Touchdown
April 04, 2018Baca Juga
Sudah dua kopi-susu yang mampir di atas meja saya. Padahal, cuaca sedang panas-panasnya. Tak ada pertanda suhu udara akan turun. Seharusnya, orang-orang normal lebih memilih minuman dingin, semisal jus, untuk cahaya yang telanjur menyilaukan mata.
Tempat saya menyeruput kopi juga tak begitu ramai. Satu orang di seberang meja sedang sibuk berulang-ulang membunyikan "enemy has been slained" dari gawainya. Meja di sebelahnya, empat orang berkumpul untuk membahas pekerjaan. Mereka tampaknya kerap menjadikan kafe yang tak begitu luas ini sebagai tempat mengobrol. Saya baru mengenali kafe ini dari sekian banyak pilihan yang diberikan Google Map, beberapa jam yang lalu.
Sementara itu, saya resmi baru sehari menjejakkan kaki di ibukota kabupaten Bone ini. Saya serasa kembali ke Makassar. Yah, suasananya tak jauh berbeda. Padat kendaraan, lampu-lampu kota, hiruk-pikuk anak muda, hingga kesibukan dari berbagai lintas pekerjaan. Bahkan, untuk menggeber roda dua di kota ini, saya mesti lebih banyak mengacu pada peta digital. Seharusnya, memang, kabupaten ini juga berstatus "kotamadya" seperti Parepare atau Palopo.
Pun, pekerjaan saya belum berjalan sebagaimana mestinya. Saya lebih memilih memanggul ransel ke salah satu warung kopi. Sambil mencari-cari ide liputan, sekaligus mencuri waktu. Barangkali, karena terbawa-bawa kebiasaan di Enrekang, saya butuh asupan "gizi" kafein. Ditambah lagi, saya juga belum mengenal siapa-siapa di kota semi-metropolitan ini.
"Kenapa tidak bilang-bilang kalau mau pindah?" tanya teman dari Enrekang.
"Tidak ada acara perpisahan?" tanya teman yang lainnya.
Dan hal itu, membuat saya harus terus mengingat (dan barangkali akan pulang) pada segala hal tentang lekuk gunung dan keelokan alamnya.
Beberapa hari lalu, saya menutup petualangan di kampung halaman dengan mendaki puncak Gunung Bambapuang. Saya akan menceritakannya lain waktu. Saya menganggap pengalaman itu sebagai bagian dari mengucapkan "sampai jumpa" untuk puncak-puncak eksotis di Kabupaten Enrekang. Aktiivitas menggendong ransel, menyeduh kopi di alam terbuka, hingga berbaring di bawah atap langit akan menjadi sesuatu yang benar-benar dirindukan. Saya tentu akan selalu bertanya-tanya, "Kapan lagi bisa menemukan waktu luang untuk bertualang seperti itu?"
Saya semakin percaya, apa pun yang digoreskan lewat secarik kertas akan menjadi kenyataan. Semesta bisa bekerja diam-diam untuk mewujudkannya. Tanpa disadari, kita akan takjub cara kerja Tuhan dalam meluluskan keinginan paling dasar manusia. Tak peduli lewat tangan orang lain atau dorongan yang tak diduga-duga.
Bambapuang, sebenarnya, bukan gunung-gunung yang tertinggi di tanah Massenrempulu. Hanya saja, gunung itu menjadi akar segala mitos yang berkembang di kalangan masyarakat. Disebut sebagai tangga yang mencapai puncak negeri dewata. Semua tebing dan gunung yang memanjang menuju Tana Toraja dianggap sebagai patahannya. Pun, ia patah karena manusia melanggar pantangan dewata.
Betapa gunung itu mengingatkan perjalanan saya bolak-balik Enrekang-Duri. Puncaknya tak pernah gagal mengambil alih fokus dalam perjalanan melintasi jalan poros. Bambapuang kerap begitu gagahnya memamerkan puncaknya, yang cenderung agak terjal, dari jalan poros.
Perjalanan di Enrekang memang harus ditutup dengan petualangan yang cukup berkesan. Petualangan itu biasanya berhubungan erat dengan kemah dan mendaki. Jangan heran, karena Enrekang memang selalu menawarkan banyak pegunungan atau perbukitan menawan. Sangat rugi rasanya jika seumur hidup tak pernah merasakan nikmatnya bermalam di bawah cahaya purnama dan rasi bintang.
Kampung itu bakal tetap menjadi muasal saya di mana pun berada. Bahkan, ketika orang bertanya-tanya tentang daerah asal, saya hanya perlu menjawab, "Saya orang Enrekang." Saya akan benar-benar merindukan momen-momen bertualang di alam terbuka.
"Kalau kamu mau pulang, pulang saja. Apa saja yang kamu bawakan, itu akan terasa spesial buat Bunda," kata Bunda, usai pamit di rumahnya dan disuguhi dengan Nasu Cemba. Membuat saya semakin berat. Beraaat, Dilan!
Matahari masih terasa panas. Sementara, tagihan liputan juga semakin mendesak untuk dituntaskan. Dan, Ya Tuhan, saya lebih memilih merampungkan satu postingan di blog ini.
Akh, saya ingat, bertugas di daerah tidak perlu tergesa-gesa. Segalanya harus dinikmati sesantai-santainya menginginkan waktu luang. Masih ada beberapa jam untuk menghabiskan setengah gelas kopi-susu di hadapan saya.
