30 Hari Mencari Kopi

Februari 01, 2020

Baca Juga

Indy Cafe. (Imam Rahmanto)

Sudah genap sebulan saya berada di Kota Bogor. Selama itu, beberapa tempat menjadi persinggahan. Jalanan kota jadi pemandangan lazim. Wajah orang-orang baru mulai tergambar dengan lebih jelas.

Saya masih belum bisa menanggalkan kebiasaan menyesap kopi. Hanya diganggu sedikit dengan alternatif sasetan di warung-warung kecil. Kalau masih sempat, saya lebih senang menjelajah dan mencari kafe atau warkop. Ya, sekalian merampungkan naskah-naskah hasil liputan. Tak peduli dimana pun Google Maps membuat saya kesasar.

Kebiasaan menyesap kopi memang mengakar sejak lama. Seolah-olah, saya takkan bisa menulis tanpa uap-uap kopi di depan meja. Asli, seperti kebiasaan para perokok aktif. Anehnya, saya tidak masuk dalam golongan sebat itu.

Kopi memberi saya alasan untuk tidak merasa terasing di tengah keramaian kota seperti ini. Tetap tersadar dengan kerangka naskah dan pesan-pesan redaktur di hape. Kopi pula yang membuat saya tetap santai terhadap segala masalah yang membelit kepala. Kata film dari Makassar, "Kopimu boleh pahit. Hidup, jangan."

Nah, saya ingin menyusur kembali, seberapa banyak kafe yang pernah menyapa saya dengan sejuk kota hujan ini. Entah itu sendirian atau bersama teman. Entah itu bikin senyum merekah atau justru merobek isi kantung. :v


Savana Camp

"Hei, saya sudah sampai di kota Bogor!"

Ibaratnya seperti kalimat itu. Saya harus menyematkan tempat ini sebagai kafe pertama saya di Kota Bogor.

Kafe bernuansa outdoor ini menjadi pilihan pertama saya melepas penat dari menggendong-gendong ransel. Hanya berselang beberapa menit setelah saya menyimpan ransel di indekos baru.

Saya memilih V60 coffee sambil berbincang dengan dua teman dari Makassar. Satu orang merupakan "utusan" teman SMA saya yang kini sedang berada di Jakarta. Sedangkan satunya lagi teman dari sesama lembaga pers kampus.

Suasana kafe ini memang lebih tradisional dan klasik. Beberapa furnitur dibuat secara sederhana. Konsepnya lebih condong dengan anak-anak pecinta alam. Bahkan, saya terpaksa menuntaskan salat magrib hanya dengan pembatas kain berjaring-jaring di pojok ruangan kafe ini. Malah, hanya muat untuk satu orang. Sialnya lagi, di belakang saya tempat salat itu, ada sepasang remaja yang sedang pacaran. Damn.


Indy Cafe

Bisa dibilang, ini kafe reguler saya. Karena jaraknya yang paling dekat dekat indekos. Saya hanya perlu berjalan kaki sekira lima menit dari dalam gang untuk sampai ke lokasinya yang berada di jalan utama.

Ada dua "atmosfer" ruangan yang ditawarkan kafe ini. Bagian depan, tempat kasir dan resepsionis berada, tak banyak berbeda dengan kafe-kafe sejenisnya. Meski begitu, coba lewati satu pintunya lagi. Atmosfer dengan nuansa taman terbuka akan menjadi pemandangan menarik. Ada taman luas dengan gazebo yang tak dipakai. Enak buat baca buku.

Nilai plusnya lagi, area paling belakang memang disediakan khusus sebagai musala. Sarananya sangat lengkap untuk berdoa meminta jodoh kepada Yang Maha Kuasa.

Saya paling banyak menghabiskan waktu di kafe ini. Mulai dari momen menunggu jemputan, menyelesaikan bacaan novel 1Q84, menanti jadwal liputan, atau merenungi hidup yang seperti roller-coaster. Salah satu baristanya menjadi teman ngobrol yang baik.

"Berarti bukan asli Bogor ya, bang?"

"Tadi habis liputan ke mana lagi, bang?"

"Coba deh, bang. Ini kopinya saya pakai yang roasting sendiri. Gak di-blend,"


Malabar Mountain Cafe

Saya tak sengaja menemukan tempat ini.

Awalnya ingin menjajal kopi lagi di Savana Camp, usai liputan di RSUD. Ternyata langkah saya terhenti saat melihat pelang nama di antara kompleks ruko seberang jalan.

Uniknya, kafe ini punya pengolahan pasca-panen tersendiri untuk arabika lokal, seperti Malabar. Jangan heran jika menjumpai mesin roasting di sebelah pintu masuk. Karung-karung cokelat yang masih berisi bean. Aroma asam arabika juga cukup menguar di tempat ini. Saya tiba-tiba teringat dengan seorang teman di Enrekang yang juga punya kafe dengan nama juga nyaris sama. Tampaknya, impiannya tak jauh-jauh dari kafe seperti ini.

Dari luar, Malabar tampak seperti sebuah ruko kecil. Akan tetapi, kafe ini punya ruangan lebih luas di lantai bawah. Bahkan, di "ruang bawah tanah" paling belakang, saya bisa ngopi sambil mengamati aliran sungai kecil. Ruangan outdoor-nya bersebelahan langsung dengan sungai kecil di belakang kompleks ruko.

Malabar Mountain Coffee. (Imam Rahmanto)



Warkop Pemuda

Ini alternatif warkop yang cukup ramai dengan anak sekolah. Mungkin karena lokasinya juga tak jauh dari GOR dan sekolah (entah di mana).

Sebenarnya, tak ada yang spesial dari tampilan warkop ini. Ruangannya semi-outdoor dengan beberapa meja dan kursi panjang. Bahkan, ketika memesan kopi-susu, saya perlu ditanyakan, "Saset atau yang biasa?" Mungkin karena warkop ini menyesuaikan sajian dengan kantong pengunjungnya.

Ternyata, beberapa hari kemudian saya memesan Vietnam Drip, rasanya bikin "kangen kopi" sedikit terobati. Yah, memang harganya paling terjangkau di antara deretan kafe yang pernah saya kunjungi. Waktu bukanya juga sampai 24 jam.


Waroeng Aceh Kemang

Seperti namanya, sajiannya juga khas. Dari minuman hingga makanan. Saya tak bisa menyingkirkan ingatan akan seseorang dengan mie aceh.


Saya sering menghabiskan waktu di tempat ini karena memang tak jauh dengan Balaikota, tempat utama bolak-balik kerjaan saya. Hanya berjarak 3-5 menit berjalan kaki.

"Lumayan juga ya tempat ini. Bisa jadi tempat ngetik juga. Kalau begitu, besok-besok mau ke sini juga deh," ujar seorang teman saat saya mengajaknya mencoba warung itu.

Biasanya, anak-anak wartawan Balaikota bakal merampungkan naskah liputannya di sebuah kantin belakang kantor Balaikota. Saya agak bosan, karena hanya bisa meneguk aneka sasetan. Pun, saya belum mengenal begitu teman-teman yang lain. Sepi di tempat itu sebenar-benarnya sepi. Berbeda ketika saya melipir ke warung itu.

Lagipula, saya bisa memesan Kopi Sanger atau Kopi Saring, yang memang kata pelayannya khas Aceh. Harganya juga cukup terjangkau lah. Meski saya baru paham, ternyata kopi khas Aceh itu memang disajikan dalam porsi gelas tak besar-besar amat seperti kopi lainnya.


Warung Kopi Babeh

Saya akan melabeli tempat ini sebagai tongkrongan paling jauh. Tempatnya di pinggiran kota. Saya memang sedang menyambangi kantor dinas PUPR.

Hasil tangan kosong karena tak bertemu satu pun narasumber akhirnya saya lampiaskan dengan mencari tempat ngopi terdekat. Berbekal Google Maps, review yang menarik. Baru tahu, ternyata lokasinya di ujung sebuah perumahan dan mengambil teras rumah pemiliknya.


Sejenak Coffee

Saya juga tak menjumpai tempat ini lewat panduan Google Maps. Malah, kafe yang hendak saya tuju di Google Maps ternyata sementara dalam proses renovasi. Jadinya, saya malah bertemu kafe ini.

Ya sudah, saya berjalan saja di sepanjang trotoar, sepulang menyambangi suatu kantor dinas. Mata yang agak rabun menandai pelang bulat itu sebagai persinggahan coffeeshop. Sejenak Coffee.

Konsepnya benar-benar outdoor. Hanya kasir dan baristanya yang berada di dalam ruangan. Trotoar dan kantor imigrasi hanya berjarak sepandangan mata dari kursi dan meja-mejanya. Lokasinya juga jelas tidak bisa menampung banyak-banyak pengunjung. Mungkin, karena pemiliknya hanya ingin mengutamakan jenis "signature coffee".

Setidaknya, tempat ini bisa menjadi persinggahan sementara saya di waktu-waktu berikutnya untuk menyepi dengan bahan liputan di tangan.

Sejenak Coffee. (Imam Rahmanto)


Kopi Janji Jiwa dan Jiwa Toast

Tahulah ya, bagaimana salah satu merek signature coffee itu. Hanya memanfaatkan satu slot ruko paling tepi di kawasan Cimanggu. Sajiannya juga tetap memakai kemasan takeaway, meskipun ingin duduk santai di kursi dan mejanya.

Saya hanya kebetulan mampir di tempat itu bersama teman yang sama-sama ingin menuju ke kantor, sepulang liputan.

"Emang lu mau jajanin gua? Hayuklah kalau mau mampir ngopi," ucapnya, yang sedang menyetir motor.

"Ya, bolehlah. Asalkan cari tempat yang bisa bayar Go**y aja. Gua gak bawa cash soalnya."

Yah, sekalian berbalas budi, karena sudah banyak menyusahkannya dengan nebeng kendaraan. Lagipula, saya kasihan juga mendengarnya banyak "curcol" dengan tugas-tugas liputan yang baru dijalaninya selama dua bulan.

"Banyak duit lu emang? Ini kan akhir bulan,"

"Ya, kagaklah. Kan, buat bersedekah itu tidak menunggu saat kita berlebih. Tapi bersedekah karena kita pernah merasakan kekurangan itu juga. Gitu loh,"

"Yeee...ini ceritanya lu nyedekahin gua? Kunyuuuk,"


Daily Brew Kofie and Eatery

Nah, ini salah satu kafe yang dekat dengan mahasiswa. Lha wong, lokasinya hanya bersebelahan dengan kampus Institut Bisnis dan Informatika (IBI) Kesatuan di area Suryakencana.

Ada dua lantai. Di tempat ini pula, pertama kalinya saya kembali mendengar diskusi mahasiswa-mahasiswa soal program kerja dan organisasinya, dari seberang meja. Bukankah masa-masa itu akan selalu terkenang?


Uncle Jo Coffeeshop

"Tunggu dulu, ternyata saya sudah ketemu kafenya," saya sedang berbincang lewat telepon saat sedang berjalan-jalan mencari keberadaan kafe itu.

Kalau Waroeng Aceh sebagai ngopi versi sederhana dan merakyat, maka kafe ini versi yang lebih elite di sekitar lokasi Balaikota. Harganya tetap dalam standar yang sama. Namun, tampilannya cukup industrial. Saya suka dengan ruangannya yang sejuk dan menyediakan beberapa versi tempat bersitirahat.

"Maaf, mas. Kayaknya untuk sementara cuma bisa menu-menu non-kopi. Mesinnya error," kata waiter, yang menghampiri langsung di meja.

Saya terpaksa menikmati Hot Chocolate, dengan kursi yang menghadap ke jendela. Di luar sana, kafe ini juga menyediakan kursi dan meja lainnya. Sedangkan di area belakang kasir, terdapat pintu yang tampaknya menyajikan nuansa taman atau ruang terbuka. Saya belum mencobanya, karena sibuk mencari-cari stok naskah dan melayani perbincangan dari seseorang di ujung telepon.

Uncle Jo Coffeeshop. (Imam Rahmanto)


Purple Cup Coffee

"Selamat, kamu akhirnya bisa bertahan selama sebulan ini. Kamu pantas melanjutkan ke level selanjutnya!"

Kafe yang menjadi penutup perjalanan di Januari ini. Tepat ketika hujan juga turun di penghujung bulan ini.

Tak ada yang begitu istimewa dengan kafe yang ramai anak sekolah ini. Selain banyak dede-dede emesh. Lokasinya sangat pas menjadi alternatif saya "melarikan" diri sejenak dari kantor. Saya hanya perlu berjalan kaki sekira 5 menit untuk sampai di tempat ini, sembari menikmati kopi di luar ruangan a.k.a outdoor.

Satu-satunya yang menarik perhatian saya adalah beberapa gitar yang terpampang di salah satu kursi. Tampaknya, alat musik itu bisa dipakai siapa saja yang ingin memainkannya. Saya terkadang juga masih rindu memainkannya. []

***



I don’t wanna be lonely
when winter is freezing and trees start to bald

And i don’t wanna be sitting
alone in a room that’s just filled with my soul


Ps: Semua hanya referensi terbatas untuk kepentingan pribadi di blog ini. Kalau ingin lebih lengkap, bisa cari di Google Maps. 


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

1 comments