Berani Mencintai

Februari 02, 2013

Baca Juga

(sumber gambar: google search)
“Cinta itu membutuhkan sedikit keberanian untuk bisa membuka pintu hati,”
sebuah kutipan yang malam ini saya baca dari sebuah novel, Ibuk, meskipun saya belum menyelesaikan dari setengah bacaan itu.

Memang benar, butuh keberanian untuk sekadar mengungkapkan perasaan kepada orang lain. Kita tidak akan tahu bagaimana perasaan orang lain ketika kita tidak mengungkapkannya secara langsung ataupun blak-blakan. Kata sebuah film, hanya orang yang terlalu mencintai dirinya sendiri yang tidak mampu mengungkapkan perasaannya pada orang lain. Nah, seperti cerita “dramatis” yang baru saya dapatkan juga malam ini.

“Saya mengungkapkannya dengan setangkai bunga dan cokelat tepat di hari Valentine, tanggal 14 Februari,” ungkap seorang teman pada saya.

Saya nyaris tidak percaya dengan yang dikatakannya. Selama ini, saya memandangnya sebagai orang yang lugu, polos, dan tak berbakat dalam melakukan apa-apa. Namun kenyataannya, ia benar-benar “berani” sedramatis itu mengungkapkan perasaannya pada orang lain. Saya tak habis pikir, pikiran seperti apa yang ia olah untuk bisa dikolaborasikan dengan teori-teorinya dalam menggaet seorang wanita. Bahkan, ia mengaku sudah punya empat orang mantan kekasih, dan salah satunya sedang meminta untuk rujuk kembali. Istilahnya: CLBK. Ckckck….great!

Ketika ia bercerita panjang lebar kronologis proses “nembak” itu, saya melihatnya benar-benar mirip dengan acara-acara reality show yang ada di tivi-tivi. Atau kalau bisa disamakan, malah terbayang seperti sebuah acara FTV. Sembari sedikit mencuri ilmu darinya, saya hanya bisa tertawa mendengarkan kisah “berani”nya itu.

“Saya memegang tangannya ketika ia berdiri. Sambil berlutut, memberikan bunga. Lalu mengungkapkan semuanya,” tuturnya lagi. Nah, bukankah itu sangat dramatis!!

“Ya, bagaimanapun saya harus berani. Kalau tidak, saya tidak akan tahu hasilnya. Lagipula, gerak-gerik yang diperlihatkannya sudahmemberikan saya peluang yang sangat tinggi untuk bisa diterima sebagai pacarnya,” Ia benar-benar menjelaskannya panjang lebar dengan sedikit malu-malu.

Terlepas dari kesehariannya di mata saya, saya menganggap ia adalah orang yang patut diacungi jempol. Saya harus mengaku kalah dengannya. Mengaku bahwa saya tidak bisa melakukan se”dramatis” yang dilakukannya. Mengaku saya tidak lebih hebat darinya dalam perkara “cinta”.

Orang yang tidak berani menyampaikan perasaannya kepada orang lain adalah orang-orang yang egois. Bagaimana tidak, mereka hanya menyimpan perasaan itu untuk dirinya sendiri. Mereka tak pernah membagi secercah kebahagiaan itu untuk orang yang benar-benar disayanginya. Sekadar mengucap beberapa kalimat saja mereka sangat pelit nan penuh perhitungan. Bukankah teori perhitungan itu akan menjadi ilmu “tak pasti” ketika orang mulai membicarakan cinta? 

Yah, apapun jenis ketakutan itu, saya pernah mengalaminya di masa-masa sekolah dulu. Meskipun kini saya sudah mulai bisa menghapusnya dari memory saya, namun saya rasanya ingin kembali di masa putih abu-abu itu. Mencoba memperbaiki sesuatu yang rusak dan menggantikannya dengan sesuatu yang lebih berwarna.

Pikiran dan segala pengalaman yang membawa saya disini, sekarang, telah banyak mengajari saya untuk berbuat lebih baik, sedikit lebih berani, dan tidak lagi menjadi orang yang suka menyembunyikan secercah harapan itu. Just to talk!  Kenyataannya, saya pernah berani mengambil resiko persoalan “cinta” itu dan benar-benar mendapati resikonya. Meskipun tak sedramatis teman saya tadi.  Akan tetapi, hal itu yang kemudian membelajarkan saya untuk menjadi lebih dewasa. Bukankah kita dewasa karena sebuah kegagalan? 

Memberanikan diri memang adalah kunci terbaiknya. Selama kita siap menerima resiko yang akan hadir di balik usaha itu. Mereka yang hanya tinggal diam, menyimpan semua kebahagiaan itu rapat-rapat, berarti tak mempunyai keberanian yang cukup untuk melangkah lebih jauh. Ini soal perasaan, yang tak mungkin diterka-terka begitu saja. Kita bukan seorang mentalist magician yang bisa membaca sekilas pikiran orang lain. Tidak semua dari kita belajar cara membaca kepribadian orang lain. Bahkan orang-orang yang belajar ilmu Psikologi pun belum tentu bisa dengan leluasa membaca perasaan orang lain. Dalamnya lautan bisa diukur, namun dalamnya hati siapa yang tahu? Oleh karena itu, bertanya langsung pada orang lain tentang perasaannya adalah hal yang wajar. Just to talk, just wait the answer!

Saya kemudian berpikir, resiko selalu ada untuk orang yang selalu memberanikan diri berbuat sesuatu. Namun, percayalah, keberuntungan selalu menyertai orang-orang yang berani menapaki batas ketakutannya itu. Dan teman saya tadi, ternyata telah berhasil menaklukkan ketakutannya sendiri. Hasilnya? Si wanita menjawab “YA” disertai pipi yang bersemu merah melihat “aksi nekat” teman saya itu. ^_^.


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments