Langkah-langkah
Maret 11, 2020Baca Juga
Seorang petani sedang menanami lahannya. Kakinya penuh lumpur. Benih padi baru saja tumbuh. Ia akhirnya punya kesempatan kembali menanami lahannya yang hanya tersisa beberapa petak itu.
Saya sering melihat dua sawah, kiri-kanan, setiap kali masuk di jalan menuju indekos. Memang, jarak jalan raya agak jauh dari lokasi indekos saya. Butuh satu lagu di telinga untuk melangkah hingga ke jalan utama. Pun, ketika diantarkan teman, saya belum tega memintanya masuk hingga ke depan indekos.
Entah sudah berapa langkah saya habiskan di kota ini. Semenjak tak ada lagi tebengan dari anak magang - karena waktunya telah selesai, saya kembali berkutat dengan kesendirian. Berjalan kaki is my way. Sesekali mencoba kembali rasanya naik angkot. Namun, saya lebih sering menumpang ojol.
Dari langkah-langkah itu, saya merasa semua hal berjalan begitu lambat. Apalagi ketika saya memasang earphone dengan musik di playlist. Kehidupan seolah-olah menjadi sebuah layar lebar. Suara di dalam telinga secara otomatis menjadi backsong.
Saya pernah suatu kali berjalan kaki sendirian di atas trotoar. Tangan dimasukkan di dalam saku jaket. Lagu mengiringi langkah saya menuju lokasi berikutnya. Karena jaraknya tidak begitu jauh, saya memutuskan mengambil langkah pertama.
Tepat ketika lewat di depan toko bunga, lagu Lemonade tetiba mengalun. Entah kenapa, saya langsung sumringah. Tersenyum begitu saja. Seolah-olah, lagi itu menggambarkan perasaan yang diliputi toko-toko bunga di sepanjang trotoar itu.
Seandainya seperti di film-film, barangkali saya akan menari-nari, mengambil setangkai, mencium aromanya, dan memberikan kepada siapa saja perempuan yang melintas pada saat itu juga.
Sayangnya, saya masih berada di dunia nyata. Orang-orang akan menganggap saya tak waras jika nekat melakukan hal itu. Syukur-syukur tak "dideportasi" ke kampung halaman.
Saya sedikit menyenangi berjalan kaki. Yah, bisa dibilang memaksakan diri juga. Kalau punya motor, tentu akan menghabiskan lebih banyak di atas jok. Lagipula, kota ini punya banyak trotoar yang memanjakan pejalan kaki. Lebar dan rindang.
Untuk beberapa momen, kehidupan memang terasa lebih lambat dengan berjalan kaki. Ingatan menjadi lebih tajam. Saya tidak sedang berkejaran dengan waktu. Detail-detail apa pun akan terlihat begitu jelas dan spesifik.
Pedagang siomay yang mendorong gerobaknya. Sopir-sopir angkot yang bertransaksi dengan penumpangnya. Ibu-ibu yang merapatkan tasnya di pinggir jalan. Anak sekolah yang baru pulang. Orang-orang dewasa yang menghabiskan waktu dengan memancing. Pohon yang rindang. Suara-suara yang menggema.
Seketika, semua berjalan begitu lambat. Ya, lambat sekali. Saya sebenarnya lupa, ingin menceritakan apa di sepanjang langkah kaki kota ini. Sudahlah. Kapan-kapan. []
Saya sering melihat dua sawah, kiri-kanan, setiap kali masuk di jalan menuju indekos. Memang, jarak jalan raya agak jauh dari lokasi indekos saya. Butuh satu lagu di telinga untuk melangkah hingga ke jalan utama. Pun, ketika diantarkan teman, saya belum tega memintanya masuk hingga ke depan indekos.
Entah sudah berapa langkah saya habiskan di kota ini. Semenjak tak ada lagi tebengan dari anak magang - karena waktunya telah selesai, saya kembali berkutat dengan kesendirian. Berjalan kaki is my way. Sesekali mencoba kembali rasanya naik angkot. Namun, saya lebih sering menumpang ojol.
Dari langkah-langkah itu, saya merasa semua hal berjalan begitu lambat. Apalagi ketika saya memasang earphone dengan musik di playlist. Kehidupan seolah-olah menjadi sebuah layar lebar. Suara di dalam telinga secara otomatis menjadi backsong.
Saya pernah suatu kali berjalan kaki sendirian di atas trotoar. Tangan dimasukkan di dalam saku jaket. Lagu mengiringi langkah saya menuju lokasi berikutnya. Karena jaraknya tidak begitu jauh, saya memutuskan mengambil langkah pertama.
Tepat ketika lewat di depan toko bunga, lagu Lemonade tetiba mengalun. Entah kenapa, saya langsung sumringah. Tersenyum begitu saja. Seolah-olah, lagi itu menggambarkan perasaan yang diliputi toko-toko bunga di sepanjang trotoar itu.
Seandainya seperti di film-film, barangkali saya akan menari-nari, mengambil setangkai, mencium aromanya, dan memberikan kepada siapa saja perempuan yang melintas pada saat itu juga.
Sayangnya, saya masih berada di dunia nyata. Orang-orang akan menganggap saya tak waras jika nekat melakukan hal itu. Syukur-syukur tak "dideportasi" ke kampung halaman.
Saya sedikit menyenangi berjalan kaki. Yah, bisa dibilang memaksakan diri juga. Kalau punya motor, tentu akan menghabiskan lebih banyak di atas jok. Lagipula, kota ini punya banyak trotoar yang memanjakan pejalan kaki. Lebar dan rindang.
Untuk beberapa momen, kehidupan memang terasa lebih lambat dengan berjalan kaki. Ingatan menjadi lebih tajam. Saya tidak sedang berkejaran dengan waktu. Detail-detail apa pun akan terlihat begitu jelas dan spesifik.
Pedagang siomay yang mendorong gerobaknya. Sopir-sopir angkot yang bertransaksi dengan penumpangnya. Ibu-ibu yang merapatkan tasnya di pinggir jalan. Anak sekolah yang baru pulang. Orang-orang dewasa yang menghabiskan waktu dengan memancing. Pohon yang rindang. Suara-suara yang menggema.
Seketika, semua berjalan begitu lambat. Ya, lambat sekali. Saya sebenarnya lupa, ingin menceritakan apa di sepanjang langkah kaki kota ini. Sudahlah. Kapan-kapan. []
(Foto: Imam Rahmanto) |
--Imam Rahmanto--
0 comments