Merayakan Lipatan Jarak

Januari 30, 2020

Baca Juga

"Serius nih, mam, kamu mau nemenin kita belanja?"

Saya mengekori teman perempuan yang memilih-milih baju di sebuah mall. Bukan satu orang. Melainkan tiga orang sekaligus. Tiga perempuan.

Yah, kami baru saja bertemu, meet up, nongkrong di salah satu outlet makan. Menghabiskan beberapa jam di antara guyuran hujan yang teredam dinding dan keramaian mall.

"Benar juga," kata saya dalam hati.

"Ya sudah deh. Aku duluan ya, sekalian mau ke kantor dulu, rampungin naskah tadi," lanjut saya sambil memisahkan diri dari mereka yang mematut-matut pakaian.

Thanks. 

Beberapa jam lalu, kami masih terlibat dalam perbincangan hangat. In real life. Obrolan-obrolan yang kadang hanya selintas lalu di grup Whatsapp kami. Ya wajar, masing-masing disibukkan dengan pekerjaannya. Tak ada yang benar-benar menyimak chat atau tulisan di media selebar 5 inci itu.

Pertemuan jadi salah satu cara kami merayakan rindu. Barangkali, sekaligus menyambut kedatangan saya di kota ini.

Bertahun-tahun, kami terpisah jarak ribuan kilometer, samudera, pulau, dan waktu. Eh, ralat, sepertinya yang terpisah jauh cuma saya. Karena mereka pada kenyataannya memang bekerja di Jakarta. Sedangkan saya baru kali ini nekat mengawali pekerjaan di Kota Bogor.

Jauh-jauh, mereka rela menumpang kereta api dari stasiun di Jakarta. Menyetel waktu agak pagi. Berbagi kabar posisi. Hingga melindungi diri dari guyuran hujan dengan menumpang (angkutan kota). Salah seorang diantaranya, Dian, yang tiba lebih dulu turun di depan Suryakencana. Berlindung di bawah payung kecilnya menunggui saya yang sedang berada di vihara.

"Ya sudah, kamu selesaikan aja dulu liputanmu," pesannya dari ujung Whatsapp.

Di saat teman-teman saya menikmati Sabtu dengan waktu libur, saya justru berkutat dengan liputan. Imlek memang jatuh pada tanggal merah. Hanya saja, koran tetap harus terbit keesokan harinya. Lagipula, sebagai anak baru, saya belum dapat jatah libur.

"Sudah ah. Hayuk aja," saya menyudahi mondar-mandir di vihara, yang sedang ramai orang-orang bersembahyang itu.

Sungguh, saya sejatinya masih meraba-raba banyak hal untuk tetap menjadi alasan kuat di tempat ini. Hal-hal baru tak selalu mengenakkan. Hal-hal baru tak selalu membuat mata berbinar. Semua yang baru tak selamanya bikin kita tabah. Karena, keterasingan mampu merobohkan fondasinya. Kesendirian hakiki.

Mereka yang duduk berbincang hanya lima jam lamanya, jadi moodboster saya di belantara kebimbangan kehidupan baru. Kaki saya dibuat kembali berpijak. Mata saya terbuka lagi menatap segala hal yang belum pasti. Obrolan-obrolan menjadi pelepas dahaga akan kesepian di kota ini.

Saya bersyukur mengenal mereka dari jauh. Entah bagaimana caranya, kami menyatukan pertemanan hanya lewat twitter (pada masanya belum seramai ini), blog, hingga berbalas pesan. Bertahun-tahun silam dari akar diklat jurnalistik di kampus saya.

Ai si mojang Bandung, Dian si tomboy Semarang, Dewi anak kalemnya Jepara, dan saya anak-anak biasa nan sederhana dari Makassar (yang mengalami krisis "where am I from"). Bonus, Dwi yang baru saya kenal ketika menjadi "guide-bayangan" dari Ai saat berada di Bandung.
Padahal, dahulu kala, saya hanya "makhluk tak kasat mata" di kepanitiaan diklat.


Bertahun-tahun memang bukan waktu singkat. Masing-masing disibukkan dengan mimpi dan cita-citanya. Masalahnya sendiri-sendiri. Bertanya kabar hanya selintas lalu. Hanya ketika ada waktu di kota masing-masing baru berupaya menjalin temu.

Pernah suatu kali Ai datang ke Makassar untuk urusan event dari kantornya. Sayangnya, saya tak ada sekadar mengucapkan "selamat datang" kepadanya. Saya memang "didinaskan" di wilayah kabupaten kala itu. Tentunya, jarak kabupaten sangat jauh dengan Makassar.

Padahal, kata Ai, ingin menghabiskan waktu selepas event untuk berjalan-jalan di Makassar. Kulineran, belanja oleh-oleh, atau sekadar menjajal malam-malam di pinggir anjungan Pantai Losari. Dan saya, sebagai tuan rumah, tak bisa berbuat apa-apa.

Saya terpaksa meminta kepada adik tingkat di lembaga pers menjadi "guide bayangan" buat Ai. The power of senior.

Dian, yang pernah ikut rombongan presiden di Kabupaten Wajo, lebih "beruntung" punya kesempatan bertemu saya. Jadwal rombongan yang super ketat memaksa kami memampatkan waktu. Saya harus memacu motor dari kabupaten tetangga, Bone, lebih cepat.

Parahnya, musim hujan membuat perbatasan dua kabupaten itu tergenang banjir. Bukan banjir biasa! Jalan raya tenggelam. Sawah-sawah tergenang menyerupai laut. Jika enggan memutar jalan, para pengendara motor harus menumpang rakit ke seberang. Untuk pertama kalinya, saya mengendarai motor di atas rakit yang disambungkan dua perahu.

Pertemuan-pertemuan singkat seperti itu menjadi hal yang berharga untuk orang-orang yang dipisahkan jarak dan waktu. Suplemen pula untuk orang yang sebatang kara seperti saya. Buat mereka, Jakarta sudah jadi keseharian sejak lama. Lah, saya baru sebulan ini di kota Bogor harus pontang-panting tanpa kendaraan. Kasihan. Ketika mereka datang dari jauh, sekadar menjenguk temannya yang malang, saya punya banyak stok senyum untuk menghadapi hari-hari esok.

Sialnya, selepas shopping, mereka melanjutkan jalan-jalan dan kulineran ke Suryakencana. Sebelum kembali berburu jadwal kereta ke Jakarta. Ya Tuhan, gak ngajak-ngajak ya?

***

"Kita terakhir ketemu semua gini kapan ya?"

"Pas bulan puasa dua tahun lalu, kan? Pas aku ke Jakarta, ikut acara buka puasa bersamanya pemkab,"

"Oiya, tapi Dewi gak ada. Malah yang ada tuh si Dwi,"

"Sekarang malah Dwi yang gak ada,"

"Yasudah. Temu berikutnya harus lengkap,"

"Ya giliran kamu dong yang ke Jakarta, mam,"


*Glekk. []



--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

2 comments

  1. Yaampun Mam, aku terharu lho baca tulisan ini. Nanti gantian kami ajak jalan-jalan di pecinan Glodok deh, haha..

    BalasHapus