Sungai Tak “Perawan” Lagi
Februari 13, 2013Baca Juga
(ImamR) |
Tidak bosan-bosannya saya menghabiskan waktu pagi dengan bersepeda. Lagipula kuliah saya juga kebanyakan mengambil waktu siang atau sore hari. Sebaik-baiknya waktu, menurut saya, ya pagi hari itu. Saat dimana kebanyakan orang masih terlelap. Saat matahari masih belum bersinar begitu teriknya, masih terasa hangat-dingin-dingin. Saat orang-orang baru beranjak dari kasur untuk menyiapkan aktivitas paginya. Keren loh ketika merasakan semilir angin pagi menerpa wajah. Amboii sejuknya...
Oke, mari sedikit bercerita tentang rute saya pagi ini.
Bermula ketika saya bangun pagi lebih awal, menjelang pukul enam pagi. Bergegas mengingat bicycle time! Padahal semalam saya baru tidur lepas jam empat pagi loh. But, i like morning...
Saya mengawali rute saya dengan menyusuri jalan raya yang masih sepi dari para pejalan kaki. Hanya satu-dua orang yang terlihat berjalan kaki santai-santai. Saya kemudian menjumpai seorang pengendara sepeda lainnya yang juga ikut berolahraga pagi ini. Berbeda dengan saya, sedikitpun tampang saya tidak terlihat seperti orang yang sedang berolahraga sepeda. Pakaian saya masih sedikit semi-formal. Lah, saya kan memang tujuannya untuk berjalan-jalan.
Sebagai seorang mahasiswa, tidak fair rasanya jika saya tidak mengunjungi kampus saya di pagi hari. Oleh karena itu, saya menyempatkan diri menyusuri lingkungan kampus, baik kampus di Parangtambung maupun kampus UNM Gunung sari. Suasananya masih sepi dari mahasiswa. Sepagi itu, mahasiswa masih menyiapkan diri di rumah atau kontrakan masing-masing.
Sungai yang pekat menghitam di pagi hari. (ImamR) |
Saya agak miris menyaksikan sungai yang seharusnya menjadi salah satu sumber penghidupan masyarakat malah tercemar tidak karuan seperti itu. Dari pinggir sungai, terlihat jelas air sungai yang telah menghitam layaknya air selokan. Sampah-sampah menumpuk, tak mengalir, tertahan di atas air yang pekat. Entah bagaimana jadinya jika musim hujan tiba, apakah air sungai akan mengalir atau tetap saja menggenang disana.
Dibandingkan di kota, ternyata sungai di daerah perkampungan jauh lebih asri dan bersih. Setidaknya masyarakat masih bisa memanfaatkannya untuk mencuci pakaian, mandi, belajar berenang, memandikan hewan peliharaan, atau bahkan buang air. Ya, tentunya air sungai masih mengalir sebagaimana mestinya. Batu-batu di dasar sungai masih bisa kelihatan sangat jelas. Malah terkadang anak-anak kecil masih sering berburu “tak jelas” hewan-hewan air disana.
Tak heran jika orang-orang dari daerah pedesaan maupun perkampungan mahir berenang. Mungkin, kebanyakan waktu kecilnya dihabiskan dengan bermain air di sungai. Tapi saya malah tidak tahu berenang, karena memang jarang menghabiskan waktu berenang di bantaran sungai.
Saking hobinya anak-anak kecil berenang di sungai, pernah suatu ketika nyaris separuh teman laki-laki kelas saya di sekolah dasar (SD) kena hukuman. Bagaimana tidak, menjelang jam pelajaran berikutnya, teman-teman saya malah berlomba-lomba ke sungai yang tak begitu jauh dari sekolah. Apa lagi kalau bukan untuk berenang sekaligus mandi-mandi. Tepat ketika jam pelajaran olahraga usai. Hanya saya dan seorang teman saya yang tidak kebagian hukuman, karena memang tidak ikut-ikutan ke sungai yang kala itu cukup deras.
Hampir sebagian besar sungai-sungai di kota Makassar ini saya dapati sudah tak “perawan” lagi. Lingkungan perumahan di sekitarnya nampaknya menyumbang pengaruh besar atas pekatnya warna air di permukaannya itu. Mirip oli. Bahkan hanya untuk sekadar mencuci tangan saja orang-orang bakal berpikir seribu kali. Apalagi ditambah dengan bau yang agak menyengat hidung. Sebagian besar para penghuni tanah di sepanjang aliran sungai atau kanal memang orang-orang yang berasal dari golongan bawah. Namun tidak jarang saya mendapati kompleks-kompleks perumahan elit yang bersebelahan dengan pemukiman kumuh itu. Bagaimana sibuknya mereka sehingga nyaris melupakan kepentingan bersama, tentang air sebagai sumber kehidupan dan penghidupan?
Tentu, campur tangan pemerintah juga seharusnya turut andil dalam mengelola kebersihan sungainya. Ada berapa jumlah anggaran yang dialokasikan untuk kebersihan kota, namun nyatanya hanya menyentuh bagian-bagian yang kasat mata saja, seperti jalan dan lingkungan yang memang sering menjadi perhatian publik. Padahal sungai, sebagai salah satu penampung air, sebenarnya cukup butuh perhatian juga. Malah, jangan-jangan salah satu penyebab banjir di kota Makassar ini akibat sungai-sungai yang tak “perawan’ lagi, mungkin.
Setelah mengitari dan memintas jalanan di bantaran sungai itu, saya kemudian melanjutkan gowes di sepanjang jalan ke kampus. Saya kemudian berjumpa dengan salah seorang teman saya. Sambil mengobrol dengannya, ia berjalan kaki - saya bersepeda ringan, saya menemaninya hingga ke sekretariat organisasinya yang tepat berada di belakang lingkungan kampus. Lepas dari sana, saya kemudian kembali ke starting point saya. Yah, perjalanan saya pagi ini berakhir dengan sedikit pemahaman baru... Mari bersepeda!
*Menikmati segelas cappuccino “salah olah” dari teman saya pagi ini. Hmm...rusak deh minuman pagi saya...
--Imam Rahmanto--
2 comments
Sungai rusak itu ternyata nggak hanya terjadi di Jawa yak. Di Makassar, nasib sungai juga sama saja. Miris. Tetiba ingat ulasan majalah dengan edisi Perubahan Wajah Kota. Dengan sampel beberapa kota besar di Jawa, perubahan itu selain memperlihatkan kemajuan, juga jadi terkesan semakin semrawut (termasuk rusak).
BalasHapusEh, kayaknya kenal sepedanya deh. Polygon Premier 4.0 :D
@Dian Kurniati: Memang benar (dua-duanya): sungai di Makassar dan sepedanya juga. Hehehe....
BalasHapus