Orang Baru

April 12, 2018

Baca Juga

"Apakah kamu sudah berlogat?" pertanyaan yang akan selalu mampir bagi teman-teman di Enrekang.

Minggu lalu, saya masih menyempatkan diri pulang ke Enrekang. Hanya butuh 3-4 jam untuk menempuh jarak dari sini. Lagipula, saya masih menyisakan beberapa barang yang harus dikirimkan ke tempat domisli yang baru. Koleksi buku, misalnya. 

Terasa lucu kala saya melafalkan bahasa yang sudah dipengaruhi logat dari Bugis. Padahal, saya sama sekali belum paham dengan bahasanya. Diantara teman-teman yang berkomunikasi memakai bahasa itu, saya akan menjadi orang yang terbengong-bengong sendirian. Sedikit sekali saya bisa memahaminya. Sisanya lebih banyak saya tanggapi dengan ikut tersenyum dan mencatat istilahnya diam-diam dalam kepala. Besok-besok mencari teman yang akan menerjemahkannya buat saya.

Dicelupkan dalam hal yang benar-benar baru memang terasa menyegarkan. Awalnya, kita akan tergagap dengan segala adaptasi yang meyentuh bagian hidup kita. Selanjutnya, semesta akan bekerja sebagaimana mestinya. Seharusnya, proses adaptasi sudah turun-temurun menjadi bawaan setiap makhluk yang bisa bernapas.

Bagi saya, barangkali Bone selayaknya Jogja di Pulau Jawa yang kaya dengan budaya-budaya peninggalan masa lalu. Masyarakat masih kental dengan bahasa dan adatnya. Meski begitu, suasananya sudah bisa dikategorikan sebagai bagian dari perkotaan. Kata teman, masyarakatnya saja yang enggan menyetujui Bone menjadi konsep kotamadya.

Kadang kala, saya akan tertawa sendiri mengingat ketersesatan saya di jalan-jalan bercabang wilayah ini. Tertawa dalam hati mendengarkan orang-orang di seberang meja mengobrol dalam logat dan bahasa Bugis. Menelusuri iramanya menjadi kesibukan baru yang lumayan menyenangkan. Bahkan, tak hanya mendengar irama, saya juga semakin akrab dengan aroma. Serius. Entah bagaimana, orang-orang di tempat ini punya aroma yang sama.

Sebagai orang yang kadung penasaran dengan cerita-cerita dan sejarah, penempatan saya bukanlah suatu kesalahan. Bukan perkara tempat ini akan mempertemukan saya dengan sang mantan. Saya lebih menanti-nanti bertemu dengan cerita-cerita baru. Apalagi, saya sudah melihat bagaimana (fanatik) cinta orang-orang Bugis terhadap adat dan budayanya sendiri. 

Setiap hari adalah hal baru. Tempat baru. Teman baru. Pemikiran baru. Petualangan baru. Dan semoga, apa yang usang juga merupa wajah yang baru.

***

Meja favorit. (Imam Rahmanto)

"Biasanya nongkrong dimana?" tanya teman wartawan yang lain.

Tempat nongkrong teman-teman seprofesi biasanya ada di ujung jalan. Pertama kali menginjakkan kaki di Bone, saya diajak teman kesana. Tempatnya cukup luas dan populer. 

Akan tetapi, berbeda dengan tempat itu, saya lebih suka menyendiri di tempat lainnya. Tanpa sengaja, saya berjumpa dengan kafe kecil ini. Ukurannya hanya sepetak ruko. Agak sepi dari keramaian dan hiruk-pikuk kendaraan. Hanya saja, menjelang pertengahan malam, anak-anak muda akan membentuk keramaian dengan permainan game online di tangannya masing-masing. 

Bagi saya, suasana itu masih tetap terasa sepi. Saya menikmati kesendirian di meja terluar. Sesekali pemilik kafe akan menyapa karena sudah mengenali saya sebagai pelanggan tetapnya. Kami juga terhubung sebagai penggemar arabika. Sayangnya, dia masih sering melabeli panggilan saya dengan "Pak".

"Aduh, jangan ki panggil ka 'Pak', Kak. Kayaknya lebih muda ja dari kita'," tekan saya. Hanya saja, usulan saya itu masih mentah selama beberapa hari belakangan. 

Saya menemukan suasana sepi yang sesungguhnya ketika berada di tengah keramaian. Sepi yang benar-benar sepi bukan malah menyendiri dalam kamar, menutup pintu dan jendela. Keramaian semacam di kafe justru menawarkan irama hidup yang membuat saya menimbang-nimbang cara bersosialisasi yang benar. Telinga saya juga terhibur dengan obrolan-obrolan khas warung kopi meski sekadar menyaring tawa-tawa yang membahana. []



--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments