Secuil Peduli

Juli 20, 2021

Baca Juga

Di luar rumah, takbir sedang bersahut-sahutan. Orang-orang di sekitar kosan ini masih sangat bersemangat menyambut Salat Ied esok hari. Imbauan pemerintah sama sekali tak mempan untuk mereka.

Harus berapa banyak kehilangan lagi yang kita rasakan agar orang-orang tertampar? 

***

Saya masih beruntung bisa bertahan di situasi serba sulit ini. Setiap kali teman-teman di ujung pulau bertanya kabar, saya takkan gamang menjawab: I'm okay as usual. 

Lebih beruntungnya lagi, belum terpapar virus yang menggila saat ini. 

Atau...entahlah kalau sebenarnya saya pernah terpapar namun tanpa gejala dan akhirnya sembuh sendiri. Sejak dulu, saya tak memahami cara kerja sistem "pertahanan" tubuh saya. Makan paling mentok cuma sekali dalam sehari. Ngopi bisa tiga kali dalam sehari. Sementara demam, sakit kepala, diare, atau apapun itu, selalu diatasi dengan: selimut seluruh badan sampai banjir keringat.

Padahal, adik perempuan saya di tempat kerjanya sempat mengisolasi diri karena positif Covid-19. Ia menjadi kontak erat dari atasanya yang sempat dilarikan ke rumah sakit. 

Saya sampai harus menceramahinya karena kecerobohan sendiri sebagai tenaga kesehatan (nakes). Kasihan, ia sampai nyaris sesenggukan di ujung telepon. Padahal waktu itu ia dalam kondisi isolasi mandiri. Saya sadar, omelan itu hanya akan membuat kepalanya berat dan kalut. 

Adik saya hanya sebagian dari orang-orang dekat atau kenalan yang terdengar kabarnya bersentuhan langsung dengan pandemi ini. Kabar buruk berdatangan satu demi satu. Di lingkungan saya; rekan-rekan kantor, teman-teman jurnalis, atau sekadar teman-teman se-grup Whatsapp

Orang-orang itu butuh dukungan moral. Antibiotik atau vitamin C (apalagi susu beruang) bukan semata-mata yang bisa membantu pemulihan mereka yang tersuruk. 

Semakin kesini, saya semakin sadar bahwa sekecil apapun perhatian untuk orang-orang di tengah pandemi ini akan sangat berarti. Mungkin, bagi kita nilainya terasa kecil. Bagi orang yang sudah merasai lebih banyak kehilangan, nilainya jauh lebih besar dan berlipat. Entah itu kehilangan pekerjaan atau kehilangan orang terkasih.

"Kau lagi sakit ya?" 

"Bagaimana situasi di sana? Hati-hati, kondisi lagi riskan dimana-mana," 

"Eh, itu keluargamu? Turut berduka cita ya"

Pesan-pesan sederhana yang bisa mulai dikirimkan untuk saling menguatkan satu sama lain. Tak perlu menceramahi. Cukup dengan doa-doa selewat atau sedikit bantuan, kalau mampu.

Setidaknya, ada kucing tetangga yang selalu main ke kamar. (Imam Rahmanto)

***

Saya membuka-buka facebook. Status adik saya melintas setelah beberapa scrolling. Ia telah tiba di rumah. Berfoto berdua bersama ayah saya. Siap-siap menyambut Hari Raya Idul Adha besok. 

Bukan, sepertinya hari sudah telanjur berganti. Berarti, yang tepat adalah hari ini.

Semoga kita semua masih bisa bertahan di tengah badai ini. []



--Imam Rahmanto--

 

You Might Also Like

0 comments