak-anak sejak usia dini. Tak terkecuali di kelompok kami yang membagi peran sesuai keahlian masing-masing; apoteker, perawat, fotografer, akuntan, hingga jurnalis seperti saya.

Hal-hal itu sebagai bukti kesibukan tak selalu harus menjadi kambing hitam bagi tekad orang-orang yang ingin melakukan sesuatu. Terlebih jika "sesuatu" itu menyentuh bagian kecil dari kehidupan orang lain. Hanya butuh sehari untuk bisa menginspirasi seumur hidup. Kita takkan pernah menduga, jikalau anak-anak itu menyimpan ingatan dalam kepalanya bahwa: saya ingin menjadi seperti kakak itu!

Tetaplah menginspirasi. (Imam Rahmanto)

***

Saya menyukai segala hal tentang perjalanan. Hal-hal yang terangkum di dalamnya selalu memberikan pemahaman baru dalam proses menggapai kedewasaan. Sejatinya, manusia takkan pernah bisa dewasa tanpa perjalanan. Manusia berdiam diri sekalipun, nyatanya menapaki perjalanan di antara batas usia yang bisa dihitungnya.

Anak-anak selalu memandang kehidupan melalui perjalanan itu. Mereka senang mencicipi hal-hal baru. Rasa penasaran masih melampaui batas ambisi. Tak ada beban yang terlampau berat hanya untuk menarik bibir mereka. Apa saja akan mereka kerjakan. Apa adanya mereka bisa tertawa.

Kedatangan kami justru menjadi pengingat kehidupan yang langka. Sambutan anak-anak jadi penggugah bagi kami yang kerap mengalami defisit motivasi menjalani kehidupan. Bukankah senyum polos anak-anak selalu meluluhkan lelah dan gundah? Saya akan menyimpannya untuk waktu yang cukup lama.





--Imam Rahmanto-- 


You Might Also Like

2 comments