Mereka yang Menemukan Dua Pulang

Februari 18, 2020

Baca Juga

(Foto: Imam Rahmanto)


Seorang teman lama telah melepas masa lajangnya, baru-baru ini. Teman masa kecil, yang di rumahnya saya banyak menghabiskan waktu "melarikan diri".

Saya tak pernah menyangka, ia menjatuhkan pilihan kepada seorang perempuan dari kampung halaman. Terlepas dari perempuan itu memang idaman para lelaki di kampung. Teman saya itu sebenarnya punya pacar dari kota lain. Masa kuliahnya dihabiskan pula dengan menjalin hubungan dengan perempuan yang berasal dari jurusan kedokteran.

Sekilas, ia pernah menyuarakan keraguan dengan hubungan itu. Apalagi, keluarga pacarnya berasal dari golongan berada. Meskipun, yah, keluarga teman itu juga tidak bisa dikatakan berada di bawah kelas pacarnya.

Saya mengenal lantai-lantai keramik di rumahnya. Akrab pula dengan loteng rumahnya. Tak jarang, saya harus memanggilnya karena pembeli yang datang ke toko rumahnya. Ibunya berstatus PNS, namun membangun toko di rumah dan lapak di pasar kampung kami.

"Yah, itu aja sih. Keluarganya sepertinya punya standar yang lebih tinggi. Mereka kan juga tinggal di Wamena. Mungkin agak susah saja kalau nanti sampai di titik pernikahan," bebernya, di waktu yang sudah lama. Kali itu, giliran ia yang mengunjungi rumah saya karena tahu ayah sedang terbaring sakit.

Kisah kasihnya yang berujung dengan "junior" di kampung kami tentu membuat saya tersenyum cukup lebar. (Saat menuliskan ini pun masih tak bisa menahan senyuman itu). Saya tak pernah menyangka masa lajangnya akan berakhir di kampung halaman sendiri. Berujung pada perempuan, yang barangkali hanya sempat "kenal muka" semasa sekolah. Kalau diingat-ingat, kami tak pernah menyinggung-nyinggung perihal perempuan itu dalam setiap perbincangan "lelaki" kami. Atau saya yang lupa ya?

Sebenarnya, hal serupa banyak terjadi dengan teman-teman yang lain.

Ada teman yang berhasil mempersunting adik kelas primadona semasa sekolah dulu. Padahal, tak ada irisan kisah asmara semasa mereka bersekolah dulu. Selepas kerja, keduanya bertemu, kembali mengulur masa lalu, menjalin hubungan lebih dekat, dan akhirnya bersepakat menghubungkannya lewat ikatan pernikahan.

Ada sahabat perempuan yang memutuskan bekerja ringan di kampung halaman selepas kuliah. Bertemu kembali dengan mantannya semasa sekolah. Keduanya memperbaiki hubungan satu sama lain. Kemudian mengukuhkannya juga dalam hubungan pernikahan.

Teman lainnya, seorang "senior" yang khatam dengan banyak perempuan. Perjalanannya bekerja di pulau Kalimantan, juga justru berlabuh dengan seorang perempuan di kampung halaman. Lagi-lagi, kami mengenal istrinya sebagai perempuan yang sebenarnya tak pernah beririsan kisah dengannya di masa SMA dulu. Barangkali, kami pernah sekadar menjadikanya sebagai bahan gibah nongkrong di depan rumahnya.

"Lah, dia cantik juga tuh. Tapi, dia pacaran sama si anu..."

Ia, dan semuanya itu, ternyata menemukan jalan untuk kembali ke pelukan kampung halaman.

(credit: Imam Rahmanto)
***

Entah bagaimana, cerita-cerita itu membuat saya berpikir tentang jalan yang akan saya tempuh pula, kelak.

Kita tak pernah tahu kepada siapa janji sehidup-semati akan terucap. Apakah teman masa kecil, teman sekolah, teman kuliah, temannya teman, teman di dunia maya, teman kerja, kenalan di suatu tempat, atau bahkan orang yang tiba-tiba datang tanpa pernah kita bersinggungan dengannya. Who knows?

Idealnya, kita bisa menikah dengan orang yang benar-benar dicintai. Orang yang kepadanya kita ingin menjatuhkan hati. Orang yang kepadanya kita rela menyediakan bahu untuk segala resah.

Akan tetapi, sesuatu yang ideal tak selalu berjalan sebagaimana yang diharapkan, bukan?.

"Bahwa menikah itu nasib, mencintai itu takdir. Kamu dapat berencana menikah dengan siapa, tapi tak bisa rencanakan cintamu untuk siapa." [Sujiwo Tejo]

Saya pernah mendapatkan "arah" serupa dari Bunda setelah hati yang patah.

"Hm...ya kalau bukan jodohnya, mau mi diapa, nak. Cari saja yang dekat-dekat kalau mau menikah, tidak apa-apa. Itu anaknya 'si anu' juga baik kok. Kalem orangnya. Nanti kalau jauh begitu, Bunda sudah tidak kuat lagi mengantar loh," candanya di dapur.

Hm...kan, kan, kan, kalau sudah soal perasaan, kita tidak bisa memilih dengan siapa. *muka memelas

Sebenarnya, Bunda tahu betul, bagaimana kisah LDR - lintas - pulau - itu kandas. Padahal, saya pernah memperkenalkan perempuan itu dari ujung telepon. Sekaligus membuatnya kesal setengah mati karena tiba-tiba mendengar suara Bunda di kontak telepon saya.

"Imam jahat ya? Katanya sering bikin nangis ya?" kata-kata Bunda di ujung telepon yang tak pernah gagal membuat saya tersenyum.

Kepada siapa kita jatuh cinta, tak pernah bisa begitu saja direncanakan. Bahkan, untuk orang yang belum pernah kita temui sekalipun, kita bisa jatuh hati dengan caranya bersuara, bercerita, tertawa, hingga berbagi pikiran.

Dari kisah-kisah itu, saya hanya mencoba mengamati bagian "unik" mereka.

Bahwa, bagaimana pun jauhnya mereka berkelana, meninggalkan kampung halaman, muaranya tetap kembali ke rahim yang pernah membesarkan mereka. Mereka menjalani pekerjaan di sana, yang tentunya punya peluang lebih besar beririsan dengan orang atau kenalan dari masa lalu. Mereka yang menjalani pekerjaan di luar, tetap menemukan pasangan yang menghubungkan mereka "pulang" ke kampung halamannya.

Bagi mereka, kampung halaman adalah sebaik-baiknya jalan yang mereka temukan. Tak ada lagi alasan untuk berbalik arah. Bisa jadi karena sudah terlampau lelah. Sisanya lagi merasa tak ada yang salah. Toh, sejatinya mereka bisa menghangatkan diri dalam dua "combo" pulang sekaligus; rumah dan kekasih.

Rumah, sebagai tempat dimana mereka dilahirkan, 

Kekasih, sebagai tempat mereka akan merasa pulang. []





--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments