Hujan Awal Tahun (2013)

Januari 02, 2013

Baca Juga


Saya berjalan sendirian pagi ini. Di bawah sisa-sisa hujan yang mungkin sedang mengumpulkan energi barunya untuk turun lagi. Saya baru saja pulang dari kampus menunaikan tugas sebagai mahasiswa. Ujian Final. Yah, meskipun tak satu dari nomor soal ujian yang berhasil saya jawab. Hanya 3 nomor, dan kesemuanya resmi tak terisi di lembar jawaban saya. Malang.

Cukup menyenangkan membiarkan kepala disirami oleh bulir-bulir halus air hujan itu. Merenung dan berpikir di tengah rinai-rinai hujan nampaknya memberi kedamaian tersendiri bagi perasaan saya. Mumpung belum hujan deras lagi.

Saya memandangi lalu lalang kendaraan yang melaju di atas jalan raya. Mereka beradu dengan arah hujan yang tempias di wajah pengendara motor. Sesekali laju kendaraan itu menciptakan cipratan-cipratan air yang lepas kendali ke pinggir jalan raya. Saya pun mesti berhati-hati jika tak ingin terkena piasnya.

Hujan. Sudah dua hari ini di awal Januari, awal tahun 2013, mengguyur seisi kota Makassar. Hujan tak henti-hentinya menjadi pokok pembicaraan orang-orang di sepanjang jalan. Di depan warung, di depan rumah, atau orang-orang yang sedang berpayung di bawah jujan. Ya, tentunya sebagian besar mengeluh perkara hujan. Hujan yang menggenangi nyaris separuh kota Makassar. Bahkan, mungkin menggenangi pekarangan-pekarangan rumah mereka.

Sebenarnya, tidak berbeda dengan kondisi pondokan saya. Air membanjiri lorong-lorong kompleks sampai setinggi betis kaki orang dewasa. Pagi tadi, ketika saya mengecek kesana, kamar saya telah terendam air. Malang. Beruntung barang-barang saya masih selamat, khususnya buku-buku saya. Jauh hari saya sudah selalu mepersiapkan diri.

Dua hari ini, saya nyaris tak bisa kemana-mana. Hujan dimana-mana. Di tivi-tivi diberitakan banjir juga melanda jalan-jalan protokol. Kendaraan-kendaraan yang tidak "kuat mental" berguguran mogok satu persatu. Headline koran pagi ini pun membahas tentang "banjir". Baru berselang satu hari orang-orang ramai merayakan tahun baru di luar rumah, berganti dengan hujan yang mengguyur menghalang-halangi orang dari beraktivitas di luar rumah.

Saya sendiri heran, bagaimana hujan mengguyur tak henti-hentinya. Berhenti pun, masih tetap mencurahkan hujan-hujan halusnya. Sama sekali tak memberi kesempatan untuk matahari bersinar terik. Entah persediaan air dari mana yang dicurahkan Tuhan dalam dua hari ini.

Saya tak mungkin mengeluh, apalagi menyalahkan hujan. Bukan salahnya ketika banjir ada dimana-mana. Bukan salahnya pula jika penjaja minuman dingin mengalami kerugian. Malah, saya suka ketika hujan turun. Ada kehangatan ketika ia tercurah. Kesempatan untuk lebih meresapi kehangatan alam lebih terbuka. Coba duduk-duduk di teras rumah sambil menikmati minuman panas memandangi hujan. Lagipula, dengan hujan, sedikit menghilangkan kegerahan juga dari suhu mencak-mencak kota Makassar.

Hanya hujan. Saya kali ini hanya berbicara tentangnya. Berjalan di tengah-tengahnya membuat saya banyak memikirkan tentang hujan. Hujan. Hujan. Dan hujan. Orang-orang yang saya temui pun lebih banyak menyapa dalam bahasa "hujan". "Kenapa ya hujan tak berhenti?" ucap mereka membuka setiap sapa. Saya hanya ikut berbicara tentang hujan.

Sambil melindungi diri dari percikan-percikan kendaraan yang melintas, saya memasukkan tangan ke dalam saku jaket (pinjaman) saya. Sedikit agak hangat dibanding membiarkannya di luar.

Setengah perjalanan saya sepulang kampus, seorang teman yang mengendarai motor menghampiri sembari menawari saya tumpangan. Akh, saya harus mengakhiri perjalanan "kaki" saya pagi ini. "Saya sebenarnya masih mau menikmatimu, hujan. Tapi untuk kali ini biarlah sampai disini dulu..." gumam saya dalam hati.



--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments