Keluarga itu...

Mei 05, 2014

Baca Juga

"Tuliskan satu kata yang bagi kalian menggambarkan Profesi," pertanyaan yang mengawali malam kami di Tanjung Bira, Bulukumba.

"Satu kata saja," tekan senior saya lagi.

Berlanjut, di udara yang menyamarkan bisik-bisik hujan, setiap orang menuliskan kata yang dianggapnya tepat menggambarkan Profesi. Tak ketinggalan, saya yang kala itu nyaris melabuhkan diri ke alam mimpi, turut dipanggil untuk ikut serta. "Ah, mengganggu saja," gerutu saya dalam hati. Lantas tulis saja, tanpa berpikir lama. Usainya, ternyata setiap orang diminta mengemukakan alasan atas pilihan (kata) itu.

Apa yang terlintas dalam benak saya kala menuliskan satu kata di atas carikan kertas itu ternyata tidak jauh berbeda dengan 4 orang teman lainnya, yang menuliskan hal serupa. Sedikitnya, apa yang ingin saya sampaikan pun sudah jauh terangkum dalam penjelasan mereka. Sedikit-sedikit, saya memperbaiki perasaan yang tadi sudah nyaris menyeberang ke alam mimpi.

Nah, mari saya sampaikan sejauh mana kata "keluarga" terbayang, melintas tiba-tiba, tanpa permisi menari di atas carikan kertas saya.

***

Mengapa?

Hm, saya bingung harus menyebut alasannya. Kata orang, untuk beberapa hal memang tak butuh penjelasan. Ada beberapa hal yang sulit dijelaskan melalui kata-kata. Namun, bagi saya, setiap pertanyaan itu harus menemukan jawabannya.

"...Semua pertanyaan selalu berpasangan dengan jawaban. Untuk keduanya bertemu, yang dibutuhkan cuma waktu." --Partikel, Dee--
Saya menemukan esensi "keluarga" itu disini, di lembaga jurnalistik yang dibenci (tapi disayang) oleh birokrasi kampus saya. Ini sudah tahun keempat saya mencicipi rasanya. Bagaimana menjadi seorang pewarta kampus yang bagi sebagian orang selalu kelihatan "sok sibuk". Padahal kami memang benar-benar menenggelamkan diri dalam tiap liputan yang ditugaskan. Setiap hari. Yah, asal tahu saja, setiap hari!

Mereka, orang-orang yang selama 4 tahun belakangan ini menjadi teman hidup saya, dalam suka maupun duka (serius loh), bersama-sama belajar tentang kedekatan sebagai keluarga. We are family. Bentuk ikatan yang mengukuhkan itu hadir dari keberagaman yang dibangun. Kami bukanlah orang-orang yang sama, hanya sekadar dibentuk atas dasar senasib. 

Ah ya, tempat ini pulalah yang menjadi ujung pelarian saya dari keluarga yang sebenarnya setahun silam. Yah, saya kelak menyadari bahwa "melarikan diri" bukan satu-satunya jalan penyelesaian masalah. Hanya menumpuknya, yang bisa jadi akan meledak suatu waktu dengan dosis yang tak bisa ditampung lagi. Orang tua, selamanya akan tetap menjadi orang tua, yang menyayangi dan menantikan kehadiran anak-anaknya.

Sejalan itu, saya menemukan tempat untuk pulang.

Dalam masa itu, saya banyak belajar hal-hal yang sebenarnya menggugah hati saya. Entah seperti apa Tuhan merencanakan "kebetulan" bagi saya. Karena tempat ini menjadi satu-satunya rumah saya, saya nampaknya tahu betul bagaimana rasanya memiliki keluarga.

“Losing family obligues us to find our family. Not always the family that is our blood, but the family that can become our blood.” --Finding Forrester, Movie--


Ibu Inga menatapku, mencari sesuatu yang perlu ia konfirmasi. "Saya percaya, rumah itu ditemukan di dalam," katanya lembut sambil menempelkan tangannya di dada. "Kalau di dalam damai, semua tempat bisa jadi rumah kita." --Partikel, Dee--

Hm, betapa kami tahu seperti apa resiko menjadi seorang pewarta itu. Menunggu. Ditolak narasumber. Dicaci narasumber. Dicibir orang-orang kampus. Diburu deadline. Sampai pimpinan redaksi dan dewan senior sendiri ikutan mencaci. Kita didik di atas tekanan seperti itu.

Bersyukurlah bagi teman-teman yang hingga hari ini masih tetap mempertahankan dirinya. Di tengah momen-momen “diomeli” itu, kita masih tetap berusaha keras memenuhi tugas yang diberikan. Tanggung jawab, meski berat, kita memilih untuk menyelesaikannya. Di titik jenuh, masing-masing akan saling menguatkan. Sewajarnya. Saling melempar senyum. Saling mengingatkan. Karena kita adalah keluarga. Bukannya keluarga tak boleh kehilangan salah satu anggotanya? Bukannya keluarga tak boleh saling mendiamkan begitu lama? Maka berjuanglah tersenyum hingga titik tinta terakhir.

Kadangkala, saya berpikir, andai saja setahun lalu saya bisa "dilepaskan" saja, mungkin kini saya sudah berkarir menyelesaikan kuliah sembari memilah-milah pekerjaan yang cocok. Namun, Tuhan merencanakan hal lain. Beberapa hal masih butuh diselesaikan. Beberapa nama masih butuh menjadi mozaik hidup saya. Sama halnya dengan kuliah yang mengulang, saya semakin memperbanyak teman-teman di sekitar saya.

***

Selamat Milad ke-38 untuk lembaga yang selama ini menggembleng saya dan kawan-kawan. Mengajarkan seberapa besar kita harus mengorbankan ego demi menjatuhkan kepercayaan yang baik kepada orang lain. Mengajarkan cara mengesampingkan urusan diri. Mengajarkan sejauh mana kita harus berjalan pelan-pelan atau bergesa-gesa. Dan, tentu saja, tak terkecuali di luar pengalaman yang dibagikannya tentang "menulis-untuk-membekukan-masa-lampau" dan membagikannya.


Duh, tak usah mencari saya di dalam foto ini. Saya tak ada di sesi pemotretan itu. :( (Foto: Sofyan)



#harlah38
--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments