Bermain dan Membaca
![]() |
Foto: Silvi |
Foto ini diambil beberapa jam sebelum Arunika membuat kedua orang tuanya panik.
Arunika menggores wajah dengan gelang yang melingkar di tangannya. Darah merembes. Tangisannya nyaring melengking.
Beruntung, semua masih terkendali. Arunika baik-baik saja dan masih bisa tertawa dengan "cilukba" garing dari saya.
Foto di atas hanya "pose kebetulan" ketika saya mengajak Arunika bermain.
Usia yang baru menginjak bulan kelima belum bisa diajak berdiskusi tentang cerita-cerita keluarga Bobo atau Oki dan Nirmala.
Kelak, Arunika harus bisa membaca. Tidak cuma membaca status WhatsApp maupun timeline Instagram dan TikTok.
Namun, membaca yang sebenar-benarnya menggerakkan alam pikiran dan imajinasi.
Arunika harus tahu kalau ayahnya dulu bersusah payah untuk sekadar membeli selembar majalah Bobo. Saya harus mengumpulkan upah dari membantu bapak menjual es teler di Pasar Sudu, tiap Selasa dan Jumat.
Biarpun sulit, toh, saya akhirnya tetap bisa mengumpulkan puluhan majalah Bobo.
Majalah-majalah itu jadi koleksi kebanggaan saya meskipun bapak dan ibu geleng-geleng kepala. Karena buat mereka, isinya cuma cerita-cerita khayalan. Lebih parahnya lagi: menghabiskan uang jajan setiap minggu.
Kelak, saya takkan melarang Arunika untuk membeli buku-buku kesukaannya. Kalau perlu, saya sendiri yang akan menemaninya berburu buku ke Gramedia.
Arunika boleh memilih bacaannya sendiri. Tak perlu terlihat keren dengan langsung disodori Bumi Manusia, Dunia Sophie, atau Madilog.
Memulai dari novel Tere Liye, Doraemon, Crayon Sinchan, Miiko, atau Naruto sekalipun tidak masalah.
Karena seperti kata mbak Najwa Shihab,
"Cuma perlu satu buku untuk jatuh cinta pada membaca. Cari buku itu. Mari jatuh cinta."
![]() |
Foto: Silvi |
[Imam Rahmanto]
0 Comments