Tempat saya menyeruput kopi juga tak begitu ramai. Satu orang di seberang meja sedang sibuk berulang-ulang membunyikan "enemy has been slained" dari gawainya. Meja di sebelahnya, empat orang berkumpul untuk membahas pekerjaan. Mereka tampaknya kerap menjadikan kafe yang tak begitu luas ini sebagai tempat mengobrol. Saya baru mengenali kafe ini dari sekian banyak pilihan yang diberikan Google Map, beberapa jam yang lalu.
Sementara itu, saya resmi baru sehari menjejakkan kaki di ibukota kabupaten Bone ini. Saya serasa kembali ke Makassar. Yah, suasananya tak jauh berbeda. Padat kendaraan, lampu-lampu kota, hiruk-pikuk anak muda, hingga kesibukan dari berbagai lintas pekerjaan. Bahkan, untuk menggeber roda dua di kota ini, saya mesti lebih banyak mengacu pada peta digital. Seharusnya, memang, kabupaten ini juga berstatus "kotamadya" seperti Parepare atau Palopo.
Pun, pekerjaan saya belum berjalan sebagaimana mestinya. Saya lebih memilih memanggul ransel ke salah satu warung kopi. Sambil mencari-cari ide liputan, sekaligus mencuri waktu. Barangkali, karena terbawa-bawa kebiasaan di Enrekang, saya butuh asupan "gizi" kafein. Ditambah lagi, saya juga belum mengenal siapa-siapa di kota semi-metropolitan ini.
"Kenapa tidak bilang-bilang kalau mau pindah?" tanya teman dari Enrekang.
"Tidak ada acara perpisahan?" tanya teman yang lainnya.
Dan hal itu, membuat saya harus terus mengingat (dan barangkali akan pulang) pada segala hal tentang lekuk gunung dan keelokan alamnya.
***
Di atas puncak Gunung Bambapuang. (Imam Rahmanto) |
Beberapa hari lalu, saya menutup petualangan di kampung halaman dengan mendaki puncak Gunung Bambapuang. Saya akan menceritakannya lain waktu. Saya menganggap pengalaman itu sebagai bagian dari mengucapkan "sampai jumpa" untuk puncak-puncak eksotis di Kabupaten Enrekang. Aktiivitas menggendong ransel, menyeduh kopi di alam terbuka, hingga berbaring di bawah atap langit akan menjadi sesuatu yang benar-benar dirindukan. Saya tentu akan selalu bertanya-tanya, "Kapan lagi bisa menemukan waktu luang untuk bertualang seperti itu?"
Saya semakin percaya, apa pun yang digoreskan lewat secarik kertas akan menjadi kenyataan. Semesta bisa bekerja diam-diam untuk mewujudkannya. Tanpa disadari, kita akan takjub cara kerja Tuhan dalam meluluskan keinginan paling dasar manusia. Tak peduli lewat tangan orang lain atau dorongan yang tak diduga-duga.
Bambapuang, sebenarnya, bukan gunung-gunung yang tertinggi di tanah Massenrempulu. Hanya saja, gunung itu menjadi akar segala mitos yang berkembang di kalangan masyarakat. Disebut sebagai tangga yang mencapai puncak negeri dewata. Semua tebing dan gunung yang memanjang menuju Tana Toraja dianggap sebagai patahannya. Pun, ia patah karena manusia melanggar pantangan dewata.
Betapa gunung itu mengingatkan perjalanan saya bolak-balik Enrekang-Duri. Puncaknya tak pernah gagal mengambil alih fokus dalam perjalanan melintasi jalan poros. Bambapuang kerap begitu gagahnya memamerkan puncaknya, yang cenderung agak terjal, dari jalan poros.
Perjalanan di Enrekang memang harus ditutup dengan petualangan yang cukup berkesan. Petualangan itu biasanya berhubungan erat dengan kemah dan mendaki. Jangan heran, karena Enrekang memang selalu menawarkan banyak pegunungan atau perbukitan menawan. Sangat rugi rasanya jika seumur hidup tak pernah merasakan nikmatnya bermalam di bawah cahaya purnama dan rasi bintang.
Kampung itu bakal tetap menjadi muasal saya di mana pun berada. Bahkan, ketika orang bertanya-tanya tentang daerah asal, saya hanya perlu menjawab, "Saya orang Enrekang." Saya akan benar-benar merindukan momen-momen bertualang di alam terbuka.
"Kalau kamu mau pulang, pulang saja. Apa saja yang kamu bawakan, itu akan terasa spesial buat Bunda," kata Bunda, usai pamit di rumahnya dan disuguhi dengan Nasu Cemba. Membuat saya semakin berat. Beraaat, Dilan!
***
Matahari masih terasa panas. Sementara, tagihan liputan juga semakin mendesak untuk dituntaskan. Dan, Ya Tuhan, saya lebih memilih merampungkan satu postingan di blog ini.
Akh, saya ingat, bertugas di daerah tidak perlu tergesa-gesa. Segalanya harus dinikmati sesantai-santainya menginginkan waktu luang. Masih ada beberapa jam untuk menghabiskan setengah gelas kopi-susu di hadapan saya.
--Imam Rahmanto--
0 comments