The Story of The Screen

Februari 01, 2013

Baca Juga

Pagi ini, tanggal 1 Februari 2013, saya menyambut awal bulan yang katanya penuh cinta dengan duduk-duduk sendiri di depan #terasbaru redaksi sembari menyeruput minuman favorit saya. Yeah, that is it, Cappuccino!
***

Mengakhiri bulan pertama Januari, saya beserta tiga orang teman saya sejenak melepas kejenuhan dengan mengikuti sebuah acara pemutaran dan diskusi film gratis (Cinematica) di gedung BaKTI, Jl. Mappanyukki. Saya baru pertama kalinya lagi menginjakkan kaki disana, setelah sekian lama berkutat dengan kesibukan sebagai seorang mahasiswa yang dikejar deadline.

Film kedua yang diputar yang akhirnya harus kami nonton di tengah-tengah berlangsungnya. (ImamR)
BaKTI yang merupakan tempat beragam kalangan, profesi, maupun komunitas untuk berbagi ilmu, benar-benar bisa membuat saya sedikit melupakan sejenak kejenuhan akan rutinitas saya di kampus, redaksi, maupun kehidupan. Ada banyak ilmu yang bisa saya dapatkan dari sana meski sekadar pengetahuan saja; film, menulis, radio (penyiaran), jurnalistik, event organizer, kampus, dan sebagainya. Terlebih acara yang digelar disana selalu tanpa biaya alias GRATIS.

Bukan tanpa alasan ketika kami berempat harus tiba 30 menit kemudiandan hanya kebagian nonton film kedua. Pasalnya, kericuhan yang terjadi di sekitar kota Makassar, menanggapi hasil Pilgub, sudah terlanjur menakuti sebagian besar warga kota Makassar. Disana-sini muncul isu tentang kericuhan yang meluas sampai ke lokasi acara kami. Jatuh korban lah, kena panah lah, kepala tembus lah, kabar yang sampai ke telinga saya.

“Kak, tidak mau ikut ke acara Cinematica di BaKTI?” tanya saya pada salah seorang senior menjelang berangkat bersama teman-teman.

Hah? Mau cari mati ya? Di sekitar sana kan sedang ricuh. Mau kena panah nyasar?” jawabnya.

Lah, di Mappanyukki kok, Kak. Soalnya gedungnya sudah pindah,”

“Ya, memangnya kau tidak tahu? Disana kan kena juga. Makanya pantau perkembangannya lewat tivi?” balasnya meyakinkan saya. Sejenak, saya berpikir, “Apa betul ya separah itu?” Padahal menurut pantauan informasi saya, kericuhan hanya terjadi di beberapa tempat, yang kenyataannya masih cukup jauh dari lokasi gedung yang akan kami kunjungi.

Nyaris saja, keinginan saya untuk sekadar brain refresh kesana goyah. Apalagi kami hanya berempat. Saya heran, ada banyak teman-teman saya tidak begitu tertarik ikut. Yah, setidaknya kita menghilangkan kejenuhan dari rutinitas redaksi. #out of the box. Anggap saja ini adalah “outhouse training”. 

Akan tetapi, dikarenakan niat kita yang benar-benar mulia demi menjaga perdamaian dunia, tulus demi mendapatkan ilmu dan bersosialisasi, bertemu dengan orang-orang baru, maka kami tetap memutuskan berangkat. Semangat tetap menyertai kami. Saking semangatnya, salah seorang teman kami kesasar sampai harus pulang sendiri ke redaksi. Ya, sudahlah.


Interaksi Sosial yang Hilang

Pembicara mulai membuka diskusi dengan bercerita tentang pengalamannya. (ImamR)
Ok, semalam ada dua film yang menjadi pembuka diskusi dengan pembicara Anwar Jimpe Rahman, seorang penggiat sastra dan perfilman Makassar dan @lelakibugis (saya lupa namanya). Tema yang diulas kali ini; The Story of The Screen (Nostalgia Bioskop dan Layar Tancap). Film pertama berjudul “Maaf Bioskop Tutup”, sementara film kedua berjudul “The Last Journey”. Saya dan ketiga orang teman saya hanya kebagian menonton film kedua. Sebuah film dokumenter durasi 28 menit yang berkisah tentang kehidupan bioskop layar tancap, yang kemudian bangkrut  karena orang lebih suka menonton televisi, DVD di rumah dan juga acara-acara orkestra dangdutan. Kedua film dokumenter tersebut secara umum menggambarkan perkembangan “jatuh-bangun” bioskop tradisional yang telah lama dilupakan oleh masyarakat.

Yah, kita sekarang sudah sangat jarang menemukan bioskop-bisokop layar tancap seperti dulu. Padahal, sebelum menjamurnya bioskop-bioskop modern seperti sekarang, masyarakat kebanyakan sangat menanti-nantikan hadirnya tontonan-tontonan baru melalui layar tancap itu. Dulu, ketika masih sangat kecil, saya pernah sekali merasakannya. Dan saat itu, saya benar-benar senang melihat film yang diputar di layar putih dan berukuran gambar super besar. “Wah”, mungkin menjadi penggambaran saya ketika pertama kali menonton “tivi” lewat layar tancap.

“Ada yang turut hilang dari jatuhnya bioskop-bioskop itu,” tutur Anwar Jimpe Rahman.

Sela-sela acara, perut mesti diisi. (ImamR)
Sebuah interaksi sosial yang terjalin di tengah-tengah masyarakat turut memudar seiring hilangnya bioskop-bioskop tradisional itu. Tak ada lagi para penjual-penjual kacang, minuman panas, ketika layar tancap itu hilang. Tak ada lagi anak-anak yang berlarian kesana kemari bukan untuk menonton film, melainkan hanya untuk bermain bersama teman-temannya di malam hari, di tempat seramai acara layar tancap. Bahkan, di momen yang cukup memasyarakat itu, kita sering menemukan muda-mudi yang janjian ketemuan di tempat berlangsungnya bioskop tradisional. Ya, meskipun mereka hanya berusaha mencuri-curi kesempatan di sela-sela menonton bersama itu.

“Bioskop-bioskop tradisional itu adalah satu titik dimana masyarakat bisa bertemu, berinteraksi bebas, dan bahkan berinvestasi ekonomi di dalamnya. Layaknya pasar, namun di waktu yang berbeda. Jika pasar di waktu siang, maka layar tancaplah yang kemudian mempertemukan masyarakat di malam harinya, sekadar melepas penat dari bekerja,” jelas Anwar Jimpe Rahman.

Bioskop-bioskop modern yang kini hadir di tengah-tengah kota, di dalam megahnya gedung-gedung mall sama sekali tidak menimbulkan interaksi layaknya layar tancap itu. Orang-orang hanya berdatangan kesana, duduk di atas sofa empuk ber-AC, tenang dan diam, usai itu mereka keluar dan pulang ke rumah. Sangat berbeda misalnya ketika masyarakat yang menanti-nanti diputarnya film di bioskop-bioskop layar tancap itu dengan duduk-duduk bersama kawannya, atau keluarganya sembari menggelar tikar atau bahkan berpiknik kecil di depan layar tancap. Diputarnya film pun, mereka masih asyik-asyiknya ngobrol dengan teman-teman di sebelahnya.

“Coba kalau di bioskop, datang kesana dengan celana pendek-kaos, sandal jepit kita serasa berada di dunia asing. Mana ada yang memperbolehkan kita masuk dengan pakaian compang camping. Ada batasan-batasan kerapian yang masih dijunjung dan membatasi kasta ketika kita memasuki mall-mall di kota,” canda @lelakibugis, yang juga merupakan penggiat pefilman di kota Makassar. Yah, benar sekali! Bahkan, menonton di rumah sendiri pun terkesan menimbulkan pengaruh individualisme dalam diri masing-masing masyarakat.

Sejak dulu, sebenarnya masyarakat kota selalu membutuhkan pemicu untuk mempertemukan diri satu sama lain. Saya sendiri pun merasakan hal demikian. Hidup di kota secara harfiah menumbuhkan pagar-pagar tinggi di rumah masing-masing. Bukan saja membatasi halaman rumahnya, pagar itu turut membatasi interaksi sosial yang terjadi di sekitarnya. Bukan hal yang aneh lagi ketika kita menemukan orang-orang yang bertetangga tidak mengenal satu sama lain, bahkan untuk tetangga yang hanya berbatas dinding rumah. Ckckckck…menilik pengalaman redaksi yang berada di tengah-tengah pemukiman masyarakat kota. Kami tidak begitu akrab dengan tetangga depan-belakang-samping rumah. Apa karena selain kami selalu membuat gaduh ya?? Namanya juga mahasiswa…

Akan tetapi, proses investasi dan bisnis yang menjanjikan tiap pemutaran film membuat bioskop-bioskop tradisional kalah bersaing. Siapa coba yang tidak mau nonton film, duduk santai di sofa empuk, ruangan ber-AC, kualitas suara terjamin, tidak dipengaruhi oleh cuaca pula? Selain itu, tiap rumah juga sudah dilengkapi dengan televisi-televisi dengan ribuan siaran dari berbagai negara. Alhasil, masyarakat kemudian dicekoki dengan perubahan gaya hidup modern. Perkembangan teknologi semakin memunggungi bioskop-bioskop layar tancap.

“Ada ruang-ruang sosial yang kemudian hilang dari bioskop itu. Interaksi sosial yang seharusnya dibutuhkan masyarakat,”

Sebenarnya, bukan hal yang buruk pula ketika bioskop-bioskop modern muncul di tengah-tengah masyarakat. Asalkan, kehadirannya tidak mengikis satu-persatu rasa sosial yang ada di masyarakat. Tenggang rasa, solidaritas, tanggung jawab, kepedulian, gotong royong, kekeluargaan, pada kenyataannya lambat-laun telah menghilang dari kehidupan masyarakat perkotaan. Setidaknya, yang modern itu tidak membuat orang-orang berpikiran individualistik.

Perkembangan teknologi, sebaiknya (dan semoga) bisa kita jalani tanpa mengurangi interaksi sosial yang terjalin antar sesama masyarakat, tanpa menghilangkan "ruang-ruang sosial". Dan, ruang-ruang sosial seperti itulah yang banyak hilang dan tidak mampu diwadahi oleh pemerintah. Maka dari itu, mari menciptakan sendiri "ruang-ruang sosial" itu.

Hmm...selalu ingat, “bersama itu selalu menyenangkan”. ^_^.


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments