Road to Bali (part 1)

September 21, 2021

Baca Juga

"Mam, besok ikut pak bos ekspedisi Jawa-Bali ya," sebuah pesan singkat dari Korlip tiba di Whatsapp.

Beberapa jam berikutnya, disusul oleh petinggi kantor yang mengabari informasi serupa. Sungguh, pesan-pesan yang berentetan itu menggangu waktu libur saya yang sedang asyik menamatkan level baru dari Plants vs Zombie 2.

Sebenarnya, saya sudah menduga bakal ikut dalam perjalanan panjang selama beberapa hari itu. Seorang teman sudah sempat mewanti-wanti, beberapa hari sebelumnya. Ia melihat nama saya tercantum sebagai salah satu tim yang akan mendampingi bos besar melakukan perjalanan Jawa - Bali. Kampanye berdamai dengan Covid-19, katanya.

"Seminggu kayaknya. Siap-siap aja ya. Pakai mobil soalnya," chat yang sambung-menyambung dengan kegundahan saya.

Label "Bali" memang cukup menggiurkan bagi siapa saja. Termasuk saya, yang sama sekali belum pernah menginjakkan kaki di Pulau Dewata itu. Namun, saya agak ragu dengan perjalanan ramai-ramai seperti itu. Ada saja titah pekerjaan yang siap-siap keluar dari mulut bos, yang tergila-gila dengan konten. 

Saya agak malas bepergian teramat jauh dengan menenteng urusan kantor di kepala. Sementara di sisi lain, saya juga merasa "gak enakan" dengan program perjalanan, yang sejak awal saya tahu hanya jalan-jalan berbalut "kampanye Covid-19".

Bagi saya, pengalaman bepergian keluar daerah seperti ini tidak terlalu meninggalkan kesan mendalam. Mungkin, sekadar pengalaman bahwa "pernah ke sana". Namun, sensasi merasai tiap detail perjalanan tak banyak berpengaruh.

Saya mungkin akan lebih menikmati pengalaman bepergian kabupaten tetangga meski sekadar camping semalam. Tanpa dibebani tuntutan pekerjaan. Tanpa dihantui perintah sana-sini. Bebas melangkahkan kaki kemana saja. Bebas menggali percakapan dari mana saja. 

Bahkan, sekadar duduk memandangi daun-daun yang bergoyang karena terpaan angin sudah cukup menyenangkan. Isi kepala dibuat berdamai. That's the real healing. Konten mah belakangan.

Tapi, mau bagaimana lagi. Saya harus "profesional" dengan lampiran pekerjaan dari kantor. Anggap saja, menggugurkan kewajiban sambil mencecap sedikit rasa Bali dan daerah lainnya yang akan kami singgahi. [1]

Guess where. (Imam Rahmanto)


***

Kapan terakhir kali saya menulis lepas seperti ini ya? Terlalu lama vakum dan menyibukkan diri dengan pekerjaan yang tidak membuat kaya raya. 

Setidaknya, perjalanan jauh dari pusat rutinitas itu memberikan angin segar bagi pikiran saya sendiri. Sejenak, keluar dari kandang, berkawan dengan perjalanan, adalah cara terbaik menelusuri pikiran-pikiran yang telah lama hilang~


--Imam Rahmanto--


You Might Also Like

0 comments