Tuhan, Apa Betul Saya Sedang Sibuk?
Januari 15, 2013Baca Juga
(www.profesi--unm.com) |
Saya menyelesaikannya beberapa hari yang lalu (belum genap seminggu). Kesibukan (baca: rutinitas, saya tidak suka menyebutkan "sibuk") saya beberapa minggu belakangan sedikit membuat saya agak jenuh. Saya rindu dengan masa-masa saya bisa membaca satu-dua buku seminggu. Masa-masa ketika saya menyisihkan sebagian uang saku (atau penghasilan sampingan) tiap bulannya untuk membeli sebuah buku bacaan, saya juga merindukannya. Kini, saya hanya bisa meminjam buku dari perpustakaan, baik perpusda maupun perpus-redaksi.
Judulnya Tuhan Maaf Kami Sedang Sibuk, sebenarnya telah lama melekat dalam ingatan saya. Pernah suatu ketika saya membaca sebuah ulasan buku dan menemukannya sebagai salah satu buku yang rekomendasi wajib dibaca. Menurut informasi yang saya dapatkan, buku ini termasuk Best Seller. Dan taraa.....akhirnya saya menemukannya tersimpan rapi (dan masih wewangian khas "baru") di lemari perpustakaan redaksi saya. "Mungkin masih belum ada yang membacanya," pikir saya.
Saya agak tergelitik membaca buku ini. Buku yang ditulis oleh Ahmad Rifai Rifan ini sedikit merefleksikan keseharian saya. Rutinitas yang sedikit mengganggu kehidupan saya. Rutinitas yang kenyataannya semakin menjauhkan saya dari Sang Pencipta. Tak bisa dipungkiri, semakin berjalannya waktu, saya semakin jauh dari-Nya. Rutinitas yang sedikit banyak selalu minta dikambinghitamkan. Agak pelik.
Penulis yang hanya terpaut usia sekitar 3 tahun lebih dari saya benar-benar menghadirkan buku yang cukup menarik untuk menjadi bahan bacaan. Jujur, saya senang membacanya. Bahasa-bahasa dan cara bertutur penulis tidak menggurui saya sebagai seorang mahasiswa. Ia pandai menempatkan bahasa-bahasa "tak resmi" untuk menarik perhatian pembacanya, yang mungkin lebih banyak dikhususkan kepada "kaum berdasi". Akan tetapi, saya pun tetap suka menikmatinya, apalagi jika sudah berkorelasi dengan motivasi-motivasi untuk keseharian saya.
Dikarenakan saya juga tidak begitu suka membaca buku-buku Islami yang agak kolot menempatkan ayat suci Alquran ke dalam bahan bacaan, maka untuk buku yang satu ini benar-benar menjadi rekomendasi saya. Di dalamnya memang banyak berisi tuntunan berupa hadits ayat Alquran yang mendukung tulisan-tulisan berkaitan, akan tetapi penulis tidak lantas "menempelkan" beragam ayat-ayat tersebut dalam model bahasa Arab (seperti yang sering kita jumpai dalam buku-buku bergenre Islami). Interest! Oleh karena itu, saya lantas tertarik membaca isi keseluruhan buku ini. :)
Selain itu, buku ini menyelipkan banyak kisah-kisah unik yang bisa membuat kita tidak merasa jenuh membacanya. Kisah yang unik namun sarat makna. Terkadang untuk belajar, kita butuh pengalaman untuk merefleksikannya.
Tanpa endorsement yang mendukung kelengkapan buku best seller pun buku ini patut untuk dibaca. Yakin deh, isinya akan menggugah siapa saja. Teringat ketika saya sempat meletakkannya di sembarang tempat, belum usai saya baca; seorang teman berkomentar keesokan harinya;
"Buku itu benar-benar mengubah pikiran kita ketika membacanya. Saya saja yang belum seperempat halaman membacanya sudah merasa terketuk untuk mengikuti buku itu. Tiba-tiba saja saya rasanya ingin shalat," tuturnya benar-benar sumringah. "Entahlah bagaimana jadinya jika saya membaca buku itu sampai habis," lanjutnya lagi.
Meskipun butuh empat-lima hari untuk menyelesaikan bacaan ini (karena rutinitas), namun akhirnya buku ini memberikan gambaran yang benar-benar realistis mengenai kesibukan itu sendiri. Saya kemudian tergelitik, apakah selama ini saya benar-benar sibuk (atau hanya merasa sibuk) hanya untuk sekadar menunaikan kewajiban sebagai seorang Muslim? Who knows..
*****
...Benar memang nurani senantiasa membisikkan kebenaran. Tetapi mengapa ada orang yang begitu tenang setelah melakukan perbuatan dosa? Mengapa ada orang yang tidak dirundung rasa bersalah setelah melakukan kemaksiatan? Apakah nuraninya sudah tidak lagi membisikkan kebenaran? Apakah nurani sudah tak lagi berontak saat raga yang dipimpinnya melakukan perbuatan buruk?Bukan! Nurani akan selalu menyuarakan kebenaran. Tetapi ketika noktah dosa telah menebal, ia akan menutup rapat dinding nurani, sehingga suara kebenaran yang dikeluarkan oleh nurani tak lagi jelas terdengar. Akibatnya, si pelaku dosa dengan santainya menikmati perbuatan buruknya, tak lagi memiliki rasa berdosa.
..."Yang paling aku takutkan ialah keakraban hati dengan kemungkaran dan dosa. Jika kedurhakaan berulang kali dikerjakan, jiwa menjadi akrab dengannya hingga ia tak lagi peka, mati rasa,"
*****
Percaya atau tidak, buku ini benar-benar menggugah hati nurani kita. It's recommended for you.
--Imam Rahmanto--
2 comments
Subhanallah,alhamdulillah ana juga begitu bnyak memperoleh ilmu stelah baca buku itu. :)
BalasHapusDindin-Bandung.
@Dindin Ahmad Semoga ilmunya bisa dibagi ya, mas... :D
BalasHapus