My Lovely Guitar
Mei 06, 2013Baca Juga
It's my (new) guitar. (ImamR) |
Saya memandangi gitar yang setengah senarnya telah lenyap. Permukaannya yang sudah mulai berdebu dan retak. Disana-sini masih berbekas tempelan-tempelan stiker hasil kreativitas saya di masa lalu. Saya baru sadar, itu sangat mengganggu.
“Tolong aku. Mainkan aku, lagi,” suara batin saya menerka-nerka. Di sudut kamar, gitar saya tergeletak tak dirawat. Gitar itu dibiarkan begitu saja, ditelantarkan, hanya karena tak satupun orang yang ingin memainkan gitar yang hanya menyisakan tiga dawai bass itu. Kasihan.
Menyaksikan orang lain bisa bermain gitar dengan kerennya selalu membuat saya iri, ingin melakukan hal serupa. Saya merindukannya, mendengarkan suara pas-pasan saya mengiringi gitar yang saya mainkan. Atau mengiringi orang di sekitar saya melepaskan suara mereka.
Saya masih ingat, pertama kali saya memilikinya hanya gara-gara melihat teman lain yang pandai memainkan alat musik itu. Saya tergoda untuk bisa terlihat keren juga. Katanya, ketika seorang lelaki pandai memainkan gitar, maka kegantengannya bertambah sekian persen. Ya, karena merasa tidak ganteng, maka saya bertekad untuk pandai bermain gitar supaya bisa jadi orang “cukup” ganteng. Jadilah saya kemudian belajar gitar pada teman sekolah saya itu. Bolak-balik saya ke rumahnya hanya untuk belajar chord maupun lagu-lagu tertentu. Saya takkan pernah lupa lagu pertama yang menjadi program pertama saya, Waktu Tentang Kita.
Lebih sebulan kemudian, saya pun semakin cinta dengan bermain musik. Tiada hari tanpa saya belajar dari teman saya. Hingga akhirnya, saya sendiri memutuskan untuk memiliki gitar.
“Terserah kamu tah. Itu kan uang kamu. Jadi yang berhak nggunainnya ya kamu sendiri,” ujar ayah saya ketika saya mengutarakan keinginan membeli sebuah gitar.
Gitar itu pulalah yang menjadi barang pertama yang dibeli atas uang pribadi saya. Uang yang telah saya hasilkan sebagai pemenang Juara Siswa Teladan tingkat kabupaten ketika duduk di bangku SMP dulu. Uang yang agak segan saya menghabiskannya. Namun saya takkan pernah melupakannya.
Tahu tidak, saking bersemangat dan senangnya saya menulis (dan berhemat) dulu, saya lebih memilih untuk tidak membeli buku-buku panduan chord musik. Saya lebih memilih meminjam buku-buku milik teman saya dan menyalinnya dalam satu, dua, sampai tiga buku tulis. Buku tulis yang berisikan chord-chord lagu salinan saya itu sering menjadi panduan saya dalam mempelajari sebuah lagu. Tak jarang, teman-teman saya ikut menggunakannya untuk bermain musik.
“Memangnya tak capek menuliskannya ulang seperti itu?” tanya seorang teman saya.
Saya hanya menggeleng dan menjawab, “Daripada saya harus beli?” Haha… masih terpatri dalam ingatan saya, harga buku-buku chord saat itu berkisar antara Rp10-15ribu. Apalagi di daerah kami belum dilengkapi oleh jaringan internet. Sangat berbeda dengan sekarang, yang tinggal googling lagu, copy-paste, cek gitar, dan genjreng!.
Hingga melanjutkan kuliah pun saya tetap bersamanya. Tidur bersamanya. Bernyanyi bersamanya. Duduk-duduk bersamanya. Ngobrol (sedikit) bersamanya. Lapar bersamanya. Naik mobil bersamanya. Naik motor bersamanya. Akan tetapi, saya masih heran, satu hal yang belum saya lakukan dengannya; merayu seorang wanita lewat genjrengan dawainya itu. Hahaha…fakta bahwa memainkan gitar itu bisa menaikkan beberapa persen tingkat kegantengan hanya mitos belaka. Jangan ditiru! Padahal, saya seringkali melihat di film-film, laki-laki selalu berhasil membuat si wanita pujaan hatinya terkesan melalui aksinya memainkan gitar di bawah jendela rumah si wanita, meskipun harus menanggung resiko dikejar-kejar oleh ayahnya. Hmm… zaman sekarang, apa masih berlaku ya??
Yah, bagaimanapun, salah satu motivasi saya dulu mempelajari gitar memang cukup kekanak-kanakan. Sampai sekarang, saya menganggap, kemahiran saya “sedikit-sedikit” dengan bermain gitar hanya sebatas hobi belaka. Saya tidak menemukan passion saya secara gamblang di dalamnya. Amat berbeda dengan salah seorang teman saya dulu yang berhasil membentuk sebuah band meskipun beberapa kali harus berganti personil. Saya memainkan gitar hanya untuk melepas rasa jenuh saja. Sekali-kali untuk melatih suara.
Karena pada dasarnya, ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk melepaskan rasa jenuh kita.
Saya menemukannya; mempelajari banyak hal bukanlah sesuatu yang salah ataupun menjadikan kita orang yang tamak. Sama sekali tidak. Mempelajarinya, bagi saya, bukanlah sebuah kebetulan belaka. Tuhan merencanakan, kelak, kita akan dipertemukan dengan saat-saat kita membutuhkan sesuatu yang telah kita pelajari itu. Dalam hidup, selalu saja akan dijumpai “titik jenuh” yang akan menghempaskan kita belakang. Maka sangat penting melatih diri untuk menemukan hal-hal baru. Apa salahnya dengan mencoba? Saya selalu ingat dengan salah satu anekdot yang berkembang di kalangan wartawan, yang membandingkan seprang wartawan dengan seorang profesor.
“Wartawan itu… tahu banyak tapi sedikit. Sedangkan profesor itu… tahu sedikit tapi banyak,”
“Wartawan, dikarenakan tuntutan pekerjaannya, ia harus mengetahui dan mempelajari banyak hal meskipun sedikit-sedikit ataupun hanya garis besarnya saja. Akan tetapi, berbeda dengan seorang profesor yang karena pekerjaan dan jabatannya, ia dituntut untuk mengetahui dan mempelajari sesuatu dengan lebih spesifik ataupun mendetail, terkhusus pada bidang tertentu saja,”
Saya menyadari, hal-hal yang kita pelajari akan selalu mempunyai ruang untuk kita manfaatkan di kemudian hari.
Saya kemudian meraih gitar yang tergeletak di pojok ruangan. Berdebu. Sejenak mengamatinya. Mengusap-usapnya. Berpikir. Dan selanjutnya beranjak keluar menyiapkan beberapa hal untuk melahirkannya kembali…
--Imam Rahmanto--
0 comments