Menulis? Lakukan Saja!
Oktober 02, 2014Baca Juga
“Bagaimana caranya menulis?” beberapa waktu lalu, seorang teman bertanya.
Saya sendiri heran, atas angin apa ia bertanya begituan pada saya? Lebih dari 4 tahun ini, saya cuman bergelut menulis di bidang jurnalistik dan sekali-dua kali menyempatkan membuang kejenuhan lewat menulis di “rumah” sendiri. Sementara menghasilkan karya yang betul-betul bisa dinikmati atau pun dibaca banyak orang, sungguh masih di cakrawala awang-awang.
Agak bosan juga sih jika ditanya demikian. Lusinan pertanyaan serupa saya temui, dengan orang yang berbeda pula. Rasanya, saya lebih malas menyampaikan jawaban untuk itu ketimbang harus memaparkan ulasan proposal penelitian.
Pada mulanya mereka bersemangat dan meledak-ledak hendak menulis. Bercerita menggebu-gebu. Membuat sebuah “rumah” di dunia maya. Mempercantik tampilannya. Berjanji (pada entah siapa) akan rutin mengisinya. Dan selanjutnya, bisa ditebak (dan akan selalu begitu), “rumah” tulisannya itu hanya hidup sekian minggu, atau bahkan cuma hitungan hari. Mangkrak. Seperti kata pepatah kuno, “Panas-panas kotoran ayam”
Tak perlu heran, ketika pertanyaan seperti itu datang pada masanya, saya hanya bisa tersenyum masam, sembari bertaruh dengan diri sendiri dan bergumam, “Akh, ini cuma semangat-semangat kuno." Semangat itu seperti api yang membakar kertas. Apinya membesar di permulaan, tapi dengan cepat melalap habis kertas. Menyisakan abu yang bakal hilang tertiup angin.
Tak ada teori pasti dalam menulis. Do you know, theory is relative, but practice is absolute! Saya hanya bisa menyarankan, bagi yang benar-benar ingin melakukannya, cukup lakukan saja dulu. Just do it! Jangan menanti diberi wejangan bijak seperti Mario Teguh, baru memulai menulis. Itu!! #ala-ala Mario teguh
Seperti orang yang ingin belajar kungfu, butuh pemanasan dulu agar mampu memahami seperti apa teknik bertarung yang bakal dipelajarinya. Terlebih dahulu ia harus bangun pagi, mengangkat air naik-turun bukit, membersihkan halaman, memotong kayu, bahkan sampai memijat gurunya. Bagi yang tidak ikhlas belajar, bisa-bisa gugur hanya gara-gara payah kebosanan.
Sama saja dengan menulis. Beragam teori yang disampaikan sejatinya tak berguna sama sekali kalau tak diraktekkan. Menulis cuma butuh dilakukan kok bukan sekadar dibayangkan dan dibijak-bijaki. Just do it!
“Apa saja yang bisa ditulis?”
Aduh! Apapun yang menjadi latar belakang menulis, itu merupakan hak prerogatif siapa saja yang ingin melakukannya. Tidak butuh suara banyak orang, apalagi DPR untuk memilih isi tulisan yang dikehendaki. Kita tidak bisa membatasi kebebasan ber-tulis-an setiap warga negara. Terkadang, membatasi tulisan itu hanya akan berakhir pada tulisan-tulisan yang tidak mencerminkan sosok pribadi penulisnya. Padahal, yang namanya tulisan, genre apapun, selalu mencerminkan seperti apa jiwa penulis itu sendiri, disadari atau tidak oleh yang menuliskannya.
Menulis, beda pula dengan menjual. Ketika hendak menjual, maka kita memikirkan keinginan para pelanggan. Tentunya, kita tak ingin pelanggan tak menyukai apa yang kita jual. Kita berhitung untung-rugi barang dagangan. Sedangkan menulis seharusnya dilakukan atas dasar kesukaan kita. Sepanjang dengan menuliskannya bisa memberi kepuasan pada batin, masa bodoh lah dengan orang-orang yang akan membaca tulisan tersebut. Eh, untuk tulisan yang menjual, ada saatnya ketika seseorang telah banyak berproses pada tulisan-tulisannya.
Apa pun bisa menjadi “bahan” yang menarik untuk ditulis. Rumah, tempat tinggal. Cerita perjalanan di tempat-tempat baru. Masa lalu yang menggugah. Kisah sedih di malam minggu. Tanggal-tanggal penting. Kekasih. Kekasih orang lain. Kekasih selingkuhan orang lain. Kekasih yang tak terlupa. Kekasih yang tak sampai. Kekasih yang balikan. Nah loh?
Bahkan, orang-orang yang berdalih tak bisa menulis karena terpengaruh badmood bisa mulai menulis dengan menceritakan alasan badmood-nya itu. Dan orang-orang yang beralasan tak punya waktu luang untuk menulis (tapi punya kemauan, katanya), bisa mulai menuliskan kesibukannya sehari-hari.
Nah, apa yang sulit dari menulis itu sendiri? Kalau memang sudah punya kemauan, ya mbok ya cukup dilakukan saja tah. Saya justru skeptis atas orang-orang yang di mulutnya berkata, “Saya mau sekali (pake banget) menulis,” sementara komitmennya belum bisa diterapkan secara konsisten. Kadang-kadang, banyak orang yang menulis hanya karena euforia sesaat. Saya banyak menemukan d an mempelajari perilaku orang-orang seperti itu.
Ketimbang terlalu banyak menekuri tulisan-tulisan teori seperti ini, ada baiknya segera menuliskan sesuatu – yah kalau berminat. Mungkin, sesuatu yang sedikit lebih panjang dan berkesan dibanding sekadar status, tweet, atau profile message. Kebanyakan teori hanya akan membuat seseorang semakin jauh berharap tanpa kepastian. Kalau kata AA Gym sih; mulailah dari diri sendiri, mulailah dari diri sendiri, dan mulailah dari sekarang!
Bagi saya, menulis bukan hanya perkara menuangkan kata-kata indah di atas kertas atau monitor komputer. Tak perlu sekadar berlagak pamer atas pengetahuan yang dimiliki. Bukan semata-mata ingin tenar di mesin pencarian Google, apalagi di rak-rak perpustakaan kota. Pun, tidak sekadar menjadi lahan curahan hati dan keluh kesah di kala resah.
Bagi saya, tak peduli seberapa indah tulisan saya dikonsumsi orang lain, sungguh menyenangkan bisa mengabadikan perjalalanan hidup sendiri. Saya senang berbagi cerita. Berbagi pengalaman. Berbagi pelajaran lewatnya tanpa berusaha menggurui orang lain. Dan yang terpenting, saya cuma menuntut tak ingin dilupakan. Betapa berbahagianya ketika anak-cucu saya kelak mengetahui rupa perjalanan kakek-neneknya lewat tulisan-tulisan yang didongengkan menjelang tidur tiap malam.
Manusia memang takkan pernah hidup selamanya di dunia ini. Selain budi yang dihargai, manusia selayaknya menyisakan karya untuk dikenang. Akan tetapi, warisan paling sederhana bagi kita yang tetap ingin dikenang, ya dengan meninggalkan tulisan untuk dibaca orang lain. Sesederhana itu.
Saya sendiri heran, atas angin apa ia bertanya begituan pada saya? Lebih dari 4 tahun ini, saya cuman bergelut menulis di bidang jurnalistik dan sekali-dua kali menyempatkan membuang kejenuhan lewat menulis di “rumah” sendiri. Sementara menghasilkan karya yang betul-betul bisa dinikmati atau pun dibaca banyak orang, sungguh masih di cakrawala awang-awang.
Agak bosan juga sih jika ditanya demikian. Lusinan pertanyaan serupa saya temui, dengan orang yang berbeda pula. Rasanya, saya lebih malas menyampaikan jawaban untuk itu ketimbang harus memaparkan ulasan proposal penelitian.
Pada mulanya mereka bersemangat dan meledak-ledak hendak menulis. Bercerita menggebu-gebu. Membuat sebuah “rumah” di dunia maya. Mempercantik tampilannya. Berjanji (pada entah siapa) akan rutin mengisinya. Dan selanjutnya, bisa ditebak (dan akan selalu begitu), “rumah” tulisannya itu hanya hidup sekian minggu, atau bahkan cuma hitungan hari. Mangkrak. Seperti kata pepatah kuno, “Panas-panas kotoran ayam”
Tak perlu heran, ketika pertanyaan seperti itu datang pada masanya, saya hanya bisa tersenyum masam, sembari bertaruh dengan diri sendiri dan bergumam, “Akh, ini cuma semangat-semangat kuno." Semangat itu seperti api yang membakar kertas. Apinya membesar di permulaan, tapi dengan cepat melalap habis kertas. Menyisakan abu yang bakal hilang tertiup angin.
Tak ada teori pasti dalam menulis. Do you know, theory is relative, but practice is absolute! Saya hanya bisa menyarankan, bagi yang benar-benar ingin melakukannya, cukup lakukan saja dulu. Just do it! Jangan menanti diberi wejangan bijak seperti Mario Teguh, baru memulai menulis. Itu!! #ala-ala Mario teguh
Seperti orang yang ingin belajar kungfu, butuh pemanasan dulu agar mampu memahami seperti apa teknik bertarung yang bakal dipelajarinya. Terlebih dahulu ia harus bangun pagi, mengangkat air naik-turun bukit, membersihkan halaman, memotong kayu, bahkan sampai memijat gurunya. Bagi yang tidak ikhlas belajar, bisa-bisa gugur hanya gara-gara payah kebosanan.
Sama saja dengan menulis. Beragam teori yang disampaikan sejatinya tak berguna sama sekali kalau tak diraktekkan. Menulis cuma butuh dilakukan kok bukan sekadar dibayangkan dan dibijak-bijaki. Just do it!
Sumber: google.com |
“Apa saja yang bisa ditulis?”
Aduh! Apapun yang menjadi latar belakang menulis, itu merupakan hak prerogatif siapa saja yang ingin melakukannya. Tidak butuh suara banyak orang, apalagi DPR untuk memilih isi tulisan yang dikehendaki. Kita tidak bisa membatasi kebebasan ber-tulis-an setiap warga negara. Terkadang, membatasi tulisan itu hanya akan berakhir pada tulisan-tulisan yang tidak mencerminkan sosok pribadi penulisnya. Padahal, yang namanya tulisan, genre apapun, selalu mencerminkan seperti apa jiwa penulis itu sendiri, disadari atau tidak oleh yang menuliskannya.
Menulis, beda pula dengan menjual. Ketika hendak menjual, maka kita memikirkan keinginan para pelanggan. Tentunya, kita tak ingin pelanggan tak menyukai apa yang kita jual. Kita berhitung untung-rugi barang dagangan. Sedangkan menulis seharusnya dilakukan atas dasar kesukaan kita. Sepanjang dengan menuliskannya bisa memberi kepuasan pada batin, masa bodoh lah dengan orang-orang yang akan membaca tulisan tersebut. Eh, untuk tulisan yang menjual, ada saatnya ketika seseorang telah banyak berproses pada tulisan-tulisannya.
Apa pun bisa menjadi “bahan” yang menarik untuk ditulis. Rumah, tempat tinggal. Cerita perjalanan di tempat-tempat baru. Masa lalu yang menggugah. Kisah sedih di malam minggu. Tanggal-tanggal penting. Kekasih. Kekasih orang lain. Kekasih selingkuhan orang lain. Kekasih yang tak terlupa. Kekasih yang tak sampai. Kekasih yang balikan. Nah loh?
Bahkan, orang-orang yang berdalih tak bisa menulis karena terpengaruh badmood bisa mulai menulis dengan menceritakan alasan badmood-nya itu. Dan orang-orang yang beralasan tak punya waktu luang untuk menulis (tapi punya kemauan, katanya), bisa mulai menuliskan kesibukannya sehari-hari.
Nah, apa yang sulit dari menulis itu sendiri? Kalau memang sudah punya kemauan, ya mbok ya cukup dilakukan saja tah. Saya justru skeptis atas orang-orang yang di mulutnya berkata, “Saya mau sekali (pake banget) menulis,” sementara komitmennya belum bisa diterapkan secara konsisten. Kadang-kadang, banyak orang yang menulis hanya karena euforia sesaat. Saya banyak menemukan d an mempelajari perilaku orang-orang seperti itu.
Ketimbang terlalu banyak menekuri tulisan-tulisan teori seperti ini, ada baiknya segera menuliskan sesuatu – yah kalau berminat. Mungkin, sesuatu yang sedikit lebih panjang dan berkesan dibanding sekadar status, tweet, atau profile message. Kebanyakan teori hanya akan membuat seseorang semakin jauh berharap tanpa kepastian. Kalau kata AA Gym sih; mulailah dari diri sendiri, mulailah dari diri sendiri, dan mulailah dari sekarang!
***
Bagi saya, menulis bukan hanya perkara menuangkan kata-kata indah di atas kertas atau monitor komputer. Tak perlu sekadar berlagak pamer atas pengetahuan yang dimiliki. Bukan semata-mata ingin tenar di mesin pencarian Google, apalagi di rak-rak perpustakaan kota. Pun, tidak sekadar menjadi lahan curahan hati dan keluh kesah di kala resah.
Bagi saya, tak peduli seberapa indah tulisan saya dikonsumsi orang lain, sungguh menyenangkan bisa mengabadikan perjalalanan hidup sendiri. Saya senang berbagi cerita. Berbagi pengalaman. Berbagi pelajaran lewatnya tanpa berusaha menggurui orang lain. Dan yang terpenting, saya cuma menuntut tak ingin dilupakan. Betapa berbahagianya ketika anak-cucu saya kelak mengetahui rupa perjalanan kakek-neneknya lewat tulisan-tulisan yang didongengkan menjelang tidur tiap malam.
“There will come a time when all of us are dead. All of us. There will come a time when there are no human beings remaining to remember that anyone ever existed or that our species ever did anything.” --The Fault in Our Stars
“Akan tiba masanya ketika kita setiap orang mati, tak terkecuali. Pada waktu itu, tidak ada satupun orang yang akan mengingat bahwa seseorang pernah ada atau bahkan pernah melakukan sesuatu.” --The Fault in Our Stars, novel
Manusia memang takkan pernah hidup selamanya di dunia ini. Selain budi yang dihargai, manusia selayaknya menyisakan karya untuk dikenang. Akan tetapi, warisan paling sederhana bagi kita yang tetap ingin dikenang, ya dengan meninggalkan tulisan untuk dibaca orang lain. Sesederhana itu.
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan ditelan sejarah” --Pramoedya Ananta Toer
--Imam Rahmanto--
Ps: Hm...tentang "menulis" yang lainnya ya?
2 comments
Awal baca tulisan ini sih aku mangut-mangut. Tapi makin ke belakang kok jadi ngomongin konsistensi ya.. Menohok, jadinya. Ah, sudahlah -_-
BalasHapus@Dian Kurniati Hahaha...alah bisa karena biasa loh, Dih... :)
BalasHapus