Perlu Aman agar Nyaman

September 30, 2020

Baca Juga

Ikhsan harus memeriksakan dirinya ke dokter. Demamnya tak turun-turun. Sudah dua hari semenjak ia mengunjungi pasar di daerahnya. Jantungnya berdebar-debar. Napasnya tak beraturan.

Pikirannya melanglang buana ke berita-berita yang ada di televisi. Bahkan, timeline media sosialnya juga terus-terusan membahas hal yang sama. Ia terpaksa membatalkan banyak janji temu dan nongkrong karena bayang-bayang virus berbahaya. Yah, apalagi kalau bukan Covid-19. 

"Kan, cuma jalan-jalan. Masa bisa sampai kena penyakit itu," sesalnya, yang sedang menemani kekasihnya waktu itu.

Ketakutan itu telanjur menjalari seluruh tubuhnya dan membuatnya tak bisa tidur semalaman. Ia tak nyaman karena overthinking. Berbagai "jangan-jangan..." menghantui pikirannya. Ketakutan yang justru bisa berimbas pada pertahanan tubuhnya...

***

Kejadian yang menimpa Ikhsan seharusnya tak perlu menjadi ketakutan berlebihan. Seandainya ia mau sedikit bergeser ke arah utara Kota Bogor, pusat perbelanjaan modern sudah lebih ketat dalam menerapkan standar protokol kesehatannya. 

Beberapa kali, saya juga telah menyambangi Cibinong City Mall (CCM). Sekali waktu, urusan pekerjaan. Di waktu lainnya, sekadar nongkrong bersama teman di salah satu sudut gerai kopi, menikmati obrolan tentang hidup dan kisah asmara. 

Dan tahu tidak, siapa pun bisa mondar-mandir seharian di mal kebanggaan warga Kabupaten Bogor itu. Nyaman karena aman.

Kok bisa?

Mungkin, seperti wanita, dia akan merasa nyaman berada di sisi lelaki yang selalu membuatnya aman. Entah itu aman secara finansial, aman secara perlindungan, atau aman karena ia yakin perasaannya tak akan kemana-mana. Ehem.

Begini...

Baru masuk ke area parkiran CCM, keamanan pengunjungnya sudah jadi prioritas. Seperti saya, yang tak perlu menyentuh tombol tiket di dekat portal. Hanya perlu mendekatkan telapak tangan ke arah sensor. Dalam hitungan sepersekian detik, tiket akan keluar tanpa perlu gonta-ganti jempol di atas tombol. 

Bagi saya, manajemen CCM tampaknya memang sudah cukup sigap menyikapi pandemi. Bukankah virus global itu bisa menyergap di mana saja melalui sentuhan yang sama? Makanya semua sudut dan sisi mal selalu dibersihkan. 

Dalam sehari, kata teman saya (yang selalu direpotkan wartawan), bahkan bisa sampai 2-3 kali penyemprotan disinfektan. Lapak atau gerai modern, lift, sampai pegangan eskalator kena semprot. Maksudnya, semprotan disinfektan, bukan semprotan amarah

Kita juga akan berjumpa dengan "disinfektan" lain di pintu masuk mal. Ukur suhu, mencuci tangan, hingga hand sanitizer sebetulnya menjadi protokol kesehatan yang sudah lazim di masa pandemi seperti ini. Pun, saya sudah sering menemui protokol itu di lingkungan perkantoran resmi atau pemerintaham. Hanya saja, CCM berupaya menandai para pengunjung yang memasuki areanya dengan sebuah stiker khusus. Biasanya akan ditempel di pakaian. Bukan di jidat.

"Protokol kesehatan memang selalu diperketat, biar tidak ada klaster baru dari pusat perbelanjaan. Kita menjaga diri dari hal seperti itu," teman itu berulang-ulang mengucapkan "janji" yang sama di semua media dan momen wawancara.

Barangkali, pernyataan itu memang bukan janji manis seperti halnya alibi para politikus kita. Toh, pada kenyataannya, keramaian di dalam mal juga benar-benar sangat berkurang. Saya tak perlu takut berlama-lama dan berjalan dari tenant satu ke tenant yang lain. Cuci mata juga sepuasnya. Kepadatan itu memang sudah disesuaikan dengan aturan dari pemerintah daerah. Kalau tidak, bisa kena sidak.

Saya juga bisa mampir di salah satu tenant favorit saya, Gramedia, dengan perasaan nyaman. Apalagi, saya sudah lama mengincar beberapa judul buku. 

Semenjak menginjakkan kaki di Bogor, saya belum mengoleksi satu pun buku. Padahal, buku selalu menjadi "investasi" rutin, setiap bulan. Saya tak peduli apakah langsung membacanya atau hanya mengumpulkannya dalam tumpukan-tumpukan baru di dalam rak. Saya percaya, investasi itu akan bermanfaat untuk anak-cucu kelak.

Hidung saya juga sudah telanjur peka dengan aroma buku. Saya akan mencari toko buku pertama kali setiap menyambangi mal, termasuk CCM. Beruntung, buku-buku di CCM itu terbilang cukup lengkap. Buktinya, sekuel anyar novel 5cm karya Donny Dhirgantoro bisa saya bawa pulang dari sana. Saya sekaligus menjadikannya sebagai investasi pertama selama tahun 2020 ini. Akh, parah. Besok-besok harus belanja buku lagi.

"Kalau mau cari berbagai jenis buku, main ke Pasar Senen, Jakarta," teman lain sempat mengajukan usul. 

Sayangnya, saya tolak mentah-mentah karena kondisi pandemi yang sungguh parah di ibu kota negara itu. Saya harus aware dengan diri sendiri atau orang lain. Lagipula, saya sudah punya toko buku tujuan jika ingin menambah koleksi yang lainnya. Aman bikin nyaman. Ehem.

"What drains your spirit drains your body. What fuels your spirit fuels your body." [Carolyn Myss, Anatomy of the Spirit]

***

Sepulang dari memborong buku, seorang  security berjalan dari arah yang berlawanan. Meski sedikit kabur, tampak matanya memandangi saya. Ia juga langsung menyapa dengan gestur yang cukup familiar. 

"Maaf, Pak. Maskernya tolong dipakai," ujarnya.

Nah, kan! 

Sudah saya bilang, penjagaan mereka sungguh ketat. Saya langsung menyorong naik masker yang sedari tadi berada di bawah dagu. 

Atau barangkali saya kelewat terlena dengan dua buku baru di tangan?

This is it! (Imam Rahmanto)



--Imam Rahmanto--


You Might Also Like

0 comments