­

Menolak Titel Pak

by - November 30, 2024

"Atas nama Pak Imam?" 

Seorang perawat keluar dari ruang tindakan RS dan menyerukan nama saya. 

Saya menyahut begitu saja. Sudah beberapa jam lamanya, nama saya bolak-balik dipanggil.

Meski sebenarnya saya masih agak risih dipanggil dengan menyertakan "Pak". Saya masih berusaha denial telah menjadi setua itu. Saya belum tua!

Perawat meminta saya ikut ke dalam ruangan. Saya mengekor saja dengan menyimpan rasa penasaran. Jantung berdebar. Deg-degan. Segalanya menjadi kikuk di hadapan dokter dan rumah sakit. Apalagi, saya belum pernah berhadapan dengan momen seperti ini. 

Setelah mengisi sedikit form, saya diajak masuk ke dalam salah satu ruangan. Palang pintunya bertuliskan NICU. Saya cukup familiar dengan ruangan semacam ini, karena kebiasaan menonton film dan FTV di zaman sekolah dulu.

"Nah, ini bayinya, Pak. Bisa dilihat sekarang," ujar perawat, yang langsung menunjuk salah satu boks.



Yah, kata perawatnya, itu bayi saya. Bayi saya...

Hanya dengan melihat bayi mungil itu, lidah saya kelu. Perasaan bercampur aduk. 

"Apakah saya sudah menjadi seorang bapak?"

"Beginikah rasanya melihat anak sendiri?"

"Selanjutnya, apa yang harus saya lakukan?"

Segala pikiran itu berkelindan. 

Namun, sosok bayi mungil itu sedang terjaga di dalamnya. Tak ada suara meraung-raung. Padahal, di dalam ruangan itu sedang ramai "paduan suara" tangisan bayi.  

Bayi mungil di depan saya malah hanya terdiam. Mata sipitnya berusaha mengikuti wajah saya yang sedang tersenyum semringah.

"Halo, dede..," 

Saya nyaris gagal membendung air mata. Lidah saya terasa kelu sekadar menyapa bayi polos itu.

Sesaat, pikiran saya memutar perjalanan yang telah lalu. Tentang ketakutan, keraguan, ketidakpercayaan, kesulitan, hingga tentang masa depan yang tak menentu.

Mengingat itu, sedikit lagi air mata saya tumpah. Saat saya melafalkan azan buatnya, lidah tercekat di salah satu lafaz, karena menahan tangis.

Beruntung masih ada perawat tadi, yang membuat saya malu untuk menangis sesenggukan.

***

Kata orang, melahirkan itu harus penuh persiapan dan perencanaan. Minimal, persiapan bayi telah terpenuhi. Paling top kalau finansial sudah matang.

Akan tetapi, kalau normanya seperti ini, tampaknya hanya orang-orang kaya dan berduit yang bebas memiliki anak, ya? Sementara kalangan pekerja dengan gaji mentok UMR harus menunggu bertahun-tahun agar bisa menimang anaknya sendiri.

Kita tak perlu menghakimi orang-orang yang bersalin tanpa persiapan materi maupun finansial. 

Mereka mungkin hanyalah korban-korban kemiskinan struktural yang dibentuk negeri ini. Sekeras apapun mereka banting tulang, penghasilan mereka takkan bisa melampaui usaha Raffi Ahmad meski bangkrut dan memulai dari nol lagi. 

Pun, sama halnya dengan menikah. Saya tak ingin mengatakan kalimat klise, "Nanti ada rejekinya." 

Toh, saya bukan orang yang sepenuhnya mempercayai nasihat itu. Akan tetapi, satu hal yang selalu saya percaya: tekad yang membuat kuat. 

Kita tak perlu mencari jalan yang mudah. Pun, berdoa tak perlu minta segalanya, apa yang akan kita lalui, agar dimudahkan. 

Jauh lebih penting adalah dikuatkan atau menjadi kuat. Tak peduli jalur terjal yang akan dilalui. Selama bisa menjadi pribadi yang kuat, yakin bisa melaluinya. Bisa jadi, kemudahan akan mengekor di belakangnya. Sementara persoalan rejeki adalah bonus keajaiban.

***

Ternyata, saya tak lagi muda. 

Saya sepertinya mulai bisa memaklumi panggilan "Pak" di depan nama saya.

Saya semakin menyadarinya ketika mulai bersahabat dengan harga susu formula, harga popok, baju anak yang mungil-mungil tapi mahal, belajar menimang bayi, hingga bangun tengah malam untuk menidurkannya yang sedang rewel. Bahkan, di suatu momen, saya cukup tersentak ketika mendapati segala atribut maupun perabot dengan tambahan tulisan "baby" juga ikut mempengaruhi fluktuasi harga. 

Dan pengalaman-pengalaman bapak-bapak orang dewasa itu, mau tidak mau, telah saya jalani selama dua minggu terakhir, sejak Senin, 18 November 2024

Entah saya akan bersahabat dengan "apa" lagi di waktu-waktu mendatang. 

Namun, tak apalah saya dipanggil dengan menyematkan "Pak" di depan nama. 

Toh, saya memang telah menjadi "bapak" dari seorang anak cantik bernama... Arunika. 

Tidakkah aku begitu lucu?



--Imam Rahmanto--

You May Also Like

0 Comments