"Memendam" itu Tak Baik

Februari 12, 2013

Baca Juga

tumbuh
Pagi ini, ketika saya memutuskan untuk menghabiskan waktu pagi dengan bersepeda, saya menemukan banyak remaja-remaja yang sudah siap untuk berangkat ke sekolah. Sebagian mengendarai sepeda, sama halnya yang sedang saya lakukan. Sebagian lagi berlalu-lalang, berkali-kali mendahului saya. Sisanya, berjalan kaki atau menumpang angkutan umum alias pete-pete.

Cukup menyenangkan pula melihat wajah-wajah sumringah mereka di pagi hari. Bayangkan saja, sepagi apa kira-kira mereka sudah harus bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Jauh lebih pagi dibandingkan mahasiswa-mahasiswa seperti kami yang mungkin masih menghabiskan waktu untuk tidur di pagi hari, sebagai dampak begadang tak jelas di malam hari. Saya agak tersentil melihat mereka. Wajah-wajah SMA itu seakan-akan kembali membawa saya untuk melintas waktu di masa lalu. Saat-saat saya masih remaja dan mengenakan putih abu-abu. Waktu ketika saya hanya bisa memendam “perasaaan”...

Ingatan itu membawa saya pada masa-masa yang sebenarnya sangat ingin saya lalui kembali dan memperbaikinya barang sedikit saja. Saya tak peduli dengan hasil yang akan saya peroleh. Setidaknya, saya belajar dari masa saya sekarang bahwa memendam perasaaan itu tak baik. Sama sekali tak baik. Maka berbekal memory; mesin waktu yang dianugerahkan pada kita, manusia, untuk kembali ke masa lalu, saya mengingat-ingat kembali waktu-waktu remaja itu sembari tetap mengayuh sepeda saya.

***

“Memangnya kamu suka siapa?”

“Tidak ada,” balas saya datar. Seorang teman sekolah pernah bertanya. Seakan tidak ada apa-apa, saya menjawab seadanya. Padahal, di balik ucapan datar itu, saya sempat menyukai salah seorang teman wanita saya. Dan kenyataannya, saya benar-benar pandai menyembunyikannya.

Ketika saya banyak mendengar teman-teman lainnya sudah memiliki pacar, termasuk orang yang saya suka itu, saya masih sendiri dan berusaha menyimpan apik-apik rasa “suka” itu. Meskipun sebenarnya saya juga ingin merasakan apa yang selama ini banyak di-curhat-kan oleh teman-teman, pacaran. Pergi berdua. Duduk berdua. Pulang-pergi antar jemput. Telepon-teleponan. Bahkan sekadar sms untuk menanyakan hal-hal sekecil; “Udah makan belum?”. Suatu bentuk perhatian yang sedikit berlebihan, namun cukup menarik perhatian saya. Akan tetapi, rasa takut dan segan membuat saya menjadi orang yang paling bodoh masa itu.

“Kalau saya pacaran, apa kata teman-teman nanti? Apa kata guru-guru di sekolah? Pasti menjadi sorotan lagi,” pikir saya galau. Maklum, saya termasuk golongan orang-orang yang dikenal baik oleh seluruh penduduk sekolah, termasuk kalangan guru.

Pikiran-pikiran semacam itulah yang kemudian menghalangi saya untuk menjadi orang yang lebih “berani” dalam cinta, selain karena masalah tampang. Hehehe... Selain itu, saya juga bahkan belum pernah sekadar merayu seorang wanita. Sulit bagi saya untuk bersitegang dengan hati saya sendiri. Kala itu, saya benar-benar tidak tahu cara untuk mendekati seorang wanita.

Akhirnya, saya melalui masa-masa SMA itu begitu saja. Memendam saja. Tak sekalipun pernah terlintas di kepala saya untuk kemudian menyampaikan perasaan “suka” tersebut kepada orang yang benar-benar saya sukai. Saya membiarkannya. Memendam terlalu lama. Dalam, dan semakin dalam. Semakin keruh.

Saya hanya bisa terdiam ketika melihatnya sendirian. Namun entah mengapa, saya merasa sakit ketika menyaksikannya begitu akrab dengan orang lain. Saya juga bukan orang yang pandai bersaing dalam hal cinta. Oleh karena itu, cenderung mundur perlahan-lahan ketika saya tahu ada banyak orang lain yang juga menyukainya. Saya terlalu sadar diri kok... 

Pernah nonton film satu ini? Ceritanya cukup menarik, terkait "memendam" itu. :)
Akan tetapi, mengingat masa-masa itu, kini saya menyesal harus melaluinya seperti itu. Meskipun saya sudah melupakan orang itu, namun saya masih berharap bisa memperbaiki segalanya. Mewarnai masa-masa SMA saya. Mencoba. Trial and error. Hasilnya? tak usah dipikirkan, urusan belakangan. Setidaknya dia tahu tentang perasaan saya yang sesungguhnya.

Terkadang memang sakit ketika kita mengungkapkan perasaan kepada orang lain dan ternyata ia tak benar-benar menyukai kita. Namun lebih sakit lagi ketika kita tak pernah mengungkapkannya tanpa tahu ia pun sejatinya menyukai kita.

Belajar dari pengalaman itu, saya baru menyadari semuanya bahwa memendam perasaan itu tak baik. Hal yang sama juga berlaku untuk masalah yang kita miliki. Sama sekali tak baik membebani pikiran kita sendirian. Nampaknya sesi “curhat” memang sedikit dibutuhkan orang untuk mengurangi beban pikirannya.

Saya banyak belajar untuk tak lagi menjadi orang yang suka menyembunyikan sesuatu, baik masalah biasa maupun perasaan “suka”. Saya mulai tahu bagaimana cara membaginya dengan orang lain tanpa perlu mengumbar-umbarnya ke khalayak yang lebih banyak. Namun, sedikit ilmu “menyembunyikan perasaan” yang masih terpatri dalam kepribadian saya semenjak dulu juga ternyata masih cukup bermanfaat hingga kini. Terkadang ada sesuatu yang memang mesti disembunyikan dari orang lain. ^_^

Saya sangat suka dengan quote sebuah film, “Hanya orang-orang yang terlalu mencintai dirinya sendiri yang tak mampu mengungkapkan perasaannya kepada orang lain, meskipun sekadar mengucapkannya,” Toh, ada benarnya juga. Mosok sekadar berbagi perasaan itu untuk orang lain kita pelit-pelit amat.

Kesimpulannya, jangan pernah memendam perasaan. Tak baik bagi kesehatan dan penghidupan. ^_^.

***

Menjelang pukul delapan, saya sudah kembali dari bersepeda. Rute yang asli “asal-asalan” cukup membuat saya belajar rute-rute baru. Malu bersepeda, tersesat tak tahu jalan. Saya sudah mulai banyak tahu jalan-jalan ataupun gang-gang baru yang belum pernah saya lalui. Melintasi perumahan-perumahan pagi itu yang masih sepi dari para penghuninya yang belum terjaga. Bagaimanapun, saya harus tetap belajar, apa saja...


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments