3# Take and Gift

Februari 06, 2014

Baca Juga

Ada-ada saja ulah pemerintah. Beragam program yang diterapkannya untuk menyejahterakan kehidupan rakyat kecil ternyata masih harus mematok banyak syarat. Semisal iklan komersial di televisi, yang menjanjikan hadiah-hadiah besar, namun di ujung hurufnya mencantumkan tanda (*). Artinya, “syarat dan ketentuan berlaku”.

Saya masih harus menyambangi kantor BPJS Kesehatan (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) untuk memperjelas informasi yang diinginkan ayah saya. Seminggu sebelumnya, saya telah menyelesaikan “instruksi” ayah untuk mendaftarkannya sebagai pemegang kartu BPJS. Harapnya sih, kartu tersebut dapat mengakomodasi biaya-biaya pengobatan ayah saya di rumah sakit. Bahkan, sejujurnya, dalam pikiran saya sudah berseliweran bahwa kartu ini semacam kartu bebas berobat dimana saja rumah sakit milik pemerintah. Memang seperti itu imbauan yang saya dengarkan di bagian informasi BPJS beberapa hari sebelumnya.

Namun, lain di kata, kartu tersebut hanya berfungsi pada puskesmas maupun rumah sakit terdekat yang terletak di wilayah rumah asal. Karena KTP yang didaftarkan ayah saya adalah berstatus warga Enrekang, maka puskesmas yang terdaftar pun merupakan puskesmas terdekat yang berada sekitar 1 km dari rumah.

“Iya, hanya berlaku di puskesmas yang terdaftar saat membuat kartu. Jadi, kalau mau berobat ke puskesmas itu. Kalaupun mau berobat di tempat lain, harus dapat rujukan dari puskesmas bersangkutan,” tutur pria yang menjadi objek pertanyaan saya.

Kalau seperti ini, apa gunanya bayar premi tiap bulan. Toh, rumah sakitnya terbatas pada daerah yang lebih dekat saja. Begitu pikir ayah ketika saya menyampaikannya.

Dan saya masih harus memenuhi permintaan ayah saya.

***

This child, i think.... (Sumber: google.com)
Di tengah keramaian teman-teman lembaga jurnalistik mempersiapkan acara Diklat Jurnalistik, saya harus pandai-pandai mencuri waktu sekadar menyambangi kedua orang tua saya. Perlahan, saya harus kembali menemukan “jalan pulang”. Dalam kunjungan yang kesekian kalinya, saya mendadak mempelajari sesuatu tentang ayah dan ibu. Atau mungkin justru perihal semua orang tua di dunia ini.

“Mau tidak dengan celana ini?” Ibu menunjukkan celana ayah yang lama tidak pernah dikenakannya. Bahkan ayah terancam tidak akan pernah bisa mengenakannya lagi. Saya mencobanya.

“Tuh, pas! Ambillah,” seru ibu.

Saya menyadari, betapa orang tua selalu menyayangi anaknya. Tak peduli seberapa bersalahnya seorang anak. Karena lama tak berjumpa, terkadang orang tua saya juga selalu ingin membagi kehidupannya. Memberikan segala hal yang bsia dimilikinya hanya untuk membuat kita senang, atau bahkan tertawa. Bahkan, tanpa diminta pun, orang tua akan dengan sabarnya menawarkannya pada kita. Ia meminta diberi kesempatan memberikan apa yang dimilikinya kepada anaknya.

Di lain kesempatan, ayah maupun ibu kerap kali menawarkan hal serupa. Tidak bosan-bosannya.

“Kamu punya jaket, ndak? Kamu suka yang seperti ini? Atau nanti kita sama-sama cari disana,” Ibu memegangi jaket yang dimilikinya.Karena berbahan jeans, saya sempat menelitinya. Memang, dari dulu saya mengidam-idamkan jaket berbahan jeans seperti itu. Sayangnya, milik ibu saya khusus untuk perempuan. Mungkin, karena melihat ketertarikan saya, ia dan juga ayah lantas menawari saya. Akh, untuk saat ini, saya akan menahan diri untuk tidak banyak meminta.

Ra usah, Ma’. Saya sudah punya banyak jaket,” ujar saya sedikit berbohong.

Tidak peduli seberapa sulitnya keadaan yang dijalani kedua orang tua, mereka masih saja memikirkan anaknya. Mungkin, seperti itulah sejatinya perasaan sayang. Ketika seseorang senantiasa “memberi” tanpa pernah diminta.

Kita bisa memberi tanpa sedikitpun rasa sayang. Namun kita tidak mungkin bisa menyayangi orang lain tanpa sedikitpun keinginan untuk memberi, apapun.

Untuk itu, saya harus memenuhi setiap permintaan mereka. Sesekali, saya berjanji akan memberikan sesuatu bagi mereka. Sesuatu yang tidak pernah mereka minta. Sesuatu yang tidak sekadar materi. Karena sesuatu itu, tak bisa diwujudkan dalam bentuk riil semata. Kasih sayang.

“Kau benar-benar ikhlas kalau motormu dijual untuk persediaan biaya pengobatan Pa’e?” sekali lagi, ayah mendadak bertanya padahal saya berkali-kali telah mengiyakan permintaannya. Saya tahu, ia masih sayang-sayang menjual motor yang pernah dibelikannya untuk anak lelakinya.

Dengan mantap, tanpa ragu-ragu, saya cukup mengiyakannya. Saya tak punya alasan lagi untuk tetap mempertahankan barang yang sudah lebih dari enam bulan lamanya saya tinggalkan. Bukankah lebih baik memang jika digunakan untuk “menambal” kebutuhan ayah saya. Saya percaya, kelak saya akan mendapatkan barang yang jauh lebih baik dibandingnya. Tentu, tanpa menyusahkan orang tua lagi. Sekarang pun saya sementara merencanakannya. Karena kata teman saya, setiap orang itu sudah ada rezekinya masing-masing. #just believe it!

Semoga Tuhan memudahkan jalan penyelesaian studi saya, berbekal doa ayah, doa ibu, doa adik saya, doa yang lainnya… ^_^.


#100dayS
--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments