Saya Belajar, Saya Bisa
Januari 28, 2013Baca Juga
(ImamR) |
Saya banyak memikirkan sesuatu akhir-akhir ini. Boleh jadi, pekerjaan yang menumpuk dan tuntutan kewajiban sebagai seorang mahasiswa menumpuk jadi satu. Di sisi lain, tekanan batin karena beberapa kali saya telah menjelma menjadi orang yang buruk; berjanji dan selalu saja tak ditepati.
Ya, mahasiswa, yang konon kabarnya harus menyelesaikan pendidikannya dalam rentang 4 tahun. Jika tidak seperti itu, terkadang orang-orang akan memandang kehidupan mahasiswa sebelah mata. Dan lihatlah, mahasiswa yang bisa menyelesaikan kuliahnya "tepat" 4 tahun akan dicap sebagai mahasiswa berprestasi sekaligus pandai. Sementara mereka yang menanti penyelesaian lebih dari 4 tahun harus menanggung "bisik-bisik halus" dari tetangga.
"Si Jabrik kok belum selesai kuliah ya? Padahal si Jablay sudah diwisuda. Dua-duanya kan seangkatan,"
Adalah hal yang wajar ketika saya mulai bingung menentukan kejayaan saya di masa-masa seperti ini. Tahun ini, seharusnya menjadi masa-masa berbahagia saya menyusun skripsi dan sejenisnya. Atau setidaknya bolak-balik konsultasi dengan PA. Akan tetapi, semua yang terjadi agak bertolak belalang. Mungkin, saya satu-satunya orang yang sama sekali masih belum memikirkan konsep judul skripsi. Saya pun hanya bisa tersenyum getir menanggapi teman-teman sekelas saya yang sudah mulai, sedikit-sedikit, berbicara soal itu.
"Eh, kemarin si A yang seminar proposal ya? Kamu datang ndak? Trus, kalau kamu, kapan seminar?" suara-suara itu yang sering menggema di langit-langit jurusan saya dan terkadang membuat saya iti dengan teman-teman.
"Saya sementara menunggu PA nih. Kalau dia meyetujui, saya bakal seminar minggu depan," jawab salah seorang teman saya. Teman saya yang satu hanya mengangguk-angguk disertai "Ooo..." tanda mengerti.
"Oh ya,..." Entah mengapa saya tiba-tiba tahu arah pembicaraannya. Teman saya kemudian menatap tajam ke arah saya. Tuh kan!!
"Kalau kamu, Mam. Sudah ada judul?" Sesuai dugaan saya.
"Sudah," Saya mengangguk sekilas. Pelan sekali. Padahal, yang terpikirkan dalam benak saya saat itu adalah judul salah satu berita yang sementara saya garap. Ckckck...
Belajar Sakit
Sedikit demi sedikit saya mulai mengejar ketertinggalan saya. Lambat laun saya sudah mulai belajar bagaimana caranya sakit hati dan cara mengatasinya.
Beberapa hari yang lalu, saya mendapati seorang teman saya menyampaikan kabar menyedihkan perihal kuliahnya.
"Semester ini saya juga sudah merasakan semua jenis nilai mata kuliah," ujarnya nyaris menertawakan diri sendiri.
"A, B, C, D, E, Tunda, Kosong?" sebut saya berusaha memastikan. Bagaimana mungkin ada orang yang kemudian menyamai saya "pernah merasakan semua jenis nilai".
Ia pun mengiyakan lantas tersenyum lebar. Senyum yang agak dipaksakan untuk tegar dengan nilai-nilai jeblok itu.
Akan tetapi, bagaimanapun juga, saya banyak belajar dari nilai-nilai buruk seperti itu. Saya mulai terbiasa (atau membiasakan diri) menemui nilai-nilai semacam itu. Memang, pada awalnya (dulu) saya merasa sakit hati ketika memperoleh nilai rendah seperti itu. Namun, saya kemudian mampu menerima kenyataan bahwa tidak semua yang kita harapkan itu berjalan lancar.
Tidak perlu meraung-raung jika semua rencana berantakan. Tidak ada putus asa ketika jalur yang kita lalui kemudian berbelok le arah lain. Tidak perlu menggigit-gigit bantal melihat orang lain berbahagia dengan kehidupannya yang tenang dan lancar layaknya air parit. Kita cukup menenangkan diri dan menyadari, kalau semuanya adalah tempat belajar. Belajar dari kesalahan. Belajar dari siapa saja. Belajar apa saja. Belajar kapan saja. Belajar untuk sakit hati.
Hidup tak selalu mulus dan teratur. Terkadang jika semuanya berjalan lancar, saya kemudian merasa ada sesuatu yang salah dalam diri saya. "Ada apa ini?" Masalah itu ada untuk membuat kita dewasa. Dewasa dalam artian benar-benar tahu cara membendung rasa sakit atau perasaan buruk lainnya.
Sama halnya ketika saya menjalani masa-masa sekolah menengah atas (SMA) dulu. Saya sekarang baru menyadari, di kehidupan yang lalu itu ada hal-hal yang tidak sempat saya lakukan. Mestinya saya bisa sedikit memberikan "corak" untuk masa-masa itu. Tapi, toh, saya baru menyesal sekarang. Ada cerita berbeda yang semestinya bisa saya jalani saat itu. That's for the next story, Ok?
Siapapun tentu selalu menginginkan yang terbaik untuk kehidupannya. Akan tetapi, sesuatu yang baik itu belum tentu benar-benar baik untuk kita. Ada sesuatu yang selalu disimpan Tuhan untuk kita, yang benar-benar baik bagi kehidupan. Tuhan selalu tahu yang terbaik untuk hamba-Nya.
Dari semua kesakitan yang kita pelajari, maka belajarlah untuk iri dengan kehidupan orang lain.
"Kalau mereka bisa, kenapa saya tidak?"
Cemburu itu positif ketika mendorong kita untuk berbenah diri. Iri, dan bertekad untuk melampaui orang lain. Bersusah-susahlah! Senang datang kemudian. Saya sendiri punya tekad; Meruntuhkan anggapan orang lain bahwa saya tidak bisa. Saya ingin membuktikan, SAYA pun BISA! :)
"Kamu yakin bisa?"
"Seratus persen BISA!" jawab saya mantap pada keduanya, ayah dan ibu...
--Imam Rahmanto--
0 comments