Another Mathematical Story
Februari 13, 2020Baca Juga
"Bagaimana Februari?"
Bagi saya, Februari berjalan diam-diam. Langkahnya sesekali terhenti, memastikan sesuatu. Apakah orang-orang akan mengingat momennya? Jika tidak, ia terus melangkah tanpa menengok ke belakang lagi.
Bulan ini, saya sedikitnya mendapatkan kemudahan dalam menjalankan pekerjaan di lapangan. Tidak lagi mengandalkan driver ojol yang ramah-ramah. Meskipun, hari-hari saya masih sering memanfaatkan jasa mereka. Coba, dengan apa lagi saya kembali dari gedung kantor saya ke indekos?
Seorang anak magang diminta untuk "mengekor" kemana pun saya bepergian. Jatuhnya simbiosis mutualisme. Saya yang tak punya kendaraan diuntungkan dengan tumpangannya. Sedangkan ia yang mencoba belajar jurnalistik di lapangan, juga diuntungkan karena memenuhi salah satu mata kuliah PKL-nya. Yah, sembari meraba-raba bagaimana pekerjaan mencari berita. Selama ini, ia hanya menerima teori-teori pekerjaan itu di dalam kelasnya, dari jurusan jurnalistik.
"Kamu benar-benar tidak tahu itu?"
"Nggak, bang. Kan diajarin teorinya doang," jawabnya.
Terkadang, saya mencoba memastikan sesuatu bersamanya. Pada kenyataannya, tidak semua hal dipelajarinya dalam kelas dengan mata kuliah "serba" jurnalistik itu. Mereka justru benar-benae menjadi "anak kecil" kembali ketika sudah menjalankan praktik di lapangan. Memang benar kata Menteri Pendidikan kita, Nadiem, mahasiswa butuh lebih banyak pengalaman di lapangan agar benar-benar siap terjun di dunia kerja. Okay, untuk satu ini, saya merestui gagasannya.
Saya terpaksa memikirkan ulang rencana memaketkan kendaraan pribadi. Selama sebulan, saya akan berduet saja dengan magang itu. Toh, saya masih bisa mengirit sedikit pengeluaran untuk transportasi. Iya, hanya sedikit. Yang masih banyak itu adalah bagian ngopinya.
Saya baru sadar, biaya hidup di kota ini benar-benar melambung tinggi. Wajar ketika UMK nya tergolong tinggi dan nyaris menjangkau standar ibu kota negara. Standar kopi di sebuah kafe belum ada yang menyamai harga nongkrong di kota Makassar sebelumnya.
Saya mau tidak mau mulai belajar untuk menyusun perencanaan keuangan. Belajar mencari tahu tentang investasi. Meraba-raba tabungan seperti apa yang cocok untuk kebutuhan-kebutuhan tak terduga di masa mendatang. Sayangnya, itu semua baru sebatas "mencoba". Sepertinya, waktu bergerak dengan cara merangkak untuk bagian ini.
Beberapa waktu lalu, teman-teman saya memamerkan punya tabungan investasi semacam ini. Saya merasa kalah langkah. Kalah jauh. Kalah visioner. Saya merasa gagal saja sebagai lelaki - yang kelak harus menafkahi istri dan anak-anaknya. Mereka perempuan, mereka pekerja, dan mereka punya tabungan investasi.
And me?
Boro-boro investasi saham. Satu-satunya tabungan yang berhasil dalam hidup saya adalah uang-uang receh yang saya kumpulkan dalam kemasan botol Aqua dan akhirnya berlabuh ke pangkuan ibu. Ekspresi ibuk yang sumringah sembari membongkar semua isinya sudah bikin hati merasa "sukses" menabung.
"Ini beneran buat saya, Im?" kata ibuk saya, yang akan selalu tulen menjadi perempuan polos seumur hidupnya. Be
"Ya iya, Mak. Itu cuma recehan dari hasil kembalian belanja di minimarket."
Padahal, isinya ada beberapa lembar uang lima ribuan dan sepuluh ribuan. Yah, prestasi menabung itu cukup prestisius karena mampu membuat botol plastik itu benar-benar padat dengan gumpalan uang kertas dan uang koin.
Eh iya, saya juga masih punya tabungan emas. Pada akhirnya tetap harus buang sauh juga di angka kurang dari satu gram. Dulu, saya punya alasan khusus kenapa bela-belain mesti menabung emas. It's a longlove story.
Dalam kepala, rencana untuk adik saya beputar-putar jauh lebih kencang. Rencana saya juga tak begitu matang. Kata-katanya yang mengisyaratkan "gapapa" untuk bulan ini, sedikit mengobati beberapa kesulitan di awal tahun ini. Meski begitu, saya mesti mengingatkan diri bahwa itu hanya sementara. Kelak, saya harus menutup bulan ini dengan menambal beberapa kekurangannya.
Memang sudah seharusnya saya kembali memikirkan perhitungan-perhitungan finansial.
Sudah lama rasanya "murtad" dari hitung-hitungan Matematika. Kali ini dihadapkan dengan perhitungan finansial secara ekonomi. Ternyata, menjadi dewasa itu tak semudah berjalan apa adanya. Banyak rencana yang harus disusun dengan matang. Karena ada kepala lainnya yang harus ikut dalam rencana itu.
Terakhir, saya harus bersyukur dengan daya tahan selama berada di kota hujan ini. Meski sesekali menyusahkan teman-teman saya dari jauh sih. I am still doing my best.
Dan, selamat bertambah usia untuk saya, pada hari kesepuluh bulan ini. Thanks to myself.
"Sehat Kadang-kadang!"
Karena kalau kita selalu sehat, tak pernah merasakan sakit (apa pun itu), kita takkan tahu betapa berharganya rasa sehat itu. Seperti kata komedian Uus dalam wawancara podcast-nya. []
Bagi saya, Februari berjalan diam-diam. Langkahnya sesekali terhenti, memastikan sesuatu. Apakah orang-orang akan mengingat momennya? Jika tidak, ia terus melangkah tanpa menengok ke belakang lagi.
Bulan ini, saya sedikitnya mendapatkan kemudahan dalam menjalankan pekerjaan di lapangan. Tidak lagi mengandalkan driver ojol yang ramah-ramah. Meskipun, hari-hari saya masih sering memanfaatkan jasa mereka. Coba, dengan apa lagi saya kembali dari gedung kantor saya ke indekos?
Seorang anak magang diminta untuk "mengekor" kemana pun saya bepergian. Jatuhnya simbiosis mutualisme. Saya yang tak punya kendaraan diuntungkan dengan tumpangannya. Sedangkan ia yang mencoba belajar jurnalistik di lapangan, juga diuntungkan karena memenuhi salah satu mata kuliah PKL-nya. Yah, sembari meraba-raba bagaimana pekerjaan mencari berita. Selama ini, ia hanya menerima teori-teori pekerjaan itu di dalam kelasnya, dari jurusan jurnalistik.
"Kamu benar-benar tidak tahu itu?"
"Nggak, bang. Kan diajarin teorinya doang," jawabnya.
Terkadang, saya mencoba memastikan sesuatu bersamanya. Pada kenyataannya, tidak semua hal dipelajarinya dalam kelas dengan mata kuliah "serba" jurnalistik itu. Mereka justru benar-benae menjadi "anak kecil" kembali ketika sudah menjalankan praktik di lapangan. Memang benar kata Menteri Pendidikan kita, Nadiem, mahasiswa butuh lebih banyak pengalaman di lapangan agar benar-benar siap terjun di dunia kerja. Okay, untuk satu ini, saya merestui gagasannya.
Saya terpaksa memikirkan ulang rencana memaketkan kendaraan pribadi. Selama sebulan, saya akan berduet saja dengan magang itu. Toh, saya masih bisa mengirit sedikit pengeluaran untuk transportasi. Iya, hanya sedikit. Yang masih banyak itu adalah bagian ngopinya.
Di sebuah kafe bertumpuk buku di Kota Bogor. (Imam Rahmanto) |
Saya baru sadar, biaya hidup di kota ini benar-benar melambung tinggi. Wajar ketika UMK nya tergolong tinggi dan nyaris menjangkau standar ibu kota negara. Standar kopi di sebuah kafe belum ada yang menyamai harga nongkrong di kota Makassar sebelumnya.
Saya mau tidak mau mulai belajar untuk menyusun perencanaan keuangan. Belajar mencari tahu tentang investasi. Meraba-raba tabungan seperti apa yang cocok untuk kebutuhan-kebutuhan tak terduga di masa mendatang. Sayangnya, itu semua baru sebatas "mencoba". Sepertinya, waktu bergerak dengan cara merangkak untuk bagian ini.
Beberapa waktu lalu, teman-teman saya memamerkan punya tabungan investasi semacam ini. Saya merasa kalah langkah. Kalah jauh. Kalah visioner. Saya merasa gagal saja sebagai lelaki - yang kelak harus menafkahi istri dan anak-anaknya. Mereka perempuan, mereka pekerja, dan mereka punya tabungan investasi.
And me?
Boro-boro investasi saham. Satu-satunya tabungan yang berhasil dalam hidup saya adalah uang-uang receh yang saya kumpulkan dalam kemasan botol Aqua dan akhirnya berlabuh ke pangkuan ibu. Ekspresi ibuk yang sumringah sembari membongkar semua isinya sudah bikin hati merasa "sukses" menabung.
"Ini beneran buat saya, Im?" kata ibuk saya, yang akan selalu tulen menjadi perempuan polos seumur hidupnya. Be
"Ya iya, Mak. Itu cuma recehan dari hasil kembalian belanja di minimarket."
Padahal, isinya ada beberapa lembar uang lima ribuan dan sepuluh ribuan. Yah, prestasi menabung itu cukup prestisius karena mampu membuat botol plastik itu benar-benar padat dengan gumpalan uang kertas dan uang koin.
Eh iya, saya juga masih punya tabungan emas. Pada akhirnya tetap harus buang sauh juga di angka kurang dari satu gram. Dulu, saya punya alasan khusus kenapa bela-belain mesti menabung emas. It's a long
Dalam kepala, rencana untuk adik saya beputar-putar jauh lebih kencang. Rencana saya juga tak begitu matang. Kata-katanya yang mengisyaratkan "gapapa" untuk bulan ini, sedikit mengobati beberapa kesulitan di awal tahun ini. Meski begitu, saya mesti mengingatkan diri bahwa itu hanya sementara. Kelak, saya harus menutup bulan ini dengan menambal beberapa kekurangannya.
Memang sudah seharusnya saya kembali memikirkan perhitungan-perhitungan finansial.
Sudah lama rasanya "murtad" dari hitung-hitungan Matematika. Kali ini dihadapkan dengan perhitungan finansial secara ekonomi. Ternyata, menjadi dewasa itu tak semudah berjalan apa adanya. Banyak rencana yang harus disusun dengan matang. Karena ada kepala lainnya yang harus ikut dalam rencana itu.
Terakhir, saya harus bersyukur dengan daya tahan selama berada di kota hujan ini. Meski sesekali menyusahkan teman-teman saya dari jauh sih. I am still doing my best.
Dan, selamat bertambah usia untuk saya, pada hari kesepuluh bulan ini. Thanks to myself.
"Sehat Kadang-kadang!"
Karena kalau kita selalu sehat, tak pernah merasakan sakit (apa pun itu), kita takkan tahu betapa berharganya rasa sehat itu. Seperti kata komedian Uus dalam wawancara podcast-nya. []
--Imam Rahmanto--
0 comments