Rapor Dewasa

Agustus 11, 2015

Baca Juga

Jelang tiga hari, saya akan menjumpai seremoni besar-besaran. Entah saya harus menandainya seperti apa. Bagi kebanyakan orang, itu adalah satu dari sekian hal istimewa dalam hidupnya. Tak pelak, acara besar rutin dianggarkan di tengah keluarga mengundang para handai taulan dan seluruh kerabat.

Sejujurnya bagi saya, acara itu hanya formalitas belaka. Seriously. Jika bukan karena orang tua, saya lebih memilih untuk mengabaikannya. Toh, hanya upacara-pidato-penanda yang digelar 2-3 jam lamanya. Selebihnya, kita harus kembali sadar ke dunia nyata bahwa; saya masih punya kehidupan lebih panjang untuk diurusi.

"Acaranya jadinya kapan? Kamu bagaimana? Kamu harus pulang jemput mamakmu. Dia mau lihat,"

Beberapa hari belakangan, bapak sering menelepon. Ia hendak mengatur rencana tentang acara itu. Saya mengerti, sebagai orang tua, mungkin ini salah satu momen terpenting baginya. Anak yang dibiayainya lebih 4 tahun untuk kuliah akhirnya bisa menimang toganya. Akh, sementara saya tak ingin memusingkan gelar kesarjanaan itu. Nothing special about that.

Dulu, saat pengumuman kenaikan kelas, mamak selalu menyempatkan hadir di sekolah. Mamak bisa berbangga mendengar anaknya dipanggil dengan ranking tertinggi. Selalu terulang. Senyum sumringah tak lepas dari wajahnya. Semua pandangan orang tua murid pun takjub tertuju padanya.

"Waduh, mbak, selamat ya anaknya," wali kelas selalu menyalami demikian.

Saya tak cukup tahu untuk momentum satu ini. Seperti apa mamak bakal menyambut nama anaknya. Ah, tidak. Seingat saya, acara yang melibatkan ribuan alumni ini hanya diperpanjang oleh pidato rektor ditambah dengan penyebutan nama lulusan terbaik. Saya tidak punya ekspektasi tinggi-tinggi atas nama saya. Cukup dengan pakaian seragam kebanggaan yang bakal diabadikan mamak dalam foto bersamanya.

Saya tak peduli lagi soal nilai tinggi itu. Sejak kemarin, saya sudah menjelahahi dunia yang sebenarnya. Saya jadi banyak mengenal implisit tak kasat mata yang diabaikan dunia formal.

Bahwa kehidupan tak sekadar mempertaruhkan gelar dan IPK tertinggi. Dunia sesungguhnya, adalah dunia belajar tertinggi. Kau takkan pernah tahu seberapa tinggi indeks prestasi kita di mata Tuhan. Hanya saja, Rasulullah sudah menandaskan, nilai kita bisa diukur dari sejauh mana kehadiran kita berguna untuk orang lain.

Lepas momen besar itu, saya cukup memberitahu bapak dan mamak,

"Saya sekarang selesai. Bapak dan mamak tak perlu lagi khawatir,"

Saya ingin belajar menekuni kehidupan. Toh jauh hari, bapak sudah mengiyakannya. Apa yang menjadi pekerjaan saya sekarang sudah cukup membahagiakan. Saya menikmatinya. Saya akan tetap menyandangnya hingga Tuhan memberikan kesempatan lain mencicipi kehidupan-kehidupan baru.

Yah, sejatinya, saya hanya tinggal menekan tombol "Speed Up" untuk menyelami kehidupan yang sebenarnya. Kampus kehidupan, yang nilainya tak luput dari kehidupan sosial bermasyarakat.

***

Hari ini saya kehilangan salah satu barang keSAYAngan. Laptop yang sudah nyaris mencapai umur 2 (atau bahkan 3 tahun - saya lupa) itu tidak lagi bisa ditolong. Kata tukang reparasi, chipsetnya yang rusak. Ketimbang memperbaikinya, lebih baik menggantinya dengan yang baru. Sungguh, saya betul-betul kehilangannya.



--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments