32# Selepas Itu

Agustus 04, 2015

Baca Juga

"Hei, bagaimana dengan pacarmu? Artinya kamu menduakan pacarmu dong?"

"Ah, kamu kalau ke rumah pasti mau ketemu dia. Halah....nanti saya pertemukan deh,"

Anak-anak Baru Gede sedang riuh berdebat di atas mobil pete-pete. Mereka saling menertawai satu sama lain. Membahas hal yang remeh-temeh hingga yang tidak pantas diperbincangkan anak di bawah umur, semisal: pacaran. Ah, anak zaman sekarang terlalu berkiblat dengan tivi jaman modern.

Saya bukannya terganggu, malah diam-diam menikmati perbincangan itu. Obrolan dari anak-anak yang masih bebas menentukan jalan masa depannya. Lucu, meskipun tak jarang membuat saya mengelus dalam diam.

Angkutan umum yang saya tumpangi harus berputar dari jalur resminya. Ia terpaksa mengantarkan seorang penumpang ke daerah pemukiman pinggir kota. Berlawanan dengannya, saya harus melipir ke pinggir stadion, seperti biasa, bertemu dengan teman lain dan bersiap mengolah bahan liputan.

Sementara itu, 6 orang siswi (seingat saya) itu salah naik angkutan. Keluar dari sekolah mereka tadi, seharusnya mereka mengambil jalur ke arah tujuannya di terminal di ujung kota. Bukan sebaliknya. Mau tak mau, sang supir tetap mengangkut mereka demi mendapat sejumlah rupiah dari sekelompok ABG itu. Ia mengiyakan saja trayeknya, dan kemudian langsung berputar balik seusai mengantarkan saya tepat di depan stadion.

Ada yang menyenangkan mendengar perbincangan antar-siswi itu. Sembari tersenyum-senyum sendiri, saya menyimak perbincangannya. Hiburan tersendiri dari pengapnya kota Makassar.

"Oiya di, saya baru lupa!"

"Lupa? Ingat keleuss!" jawab yang lainnya membenarkan yang disambut tawa serentak. Plesetan yang baru saya dengar.

"Itu loh yang di grup itu, ada kicker, bagaimana itu......," pembicaraan yang juga saya tak mengerti arahnya.

"Oh...kickers itu yang di iklan wafer,"

"Snickers!" disambut dengan tawa lagi. Riuh di atas mobil.

"Oi, ini bukan kelas. Jangan ribut begitu," tegur seorang lainnya. Tapi tetap saja keramaian itu berjalan melintas kota.

***

Tiga jam sebelumnya...

Siang ini, saya baru saja berkunjung ke kampus. Meniti sisa-sisa kehidupan dari kampus. Saya ingin menyibak aromanya, yang mungkin tak lagi dibaui oleh teman-teman saya. Ah, kami, generasi yang mulai terlupa. Sepi.

Sebuah undangan mendarat di tangan saat saya menanyakannya pada pegawai kampus. Yah, undangan ini yang bakal mengakhiri kisah saya di kampus. Setelah sekian lama, saya bakal tak berjumpa lagi dengan kesibukan mengejar SKS. Kampus juga bakal tertinggalkan dari ingatan. Hanya tersisa keping-kepingnya saja yang terbenam jauh...mungkin jauh sekali.

Kata teman, "Oiya, telepon saya saja ya kalau kau mau ambil punyamu."

Lantaran bosan menunggui kantor dharmawanita buka, saya menitipkan nota pembayaran padanya. Nota itu untuk ditebuskan pada sebuah pakaian formal terakhir penanda kelulusan saya. Ia menelepon sebagai pertanda sudah mendapatkannya. Oiya, semoga teman saya itu juga secepatnya menemui ujian akhirnya.

Kini, di mata saya, kampus sudah sepi. Tak lagi seramai dulu. Pelan-pelan, saya menyadari, keramaian adalah perihal hadirnya orang-orang yang dikenal dan mengenal kita. Selalu berlaku dua arah.

***

Berhitung hari, saya akan melepas gelar sebagai mahasiswa. Sebenarnya sudah sejak beberapa bulan lalu saat saya diyudisiumkan. Namun seremoninya baru akan berlangsung dalam waktu dekat ini.

Hal itu otomatis menjadi penanda saya bakal meninggalkan waktu-waktu muda menjalani "sekolah" formal. Saya akan menanggalkan sifat-sifat kekanakan yang tak dibutuhkan lagi. Seharusnya saya sudah mendewasa satu level lebih jauh lagi. Iya, seharusnya...

Saya akan merindukan saat berkumpul dengan teman sekolah, belajar kelompok, bergosip tentang "siapa-suka-siapa", bercerita guru paling killer, pergi bareng, hang-out bareng, pulang bareng, atau semua pekerjaan dan kegembiraan yang dilakukan ramai-ramai.

Di dunia yang berbeda, semuanya juga ikut berubah. Kalau dulu kita yang selalu berharap dipenuhi kebutuhannya, maka kini kita lah yang bakal memenuhi kebutuhan keluarga. Kalau dulu kita yang selalu dikuatkan keluarga, maka kita berganti menjadi penguat keluarga. Semua bakal berubah, tak lagi seperti saat kita umur belasan dan masih bebas merapal kiasan tak penting.

Masa kita menghadapi dunia di luar "pagar" pendidikan tak lagi sama. Kita akan dihadapkan pada momen yang lebih kompleks. Kita tak bisa lagi sekadar tertawa tanpa alasan seperti yang kerap kita lakukan di masa sekolah. Seperti anak-anak perempuan yang saya temui di angkutan kota itu. Segala hal mulai butuh alasan. Tertawa; apa yang kau tertawakan?

Suatu hari kelak, kita akan merindukan masa-masa bebas itu.

Saya mendapati seorang teman yang malam ini sedang membutuhkan pelukan dari ibunya. A hug. Ia merindukannya. Sementara ia sadar, kehidupannya tak lagi seperti anak kecil dulu. Mungkin, sewaktu kecil ia banyak mendapat "big hug" dari ibunya. Rengkuhan lembut menyembuhkan segala luka.

Lantas, kita kemudian sadar, waktu terus berjalan. Dalam persepsi keterbatasan manusia, ia melaju. Dalam kekuasaan Tuhan, waktu justru berhitung mundur. Masa kecil mulai menghilang selepas sekolah, selepas kuliah, selepasnya lagi, selepasnya lagi, selepasnya lagi, hingga jiwa kita yang terlepas dari dunia ini.


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments