Perempuan Polos

Agustus 16, 2015

Baca Juga

Berjalanlah Kehidupan

"Ma', maunya kalau saya menikah di usia berapa?"

Saya tetiba menodong Mamak dengan pertanyaan terencana itu. Perempuan yang telah melahirkan saya itu, beberapa waktu lalu sedang berada di Makassar. Ia hendak menyaksikan anak pertamanya dikukuhkan sebagai seorang sarjana. Bapak dan adik saya tidak nimbrung. Bapak masih belum bisa kemana-mana lantaran Paraplegia yang menggerogotinya.

"Sembarang kamu lah," seperti biasa, Mamak yang sederhana. Hanya tersenyum-senyum kikuk mendengar pertanyaan anaknya. Dari lubuk hatinya, ia tahu, anaknya sudah mampu berpikir sendiri tanpa perlu didikte lagi.

Mamak saya masih belum berubah. Ia masih sepolos dulu. Masih menjadi perempuan yang sederhana. Terlalu sederhana. Ia tak mampu berpikir muluk-muluk lantaran hanya lulusan sekolah dasar. Beberapa tahun terlewat, ia menerima pinangan dari lelaki yang juga hanya berbekal ijazah SMK, bapak.

"Bapakmu dulu ngelamar cuma dengan seperangkat alat shalat dan Alquran. Uang 5ribu maharnya malah dipakai lagi buat rokok," Mamak pernah berkisah.

Terkadang, Mamak seperti seorang anak kecil. Tak tahu banyak tentang hal di dunia ini. Butuh penjelasan lebih banyak namun sederhana. Bahkan, untuk berkomunikasi, orang sekitarnya harus berbicara lebih sederhana agar maksudnya tersampaikan. Berbeda jika bahasa komunikasinya disampaikan dalam bahasa Jawa.

Kurang pahamnya Mamak dalam beberapa hal tak jarang membuat bapak geram. Apalagi jika bapak gagal memberitahu Mamak tentang sesuatu. Dulu, semasa kecil, saya kerap mendengar Mamak dibentak bapak hanya gara-gara kesalahan kecil. Mamak hanya diam saja. Ingin menggerutu, justru bapak tambah naik darah.

Saya tak habis pikir, bagaimana bapak bisa memilih Mamak sebagai istrinya. Mamak bukan tergolong perempuan cantik. Kepandaiannya juga malah di bawah rata-rata. Soal baca-tulis, pun Mamak bukan perempuan yang pantas diadu.

Mamak juga tidak seperti ibu-ibu kebanyakan. Ibu yang bisa menjadi tempat berbagi curahan hati anaknya. Ibu yang tahu bagaimana keresahan anak perempuannya. Mamak tak punya jiwa semacam itu. Kedekatan dengan anaknya justru datar.

Akan tetapi...

Saya belajar banyak dari seorang perempuan polos yang rela membawa saya menjejak di bumi ini. Kata pamrih yang tak pernah terlintas di benaknya. Kata sayang yang tak pernah tandas oleh waktu.

Hingga kini saya justru masih "gagal paham" tentang kekuatan kasih sayang yang dipegang Mamak. Oh, mungkin bukan. Hubungan suami-istri seperti itu justru tidak semata-mata didasari cinta, melainkan komitmen. Kondisi keluarga kami tak pernah membuatnya hendak lari dan menjauh dari suaminya. Di saat terpuruk pun, Mamak tetap mendampingi laki-laki yang kerap mengecewakannya di masa lalu.

Saya menyaksikan sendiri. Momen dimana Mamak begitu sabarnya merawat bapak. Kondisi yang seharusnya membuat orang resah, justru membuatnya semakin merasa dibutuhkan. Ia semakin merasa berbakti sebagai seorang istri. Sedikit pun Mamak tak pernah mengeluh atau bercerita keluh kesahnya pada siapa pun, bahkan kepada saya.

Kini, Mamak adalah tulang punggung keluarga. Tak ada yang mengalahkan semangatnya. Ialah satu-satunya perempuan di keluarga kami yang dengan ikhlas belajar membuat kue untuk dijajakan di pasar. Perempuan yang tak pernah mengeluh menggantikan suaminya yang terpaksa terbaring di rumah.

"Kemarin, aku juga mulai jual onde-onde kecil," kisah Mamak.

Betapa momen hari Kemerdekaan RI seperti itu adalah yang paling dinantikannya. Bagaimana tidak, di kampung, orang-orang ramai memeriahkan jalanan dengan gerak jalan dan parade. Di lapangan, orang berlomba dengan segala jenis permainan. Anak-anak kerap kehausan diterpa matahari kemarau panjang.

"Aku mesti siap-siap jualan, Cung. Belum nggodok cendolnya. Belum masak santannya," ujar Mamak.

Ia ingin cepat-cepat pulang usai melihat anaknya di-wisuda. Rutin tiap tahun, Mamak akan berjualan di pinggir jalan menunggui dagangan es telernya ludes oleh keramaian. Bapak di rumah juga harus dirawat.

Dari Mamak, saya belajar tentang makna penerimaan. Bagaimana menghargai setiap waktu bersama keluarga. Bagaimana ikhlas melobi keadaan. Mamak selalu tahu Tuhan tak pernah tidur memilin setiap inci doanya.

"Kamu sudah shalat, Im?" kata-kata yang tak luput dari kepala.

***

Mak, kini anakmu sudah menuntaskan satu kewajibannya. Berkat doamu, ia juga sedang di ambang menggantikan peran bapak. Agar Mamak tak perlu lagi bekerja terlalu keras, memaksakan setiap peluh mengucur deras.

Pendidikan lain untuk anakmu yang kau idamkan, tak mesti ia tunaikan. Ia belajar banyak darimu, menerima keadaan untuk lantas memutarnya demi mengelabui waktu.

--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments