Halaman Awal dan Akhir

Mei 13, 2013

Baca Juga

Gambar: google.com
“Membaca buku itu, bagi saya, cukup membaca beberapa halaman awalnya saja dan beberapa halaman terakhirnya. Dengan begitu, saya tidak perlu membaca semua isi buku yang tebal-tebal itu. Toh, saya juga sudah mendapatkan semua isi buku itu,” ujarnya menyombongkan diri. Seperti biasa, ia memang bertingkah layaknya orang-orang yang sangat pandai. Menganggap orang-orang di sekelilingnya tidak lebih pintar darinya, bahkan untuk segala hal yang sebenarnya tidak diketahuinya.

Saya diam saja mendengarnya. Mendebatnya hanya akan membuat saya terlibat dalam obrolan kusir. Sebagai seorang adik yang baik, saya tak perlu menyanggahnya. Baginya, apa yang dikatakannya selalu benar. Ya, selalu benar??

Saya kemudian teringat dengan salah satu film yang pernah saya tonton:

“Aku hampir lupa. Bacaan akhir pekan. Jika aku boleh memilih, tulisan tentang kutub utara cukup bagus. Sudahkah kau membacanya?”

“Tentu saja tidak. Untuk apa aku membacanya?” ujarnya. “Sini aku jelaskan padamu. Semua yang perlu kau tahu tentang buku bagus, adalah lima halaman pertama, dan lima halaman terakhir. Oke?”


Kalau ada waktu untuk bersantai, ya apa salahnya dengan membaca buku?

“Saya sudah tahu semuanya dengan membaca beberapa halaman saja. Lagipula, waktu saya terlalu sedikit hanya untuk disibukkan dengan membaca buku,” lanjutnya lagi pada teman saya. Acuh, saya terus saja melanjutkan bacaan saya.

Membaca buku. Yah, sudah berapa buku yang saya habiskan minggu ini. Entah bagaimana caranya saya ingin sekali membaca buku. Saya agak tersengat ketika seseorang bertanya, “Berapa buah buku yang kau baca dalam sebulan?” Di samping itu, saya kemudian ingat dengan keinginan saya untuk memperbanyak koleksi buku, membuat perpustakaan mini sendiri.

Ah, saya masih kalah dibandingkan teman saya. Ia nampaknya sudah lama memiliki koleksi perpustakaan pribadi. Lihat saja dengan buku-bukunya yang ia bubuhi stempel layaknya perpustakaan pada umumnya.

Saya senang membaca buku. Tapi bukan dengan cara yang diterapkan oleh salah seorang senior saya itu. Atau cara satunya lagi, yang saya temukan lewat film A Thousand Words. Seorang agen penerbitan yang sibuk mengejar dan mengajak penulis untuk menjadi partner-nya, sehingga ia melupakan esensi membaca itu sendiri. Hingga kelak, ia diajarkan bagaimana caranya untuk “berhenti sejenak” dalam ritmenya yang berlangsung begitu cepat dan sibuk.

Membaca buku, bagi saya, mengimajinasikan dunia saya sendiri. Saya bebas mengkhayal, memikirkan segala bentuk perwujudan dari isi buku. Amat berbeda ketika kita menonton film. Dalam film, kita sudah didikte tokoh-tokoh maupun settingnya. Otak tak perlu terlalu kuat mencernanya. Cukup lihat saja dan saksikan.

Buku mengajarkan kita untuk melihat dunia lebih luas, dari sudut kacamata kita sendiri. Satu buku, satu jendela. Jika kau ingin mengenal dunia, maka membacalah. Lewat buku itu pula, saya banyak mengenal sesuatu. Bahkan beberapa pengalaman “fiktif” bisa saya alami sendiri lewat buku itu. Tapi, tentu saja dengan menyelesaikan semua bacaan saya. Bukan dengan gaya membaca hanya separuhnya saja.

“Seperti buku yang semalam saya dapatkan, saya hanya membaca beberapa lembar halaman awalnya dan beberapa lembar halaman akhirnya. Saya sudah tahu isinya,” ujarnya lagi mengemukakan sebuah buku yang membahas “dapur” salah satu media ternama di Indonesia. Ia lalu mengemukakan isi bukunya, menurut versinya sendiri. Dangkal.

Saya berani menjamin, orang yang hanya membaca secuil isi dari sebuah buku tidak akan mendapatkan apa-apa dari buku itu. Bak melihat dunia luar lewat jendela, kita tidak akan menyaksikan seluruhnya jika hanya mengintipnya lewat celah-celah jendela itu saja, tanpa menyingkap seluruh tirainya. Jadi, bagi saya, omong kosong saja bila seseorang berbicara tentang isi buku tanpa pernah membaca keseluruhan buku. Anggap saja, itu hanya belajar beretorika – menarik perhatian dan simpati. Membaca setengah-setengah, kita memutuskan untuk menjadi orang yang sok tahu.

Apa yang kemudian membuat saya merindukan kembali dunia baca? Karena saya melewatkan beberapa waktu saya untuk menikmati dunia ini, saya berusaha menciptakan dunia saya dan menikmatinya lewat membaca itu. Lagipula, saya terdorong oleh semangat seorang wartawan senior yang sempat berkunjung ke redaksi kami tempo hari.

“Agar kalian tidak menyesal di kemudian hari. Cobalah, mulai dari sekarang, targetkan buat baca buku! Targetkan berapa buku kalian habiskan dalam sebulan, seminggu, atau bahkan sehari. Lantas coba kalian hitung sendiri, ada berapa buku yang kalian tamatkan dalam setahun?” ajaknya. Yah, saya sudah lama tidak banyak membaca buku. Berdalih, ada beberapa rutinitas yang menghalangi saya. Ada berapa buku yang telah kalian baca dalam setahun?

Jika untuk mengenal dunia saya harus membaca buku, maka untuk dikenal dunia maka saya harus menulis buku. I wish it!



 
--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments