Aku, Segelas Cappuccino (Season 3 - part 2)

Mei 14, 2013

Baca Juga

(Gambar: google.com)
“Apa kau tahu, Cappie? Bagaimana sejatinya orang yang mencintai itu? Atau…mungkin sekadar suka yang sebenar-benarnya?” Kau bertanya padaku, yang hanya bisa kujawab denga diam tanpa bahasa.

“Hmm…seminggu yang lalu, aku benar-benar heran. Aku mencintai apa aku menyukai?” lirihmu.

Aku semakin heran dengan dirimu pagi ini. Kau bertingkah aneh, layaknya ketika pertama kali engkau menyukai seseorang dulu. Aku masih ingat bagaimana ketika engkau selalu saja bercerita tentangnya di depanku. Aku masih ingat betapa kau bahagianya jika mengangkat telepon darinya. Berjam-jam lamanya kau habiskan waktu hanya untuk membahas hal-hal tak penting dengannya. Bahkan, kau rela membiarkan sms-sms dari teman-temanmu mengalami pending barang sebentar.

“Ah, berhati-hatilah dengan perasaanmu. Aku hanya menyarankan agar kau untuk kali ini tidak lagi terbawa perasaanmu. Terkadang, ketika kau jatuh cinta, kau harus rasional pula,”

“Aku menemukan orang yang baru, meski tak bisa dipungkiri hingga hari ini aku masih terus saja memikirkannya. Tapi, aku sadar. Waktu terus berjalan, dan perlahan waktu akan mengobati lukaku.. perlahan,” ujarmu lagi. Pandanganmu ke depan, mengingat sesuatu.

“Memang, waktu bisa mengobati luka hati. Namun manusia mengobati lebih cepat daripadanya,” balasku.

Aku tahu, kau selalu mengharapkannya. Orang yang pernah memikat hatimu. Namun kau tak menyadari seseorang telah memilikinya. Atas nama keberanian, kau rela begitu saja menjerumuskan diri.

Kau terdiam sesaat. Sejenak merasakan hembusan udara yang tak begitu hangat pagi ini. Jarimu mengusap-usap tangkai gelasku. Aku masih hangat dan selalu berusaha menghangatkanmu.

Seandainya saja Tuhan juga berpihak padaku, saat ini, aku ingin menjadi temanmu yang bisa menjadi lawan mengobrolmu. Malang bagiku, aku bukanlah manusia yang setiap saat bisa tertawa, menangis, mencintai, atau membenci sesamanya setiap waktu. Aku hanya segelas minuman yang menjadi penonton atas apa yang kalian lakukan sehari-hari. Kami hanya mendengarkan. Kami hanya bercerita satu sama lain dengan bahasa kami. Dan soal cinta? Ah, itu menjadi barang langka bagi kami.

“Hei, Cappie. Seandainya kau hidup. Mungkin kita bisa menjadi teman yang akrab. Begini saja kau sudah menjadi teman bagiku. Apalagi kalau kau bisa hidup layaknya manusia,”

Ah! Kau tahu apa yang kupikirkan? Apakah kita memang terhubung? Atau ini hanya kebetulan semata?

Nada dering handphonemu berbunyi. Kau tersadar dan beranjak masuk ke dalam rumah untuk mengangkatnya. Kau meninggalkanku sendirian disini. Aku masih mengepulkan asap, membumbungkan tinggi kehangatanku. Beberapa detik kemudian, asap itu berputar-putar di atas gelasku. Pusaran asap putih terbentuk semakin menebal, mengalahkan asap rokok yang sering kulihat.

Ada yang aneh terjadi di hadapanku. Asap itu semakin meluas dan membentuk kabut tipis di sekelilingku. Sesaat, aku kehilangan kesadaranku. Aku kehilangan penglihatanku. Aku tak mencium lagi aromaku seperti biasa.

Kau kembali dengan menenteng ponsel di tanganmu. Mengetikkan sesuatu di layarnya sambil berjalan ke arahku. Tanpa sadar, kau nyaris saja melonjak ketika melihatku. Tak biasanya, aku tak bisa lagi membaca pikiranmu. Aku tak tahu apa yang kau pikirkan saat ini, ketika melihatku, seseorang yang duduk di sebelah bekas tempatmu duduk.

“Emm…eh,.. maaf, mau cari siapa?” tanyamu basa-basi berusaha menyembunyikan sedikit kegugupanmu. Atau, kukatakan saja, terkejut.

“Aku Cappie,” jawabku sambil tersenyum sumringah padamu.


to be continued__

--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments