Peka dong ya?
Agustus 14, 2015Baca Juga
Percakapan tadi siang di beranda rumah.
"Ciee....sandal baru! Ciee!"
Seorang teman baru-baru membeli sandal jepit (swal**w) baru. Berhubung sandal itu mau dipakainya Jumatan.
"Haha....tunggu-tunggu mi. Dua hari itu sudah hilang ndak ditau kemana," balas teman lainnya.
"Mau kusimpan baik-baik setelah kupake," balas si pemilik sandal baru meyakinkan.
"Hahaha....kalau disini, dijaga bagaimana pun sandal begitu, pasti bakal hilang. Biasanya kalau kau jaga sekali, trus kalau sudah lupa simpannya, pasti bakal hilang," saya menambahkan hipotesis teman di depan saya.
"Iya... Seperti perempuan, kalau dijagai sekali, tiba-tiba lepas dari kita, bikin sakit," celetuk salah seorang teman di samping.
#jlebb #hening. Pandangan beralih ke teman saya
Kami serentak tertawa. Ia hanya tersenyum malu-malu, sembari menyadari bahwa dirinya memang sedang "baper" a.k.a bawa perasaan. Mungkin, penyakitnya semingguan terakhir ada kaitan dengan sikapnya itu. Hahaha....nah, ini jelas baper. Banget.
Baper, istilah gaul yang ter"distorsi" zaman sekarang. Anak-anak muda mungkin terhubung dengan media-media tivi zaman kini. Pokoknya apa pun istilah gaul yang dipakai anak muda zaman sekarang, salahkan tivi! Hidup zaman kartun Minggu! Istilah ini banyak dipakai untuk menunjukkan sesuatu yang menyentuh langsung perasaan. Sederhananya, perasaan seseorang terlalu peka terjadap sesuatu.
Pada dasarnya, bagi saya, baper itu hal manusiawi. Kita hidup tidak monoton, karena punya perasaan. Kita menikmati ciptaan Tuhan, ya pakai perasaan juga. Bahkan, dalam aturan hukum yang berlaku, ada tingkatan moral yang mesti diperhitungkan dalam menegakkannya. Moral itu berhubungan dengan perasaan manusia sebagai ciptaan Tuhan loh.
"Ah, baper deh!"
Yang menjadi persoalan kemudian jika seseorang terlalu (terlalu) peka dengan perasaannya sendiri. Sedikit-sedikit dikenai candaan, tersinggung. Sedikit-sedikit diledek, tersinggung lagi. Kata teman saya, dia itu orangnya baper-an.
Contohnya juga, orang yang baru saja putus dari pacarnya. Sedikit-sedikit, baper. Sedikit-sedikit, baper. Seolah-olah apa pun yang ada di dunia ini dikaitkan dengan masa lalu bersama pacarnya. Ini juga yang bikin eneg.
"Hei, aku ketemu sama si A loh tadi di Mall,"
"Dia, dia itu..... hiks...hiks...." baper pun beraksi
"Eh, eh, aku punya gelang baru deh,"
"Gelang, dulu dia pernah ngasih aku gelang," nangis...
"Oiya, ayo jalan-jalan ke pasar yuk,"
"Aku dulu sering diajak jalan-jalan ke pasar," nangis lagi...
"Aku mau ke kamar mandi deh,"
"Aku dulu sering dimandiin..." nangis menjadi-jadi
Nah loh? Nyampur galau.
Hal lainnya lagi, ketika seseorang suka mengaitkan perasaan dengan pekerjaan profesionalnya. That's wrong! Padahal pekerjaan profesional seharusnya dipisahkan dengan hal-hal yang seharusnya berkaitan dengan kepala saja. Sebisa mungkin, porsinya diperkecil.
Saya pernah punya pengalaman demikian. Lantaran terlalu fokus perasaan pada orang lain - biasa kalau sedang kasmaran -, pekerjaan profesional jadi terbengkalai. Terkadang, saya menyangkal kalau pekerjaan itu ada hubungannya dengan kehidupan pribadi itu. Akan tetapi, lama-kelamaan, saya menyadari, bagaimana pun saya memberi sekat pada kehidupan pribadi, ia tetap akan menelusup dalam aktivitas pekerjaan saya. Masalah akan timbul saat saya tak mampu mengatur porsi yang tepat bagi keduanya; perasaan dan pikiran/ profesionalitas.
Telak, alhasil saya pernah kalah oleh perasaan sendiri...
Nah, di dunia kerja profesional pun berlaku hal serupa. Saya mengenal salah seorang pemain sepak bola profesional yang saat ini sedang kasmaran dengan pasangan barunya. Masih sebatas pacaran. Mereka baru berencana menikah tahun depan. Akan tetapi, semua gelagatnya di media sosial betul-betul seperti lelaki yang baru saja mendapati masa kasmarannya.
"Yang bahaya itu kalau pas masa-masa mau pertandingan, trus mereka ada masalah. Bisa hancur semua rencana tim," tutur salah seorang senior. Saya membenarkan.
Orang-orang biasanya bakal menyangkal hingga menggaransi bahwa kehidupan pribadinya takkan pernah melukai pekerjaannya. Padahal, mereka tak pernah tahu bahwa perasaan itu punya aura yang kuat untuk mengendalikan pikiran seseorang.
Pernah dengar, kan, anekdot "cinta bisa memberi kekuatan, cinta bisa merubuhkan segalanya"? Itu bukan anekdot biasa. Karena sejatinya, perasaan memang punya daya yang betul-betul membalikkan segala akal dan pikiran manusia. Tak jarang kita dibuat "bodoh" oleh perasaan yang meluap-luap. Orang-orang ingin berlaku gila demi menuruti perasaannya sendiri. About feeling, nothing impossible!
Yah, tak bisa dipungkiri, masalah "hati" kerap kali mencabik-cabik isi kepala. Kita biasanya dianjurkan untuk mengendalikan hati lewat pikiran. Hanya saja, yang terjadi justru sebaliknya. Hati mengendalikan kepala. #fiuhh
Nah, baper... ya seperti itu. Jika porsinya masih standar, masih manusiawi. Kalau sudah sangat melebih-lebihkan, aduh terlaluuu. Hahaha....
"Ciee....sandal baru! Ciee!"
Seorang teman baru-baru membeli sandal jepit (swal**w) baru. Berhubung sandal itu mau dipakainya Jumatan.
"Haha....tunggu-tunggu mi. Dua hari itu sudah hilang ndak ditau kemana," balas teman lainnya.
"Mau kusimpan baik-baik setelah kupake," balas si pemilik sandal baru meyakinkan.
"Hahaha....kalau disini, dijaga bagaimana pun sandal begitu, pasti bakal hilang. Biasanya kalau kau jaga sekali, trus kalau sudah lupa simpannya, pasti bakal hilang," saya menambahkan hipotesis teman di depan saya.
"Iya... Seperti perempuan, kalau dijagai sekali, tiba-tiba lepas dari kita, bikin sakit," celetuk salah seorang teman di samping.
#jlebb #hening. Pandangan beralih ke teman saya
Kami serentak tertawa. Ia hanya tersenyum malu-malu, sembari menyadari bahwa dirinya memang sedang "baper" a.k.a bawa perasaan. Mungkin, penyakitnya semingguan terakhir ada kaitan dengan sikapnya itu. Hahaha....nah, ini jelas baper. Banget.
***
Baper, istilah gaul yang ter"distorsi" zaman sekarang. Anak-anak muda mungkin terhubung dengan media-media tivi zaman kini. Pokoknya apa pun istilah gaul yang dipakai anak muda zaman sekarang, salahkan tivi! Hidup zaman kartun Minggu! Istilah ini banyak dipakai untuk menunjukkan sesuatu yang menyentuh langsung perasaan. Sederhananya, perasaan seseorang terlalu peka terjadap sesuatu.
Pada dasarnya, bagi saya, baper itu hal manusiawi. Kita hidup tidak monoton, karena punya perasaan. Kita menikmati ciptaan Tuhan, ya pakai perasaan juga. Bahkan, dalam aturan hukum yang berlaku, ada tingkatan moral yang mesti diperhitungkan dalam menegakkannya. Moral itu berhubungan dengan perasaan manusia sebagai ciptaan Tuhan loh.
