Anak-anak di Sebelah Rumah

April 12, 2020

Baca Juga

Dari depan kamar. (Imam Rahmanto)

Bogor tak diguyur hujan hari ini. Padahal, awan hitam sedang bergumul di atas langit sana. Barangkali, hujan hanya datang dalam tempo hitungan genap. Dua hari hujan. Dua harinya lagi menyiapkan bahan-bahannya dengan bantuan terang matahari.

"Angkat lagi! Angkat lagi atuh!" Suara anak-anak di pematang sawah sedang bermain dengan layangan.

Mereka tak pernah peduli dengan wabah Virus Corona (Covid-19) yang menyandera kota ini. Beberapa hari lagi, aturan ketat akan diberlakukan untuk warga. Se-Jabodetabek telah ditandai sebagai zona paling berbahaya. Tak ketinggalan, kota ini yanh sempat memvonis sang Wali Kota positif terjangkit wabah itu. Teror, seketika menyerang penjuru kota.

Beruntungnya, teror semacam itu tak pernah sampai di kepala anak-anak kecil. Seperti saya di masa kecil dahulu, yang hanya takut dengan sesuatu yang lebih menyeramkan; hantu. Beranjak dewasa, kenapa justru berbalik?

Di tempat saya ini, tak banyak pilihan untuk bermain. Kamar kontrakan saya berada di jejeran pemukiman sederhana penduduk. Tak begitu kumuh. Tak begitu mewah. Hanya saja, perumahan elit tetap membatasi diri dengan dinding-dinding tingginya. Saya kerap menyusuri pinggiran dinding itu saat masih berjalan kaki, dua bulan terakhir.

Beberapa petak sawah menunjukkan padi yang sudah tumbuh meninggi. Barangkali, sebentar lagi akan menguning. Anak-anak mengulur benang layangan dari pinggir sawah itu. Sebagian lagi berlari-lari di atas tanggul kecil untuk memastikan layangannya bisa terbang lebih tinggi.

Saya hanya melintas di jalan menuju rumah indekos. Meski begitu, hanya menyaksikan pemandangan langka itu sudah bisa menerbitkan segaris senyum di bibir saya. Memori tiba-tiba menawarkan pengalaman masa kecil yang juga nyaris serupa. Bayangan saya berada di antara kaki-kaki kecil mereka yang berlari tanpa beban. Bahkan, tanpa alas kaki.

Bagi anak-anak itu, tak ada cara lain untuk membunuh waktu di tengah musim "libur dadakan" ini, bukan? Covid-19 terlalu menyita seluruh perhatian orang tua dan orang-orang dewasa. Sebagian jalan-jalan setapak kami juga sudah dihadang dengan portal kayu karena khawatir wabah itu sampai di pemukiman. Kayu-kayu yang melintang itu seolah menjadi alarm dalam kepala polos mereka, "Orang dewasa terlalu serius."

Pada hari yang lain, saya sempat menyaksikan anak-anak di pemukiman ini bermain di sela-sela parit rumah. Suara mereka lantang memanggil nama satu sama lain. Saya lupa apa yang dibicarakan. Salah satu dari mereka menarik-narik yang lain. Mengajak mencari sesuatu. Berebutan tanpa maksud untuk berkelahi. Sungguh, pemandangan yang menyejukkan di tengah pandemi wabah yang mengurung langkah kaki.

Saya sedang tak bekerja di lapangan. Sejak wabah menyerang wali kota, media tempat saya bekerja pun dibebaskan dari kewajiban turun ke lapangan. Hanya beberapa liputan penting yang masih butuh kehadiran kami sebagai pewarta. Selebihnya, saya lebih senang duduk-duduk di depan teras kamar, menyeduh kopi, mengubek bahan untuk naskah dari perangkat smartphone. Selepasnya pula, saya akan memasang playlist dan menamatkan bacaan. Bonusnya, saya bisa melihat anak-anak yang riang hati di sore hari.

Bolehkah saya bergabung dengan kalian?

"Ingat umur, Kak," kata seorang teman.

Sejatinya, umur tak pernah menjadi batasan bagi pikiran atau jiwa seseorang. Tubuh memang terus menua, tetapi batin ingin terus tertawa-tawa.

Saya masih bisa melihat beberapa layangan mengudara dari teras depan kamar lantai dua. Meliuk-liuk diterpa angin. Menantang arah angin. Seperti kita, manusia, yang seharusnya bisa benar-benar hidup dengan menantang arus. Yah, menantang seperlunya. []


~Bogor, 12 April 2020

You Might Also Like

0 comments