Malaikat atau Iblis?
Mei 31, 2018Baca Juga
Purnama sudah rutin menambangi saya. Ini kali keduanya kami berjumpa di kota beradat. Purnama selalu terlihat lebih bulat dan raksasa di kota ini. Sayangnya, kami tidak bisa berbincang lama. lampu-lampu kota dan deru mesin kendaraan memisahkan romantisme itu.
Ramadan ini, saya baru bisa menenggelamkan diri lagi dalam buku dan aromanya. Seorang teman dari Jakarta mengirimkannya sebagai hadiah. Hanya karena aktif dan sering bersahut-sahutan di twitter, saya jadi salah satu yang beruntung mendapatkan ala-ala giveaway itu. Sebenarnya, kami pernah disatukan oleh tugas liputan olahraga yang sama di Makassar.
Sebagai bentuk rasa tanggung jawab, saya memang sudah semestinya menamatkan buku itu. Lagian, saya juga sudah lama merindukan "romantisme" tenggelam dalam dunia buku, bukan dunia maya. Bisa duduk nyender, menyeruput kopi, memutar musik-musik indie, membolak-balikkan buku adalah kegiatan langka selama bergelut di dunia kerja.
"Kadang aku terlalu banget ngejar kerjaan di sini, mikirin gimana caranya bisa dapat apa yang dimau kantor, tapi jadinya lupa ada yang perlu aku kejar juga," ucap seorang teman dalam perbincangan Whatsapp.
Pekerjaan, apa pun, memang selalu membuat kita lupa segalanya. Lupa bahwa kita juga seharusnya punya waktu untuk menjadi diri sendiri...
Sekali lagi, saya dihadapkan pada karya Paulo Coelho. Buku yang tak begitu tebal namun membuat siapa saja yang membacanya harus berpikir lebih dalam. Seperti biasa, karyanya selalu disisipi pemikiran-pemikiran ala filsuf.
Sejauh yang saya tahu, buku-buku Paulo selalu menyajikan berbagai metafora kehidupan. Segala lini disasarnya, termasuk soal agama. Tak terkecuali dalam buku yang satu ini.
Ini tentang sebuah desa terpencil dengan jumlah penduduk 281 orang. Meski jauh dari hiruk-pikuk keramaian, Viscos menjadi desa yang tenang. Penduduknya bekerja seperti biasanya dan tak ada yang begitu istimewa. Hingga datangnya seorang asing membawa sebelas batang emas, menawarkan rencana iblis untuk seisi penduduk desa.
Salah seorang penjaga restoran, Chantal Prymm tak sengaja terlibat dalam rencana rumit orang asing itu. Malaikat dan iblisnya juga terlibat dalam pergumulan. Apakah mengorbankan desanya atau tenggelam dalam rencana gelap sang iblis.
Ceritanya diramu cukup sederhana. Beberapa sisipan filsafat dan ayat Tuhan bisa ditemukan di dalamnya. Hanya saja, seperti kata saya tadi, kita butuh waktu untuk mendalami dan memahami seperti apa metafora yang dikisahkan penulis.
Seperti kata penulis sendiri dalam pengantarnya, buku ini akan menjadi jawaban atas pergolakan antara Baik dan Jahat. Setiap manusia, selalu punya kedua sisi tersebut. Kita, umat muslim, barangkali lebih senang menyebutnya sebagai pertarungan antara Setan dan Malaikat. Kehidupan kita dibentuknya melalui proses panjang pergulatan kedua makhluk itu.
Saya ingat, ketika pertama kalinya membaca karya Paulo, The Alchemist. Saya diliputi perasaan kebingungan dengan rangkaian-rangkaian kejadiannya. Ceritanya cukup pelik untuk saya cerna. Meski begitu, saya tetap bisa menuntaskan ceritanya. Sialnya, cerita yang tuntas itu takkan lekang dalam kepala hanya dengan sekali baca. Toh, ketika orang-orang bertanya pada saya bagaimana jalan cerita The Alchemist, saya mungkin hanya bisa menggumam "gampang-gampang susah". (Lihat, cerita-cerita Paulo tak akan khatam hanya sekali cerna).
The Devil and Miss Prym juga berlaku seperti itu. Saya menamatkannya. Saya menimbang-nimbangnya. Saya pun menilainya. Akan tetapi, saya tidak bisa menggaransi jalan ceritanya bisa bertahan sangat lama.
Selain itu, saya juga baru tahu kalau buku ini adalah seri ketiga dari dari trilogi And on the Seventh Day. Masih ada dua buku lainya yang seharusnya menjadi pemicu untuk buku ini; By the River Piedra I Sat Down (1994) dan Veronika Decides to Die (1998).
Saya merasa beruntung saja bisa memiliki salah satu buku Paulo ini. Kelak, ketika saya butuh menyegarkan ingatan tentang pelajaran dari Paulo, saya akan membuka-buka dan membacanya.
Ramadan ini, saya baru bisa menenggelamkan diri lagi dalam buku dan aromanya. Seorang teman dari Jakarta mengirimkannya sebagai hadiah. Hanya karena aktif dan sering bersahut-sahutan di twitter, saya jadi salah satu yang beruntung mendapatkan ala-ala giveaway itu. Sebenarnya, kami pernah disatukan oleh tugas liputan olahraga yang sama di Makassar.
Sebagai bentuk rasa tanggung jawab, saya memang sudah semestinya menamatkan buku itu. Lagian, saya juga sudah lama merindukan "romantisme" tenggelam dalam dunia buku, bukan dunia maya. Bisa duduk nyender, menyeruput kopi, memutar musik-musik indie, membolak-balikkan buku adalah kegiatan langka selama bergelut di dunia kerja.
"Kadang aku terlalu banget ngejar kerjaan di sini, mikirin gimana caranya bisa dapat apa yang dimau kantor, tapi jadinya lupa ada yang perlu aku kejar juga," ucap seorang teman dalam perbincangan Whatsapp.
Pekerjaan, apa pun, memang selalu membuat kita lupa segalanya. Lupa bahwa kita juga seharusnya punya waktu untuk menjadi diri sendiri...
***
Koleksi pertama untuk edisi Paulo Coelho. (Imam Rahmanto) |
"Baik dan jahat memiliki wajah yang sama; semua tergantung kapan mereka melintasi kehidupan seorang manusia." [hal.56]
Sekali lagi, saya dihadapkan pada karya Paulo Coelho. Buku yang tak begitu tebal namun membuat siapa saja yang membacanya harus berpikir lebih dalam. Seperti biasa, karyanya selalu disisipi pemikiran-pemikiran ala filsuf.
Sejauh yang saya tahu, buku-buku Paulo selalu menyajikan berbagai metafora kehidupan. Segala lini disasarnya, termasuk soal agama. Tak terkecuali dalam buku yang satu ini.
Ini tentang sebuah desa terpencil dengan jumlah penduduk 281 orang. Meski jauh dari hiruk-pikuk keramaian, Viscos menjadi desa yang tenang. Penduduknya bekerja seperti biasanya dan tak ada yang begitu istimewa. Hingga datangnya seorang asing membawa sebelas batang emas, menawarkan rencana iblis untuk seisi penduduk desa.
Salah seorang penjaga restoran, Chantal Prymm tak sengaja terlibat dalam rencana rumit orang asing itu. Malaikat dan iblisnya juga terlibat dalam pergumulan. Apakah mengorbankan desanya atau tenggelam dalam rencana gelap sang iblis.
"Ia baru menyadari, ada dua hal yang mencegah kita meraih mimpi-mimpi kita: percaya bahwa mimpi-mimpi itu mustahil, atau menyaksikan bagaimana putaran nasib mendadak membuat itu menjadi mungkin, tepat ketika kita sama sekali tidak menduganya. Di saat seperti itu segenap ketakutan kita muncul di permukaan: takut memulai perjalanan yang membawa kita entah ke mana, takut terhadap kehidupan yang penuh tantangan baru, takut selamanya akan kehilangan segala sesuatu yang akrab dengan kita." [hal.51]
Ceritanya diramu cukup sederhana. Beberapa sisipan filsafat dan ayat Tuhan bisa ditemukan di dalamnya. Hanya saja, seperti kata saya tadi, kita butuh waktu untuk mendalami dan memahami seperti apa metafora yang dikisahkan penulis.
Seperti kata penulis sendiri dalam pengantarnya, buku ini akan menjadi jawaban atas pergolakan antara Baik dan Jahat. Setiap manusia, selalu punya kedua sisi tersebut. Kita, umat muslim, barangkali lebih senang menyebutnya sebagai pertarungan antara Setan dan Malaikat. Kehidupan kita dibentuknya melalui proses panjang pergulatan kedua makhluk itu.
Saya ingat, ketika pertama kalinya membaca karya Paulo, The Alchemist. Saya diliputi perasaan kebingungan dengan rangkaian-rangkaian kejadiannya. Ceritanya cukup pelik untuk saya cerna. Meski begitu, saya tetap bisa menuntaskan ceritanya. Sialnya, cerita yang tuntas itu takkan lekang dalam kepala hanya dengan sekali baca. Toh, ketika orang-orang bertanya pada saya bagaimana jalan cerita The Alchemist, saya mungkin hanya bisa menggumam "gampang-gampang susah". (Lihat, cerita-cerita Paulo tak akan khatam hanya sekali cerna).
The Devil and Miss Prym juga berlaku seperti itu. Saya menamatkannya. Saya menimbang-nimbangnya. Saya pun menilainya. Akan tetapi, saya tidak bisa menggaransi jalan ceritanya bisa bertahan sangat lama.
Selain itu, saya juga baru tahu kalau buku ini adalah seri ketiga dari dari trilogi And on the Seventh Day. Masih ada dua buku lainya yang seharusnya menjadi pemicu untuk buku ini; By the River Piedra I Sat Down (1994) dan Veronika Decides to Die (1998).
"Satu hal yang bisa kukatakan dengan pasti: hidup bisa terasa amat panjang atau sangat singkat, tergantung bagaimana kau menjalaninya." [hal.250]
Saya merasa beruntung saja bisa memiliki salah satu buku Paulo ini. Kelak, ketika saya butuh menyegarkan ingatan tentang pelajaran dari Paulo, saya akan membuka-buka dan membacanya.
Cap! Cop! (Imam Rahmanto) |
--Imam Rahmanto--
0 comments