"Ah, baper deh!"
Yang menjadi persoalan kemudian jika seseorang terlalu (terlalu) peka dengan perasaannya sendiri. Sedikit-sedikit dikenai candaan, tersinggung. Sedikit-sedikit diledek, tersinggung lagi. Kata teman saya, dia itu orangnya baper-an.
Contohnya juga, orang yang baru saja putus dari pacarnya. Sedikit-sedikit, baper. Sedikit-sedikit, baper. Seolah-olah apa pun yang ada di dunia ini dikaitkan dengan masa lalu bersama pacarnya. Ini juga yang bikin eneg.
"Hei, aku ketemu sama si A loh tadi di Mall,"
"Dia, dia itu..... hiks...hiks...." baper pun beraksi
"Eh, eh, aku punya gelang baru deh,"
"Gelang, dulu dia pernah ngasih aku gelang," nangis...
"Oiya, ayo jalan-jalan ke pasar yuk,"
"Aku dulu sering diajak jalan-jalan ke pasar," nangis lagi...
"Aku mau ke kamar mandi deh,"
"Aku dulu sering dimandiin..." nangis menjadi-jadi
Nah loh? Nyampur galau.
Hal lainnya lagi, ketika seseorang suka mengaitkan perasaan dengan pekerjaan profesionalnya. That's wrong! Padahal pekerjaan profesional seharusnya dipisahkan dengan hal-hal yang seharusnya berkaitan dengan kepala saja. Sebisa mungkin, porsinya diperkecil.
Saya pernah punya pengalaman demikian. Lantaran terlalu fokus perasaan pada orang lain - biasa kalau sedang kasmaran -, pekerjaan profesional jadi terbengkalai. Terkadang, saya menyangkal kalau pekerjaan itu ada hubungannya dengan kehidupan pribadi itu. Akan tetapi, lama-kelamaan, saya menyadari, bagaimana pun saya memberi sekat pada kehidupan pribadi, ia tetap akan menelusup dalam aktivitas pekerjaan saya. Masalah akan timbul saat saya tak mampu mengatur porsi yang tepat bagi keduanya; perasaan dan pikiran/ profesionalitas.
Telak, alhasil saya pernah kalah oleh perasaan sendiri...
Nah, di dunia kerja profesional pun berlaku hal serupa. Saya mengenal salah seorang pemain sepak bola profesional yang saat ini sedang kasmaran dengan pasangan barunya. Masih sebatas pacaran. Mereka baru berencana menikah tahun depan. Akan tetapi, semua gelagatnya di media sosial betul-betul seperti lelaki yang baru saja mendapati masa kasmarannya.
"Yang bahaya itu kalau pas masa-masa mau pertandingan, trus mereka ada masalah. Bisa hancur semua rencana tim," tutur salah seorang senior. Saya membenarkan.
Orang-orang biasanya bakal menyangkal hingga menggaransi bahwa kehidupan pribadinya takkan pernah melukai pekerjaannya. Padahal, mereka tak pernah tahu bahwa perasaan itu punya aura yang kuat untuk mengendalikan pikiran seseorang.
Pernah dengar, kan, anekdot "cinta bisa memberi kekuatan, cinta bisa merubuhkan segalanya"? Itu bukan anekdot biasa. Karena sejatinya, perasaan memang punya daya yang betul-betul membalikkan segala akal dan pikiran manusia. Tak jarang kita dibuat "bodoh" oleh perasaan yang meluap-luap. Orang-orang ingin berlaku gila demi menuruti perasaannya sendiri. About feeling, nothing impossible!
Yah, tak bisa dipungkiri, masalah "hati" kerap kali mencabik-cabik isi kepala. Kita biasanya dianjurkan untuk mengendalikan hati lewat pikiran. Hanya saja, yang terjadi justru sebaliknya. Hati mengendalikan kepala. #fiuhh
Nah, baper... ya seperti itu. Jika porsinya masih standar, masih manusiawi. Kalau sudah sangat melebih-lebihkan, aduh terlaluuu. Hahaha....
Seperti di atas, kalau Anda mengerti maksud saya. Hahaha... |
--Imam Rahmanto--
0 comments