Belum Sampai Ke Mana-mana
Agustus 16, 2020Baca Juga
Hujan senang sekali bertandang ke Bogor selama beberapa hari terakhir. Kegembiraannya terasa benar dari caranya menimpa atap-atap rumah. Pohon-pohon yang nyaris ditumbangkan. Hingga sungai-sungai yang kadang kala meluap dan membuat para penduduk di sekitarnya waswas.
"Apa kabar?" sapa hujan lewat ujung rinainya, yang mereda hanya dalam hitungan jam. Barangkali, ia tak ingin kehilangan bayangan di tengah pandemi Covid-19 yang mulai mengalihkan pikiran setiap orang.
Saya masih tetap dengan rutinitas berkala; menulis berita. Pikiran saya terombang-ambing antara "hendak menghubungi dan mengunjungi siapa hari ini" dan "berita apa untuk esok hari". Keduanya berkorelasi sangat intens. Tanpa keduanya, pekerjaan saya hanya akan menjadi tulisan-tulisan lepas tanpa alamat. Yah, seperti di rumah ini.
Akan tetapi, sesibuk-sibuknya saya meramu banyak berita, saya akan selalu rindu menuangkan segala cerita dengan cara seperti ini. Sudah lama rasanya tidak meluapkan banyak hal di sini.
"Tumben, kamu kembali."
Bogor dan seisinya benar-benar menguras sebagian besar sisi kehidupan saya. Tak hanya soal pekerjaan. Karena pada kenyataannya, saya lebih menikmati sisi lain di luar pekerjaan itu. Saya ingin mengunjungi banyak tempat. Mengenal teman-teman baru. Mencicipi kuliner khas. Atau menatap langit dari atas puncak bukit yang berbeda.
Akan tetapi, saya banyak terkurung dalam lingkaran rutinitas. Waktu luang saya lebih banyak menjajal kedai-kedai kopi atau kafe baru. Itupun mencuri waktu di sela pekerjaan. Berpetualang dari satu gelas ke gelas lainnya. Menyendiri ataupun mengajak seorang, dua, atau tiga teman. Selebihnya, saya masih menyimpan banyak harapan untuk menuntaskan rasa "keingintahuan" itu.
"Kamu betah di situ?" seorang teman, lewat telepon, sempat menanyakan kabar.
Katanya, ia sedang butuh menelepon semua teman meski hanya menjadi percakapan satu-dua menit. Yah, kadang kala pekerjaan dan hidup yang terburu-buru bisa membuat kita menjadi gila.
Saya sedang melihat-lihat tanaman di sebuah kios saat teleponnya berdering. Tak biasanya. Karena percakapan kami biasanya banyak terbuang melalui grup Whatsapp.
"Hmm....gimana ya. Betah atau gak betah relatif sih," jawab saya.
Ini merupakan hari ke-230 saya menjalani kehidupan di Kota Bogor. Tak ada peningkatan yang signifikan atas profit atau profesi saya. Tetap saja, saya menjadi pekerja yang selalu waswas di akhir bulan. Tetap saja, saya tak bisa menyisihkan uang untuk tabungan masa depan. Tetap saja, saya menjadi anak sulung yang menanggung semuanya. Yang berbeda hanya lingkungan dimana saya berada.
Lagipula, saya tak punya pilihan lain jika harus menganggap "tak betah" di tempat ini. Belum ada pilihan. Jalan satu-satunya adalah dengan menikmati apa yang sudah ada. Kata orang, bersyukur.
Karena sebenar-benar tujuan hidup bukan soal seperti apa hasil akhirnya. Tujuan hidup sejati adalah tetap menjalaninya, seberapa pun terjal jalannya, seberapa pun berkali-kali kita dijatuhkan.
Kita boleh berhenti sejenak. Hanya untuk istirahat. Setelah itu melanjutkan kembali perjalanan meskipun tetap tak terbayang bagaimana hasil akhirnya. Karena ketika kita memilih untuk berhenti, tidak melanjutkan perjalanan itu lagi, itulah sebenar-benarnya kita tidak punya tujuan hidup.
***
Saya sedang mengamati Monstera dan Pepperomia mini kala perbincangan itu berlangsung. Saya terpaksa memasang earphone agar tangan bebas mengangkat tanaman itu. Sesekali menanyakan kepada penjual kisaran harganya.
Bagaimanapun, ia paham. Karena lewat grup Whatsapp kami, ia sempat menyampaikan opsi pekerjaan barunya. Barangkali, ia cuma butuh teman bicara sembari menimbang-nimbang pekerjaan barunya itu. Yah, tak bisa dipungkiri, pekerjaan menjadi hal krusial bagi orang-orang di usia kami. Tak mudah mencari pekerjaan baru ketika usiamu telah melewati seperempat abad.
"Que sera, sera. Whatever will be, will be," saya teringat dengan mantra lawas yang baru beberapa hari terakhir melintas di timeline media sosial.
Saya juga merasa kota ini akan menjadi puzzle penting dalam cerita kehidupan saya kelak. Bogor serasa kampung halaman dengan nuansa yang berbeda. Enrekang versi upgrade dan lebih modern. Sawah, hijau, bukit, gunung, sungai, air terjun, minus pantai adalah segala manifestasi Bumi Massenrempulu. Itu pula yang membuat Enrekang selalu menawan dan tampak perawan. Nah kan, saya jadi rindu.
"Oiya, weekend ini aku mau hiking ke Bogor sama temen-temen loh,"
Nah, kan. Salah satu keistimewaan Bogor yang belum pernah saya coba sampai detik ini. Sial. []
Kesenangan baru di tengah pandemi. (Imam Rahmanto) |
--Imam Rahmanto--
0 comments