Timestamp
Mei 30, 2021Baca Juga
Foto: Imam Rahmanto |
Usia memang tak bisa ditahan-tahan. Seiring waktu terus berjalan, usia juga terus bertambah. Banyak hal yang juga tidak bisa dilepaskan dari perkara waktu mendewasa itu.
Memang, urusan dewasa tak lantas bisa dihubungkan dengan berapa digit usia kita. Karena setiap orang juga selalu berjodoh dengan "waktu"nya masing-masing. Sudah ada fasenya masing-masing. Ada yang dewasa pada usia 20-an. Ada yang dewasa ketika melewati quarter crisis life. Pun, seseorang bisa baru menggapai kedewasaan pada momen memiliki anak pertamanya..
Yah, orang sudah berjodoh dengan "waktu" yang tepatnya masing-masing. Satu orang tak bisa jadi ukuran mutlak.
Ada konsekuensi atas bertambahnya usia, yakni waktu yang semakin menyempit. Entah itu waktu bermain-main, berkumpul bersama orang-orang tersayang, atau sekadar waktu untuk menjaga kesehatan. Tak lagi seperti masa-masa usia lebih muda, dimana kita belum kehilangan banyak waktu. Kita bebas memilih apa saja tanpa perlu mempertimbangkan "konsekuensi" waktu itu.
"Cerita ini sepertinya bisa saya tulis deh," pikir saya di sela-sela mendengarkan kisah orang lain.
Dulu, mudah bagi saya menggerakkan niat yang sudah muncul di kepala. Belum banyak tuntutan pekerjaan. Berbanding terbalik dengan waktu luang, yang kadang kala bisa saya manfaatkan dengan berpetualang. Prioritas saya mengabadikan setiap momen dan belajar detail-detail kecil di dalamnya.
Kini, saya harus mengganti prioritasnya.
"Berita ini sepertinya harus saya tulis deh," pikir saya yang dibayang-bayangi pekerjaan.
Benar (sebagian) kata pepatah, waktu adalah uang. Waktu sangat bernilai materil bagi orang-orang, yang semakin bertambahnya usia, semakin besar pula tanggung jawabnya untuk mencari nafkah. Logis jika memikirkan bahwa; semakin terbatasnya waktu, semakin terbatasnya pilihan. Ada skala prioritas di dalamnya.
Kita membuang pilihan untuk hal-hal sepele, tak penting, remeh-temeh, atau yang tak berkorelasi hasil. Prioritas saat ini mungkin lebih condong kepada konsep harta, tahta, dan wanita.
Selama setahun belakangan, saya mengalaminya. Paling sederhana mengenai "rumah" ini. Saya jadi bosan harus menyusun kata per kata penyesalan (karena tak merawatnya), menguatkan tekad atau semangat agar kembali mengisinya, hingga toh tetap kembali kehilangan "waktu" untuknya.
Siklusnya sama; sadar - menyesal - berjanji takkan mengulanginya - lupa. Seperti orang yang berbuat dosa, bukan?
Saya tak bisa terus-terusan mengulangi siklus semacam itu. Namun, bukan berarti memaksa diri untuk mengisinya dengan gigih dan bertanggung jawab.
Sebaliknya, saya hanya harus menerima bahwa waktu tidak sepenuhnya bisa dialihkan untuk sekadar selingan. Karena yang ada di kepala saat ini memang hanya seputar; bekerja, bekerja, dan bekerja. Tak perlu denial. It's ok not to be ok.
Prioritas membaca juga mulai kehilangan tempatnya. Untuk menamatkan satu buku saja sudah sangat sulit bagi saya. Beberapa buku baru masih menyisakan lembar-lembar yang belum dibaca. Sungguh malang.
Mungkin karena mengalami fase bertambahnya usia itu membuat saya banyak kehilangan waktu. Pilihan semakin terbatas di tengah kehidupan yang semakin keras. Toh, memang seperti itu...
***
Hujan baru saja reda. Ia berkejaran dengan bulan Juni yang akan datang tiga hari lagi. Sejak siang, langit sudah begitu gelap dan tak mengizinkan orang-orang beraktivitas di luar. Saya hanya menghabiskan waktu libur dengan tidur. Kekasih saya juga sedang tak enak badan untuk diajak jalan-jalan mengitari Kota Hujan.
Baru beberapa jam yang lalu, saya menembus gerimis bersama tetangga kosan. Kami mencari sedikit penghiburan lewat kedai kopi (dan angkringan) baru di dekat kosan.
"Di sini tergolong baru. Soalnya baru dua bulan, kalau gak salah," ucap saya kepada tetangga kosan yang baru muncul lagi setelah WFH berbulan-bulan di kampung halamannya.
Ngopi menjadi cara kami menghabiskan waktu, mengelabui prioritas. Salah satu cara paling epik melupakan kegelisahan akan hidup dan meluapkan semangat yang nyaris meredup. []
0 comments