Perpisahan yang Jauh

Januari 21, 2020

Baca Juga

Usia tak pernah ditentukan seberapa panjang ukiran garis tanganmu. Seberapa sering kamu muncul tiba-tiba ketika orang lain sedang membicarakan namamu. Pun, tubuh yang bugar dan berisi bukan jaminan kamu bisa berpanjang-panjang umur.

Kembali, saya menjumpai hal semacam itu. Bahwa maut selalu tiba tepat waktu. Tak pandang bulu. Tak pernah meragu. Tanpa ambigu. Benar-benar absolut.

***

Kabar duka itu tiba jua. Seorang teman dari Kabupaten Bone, Supriadi, menghadap Yang Maha Kuasa lebih cepat. Jauh lebih cepat dari prasangka kami, teman-temannya, sesama wartawan. 

Sungguh, kami tak pernah menyangka, sakitnya akan berujung pada helaan napas paling terakhir. Kami yang melihat tubuhnya semakin ringkih masih sempat berpikir positif untuk kesehatannya.

Beberapa bulan lalu, kami masih saling bertukar kabar lewat grup konyol di Whatsapp. Rasanya baru kemarin menyerbu dirinya dengan berbagai lelucon yang menyematkannya sebagai Don Juan. 

Tak ada yang menyangkal. Ia pun tak pernah membela diri lebih banyak. Segala lelucon itu justru dilahapnya dengan cekikan dari ujung gadget.

Sejujurnya, saya diam-diam menjadikan banyolan grup itu sebagai pelipur lara. Mungkin, orang-orang di dalamnya tanpa sadar memberi saya alasan untuk tetap menyisakan ruang ingatan bagi mereka. Tujuh bulan adalah waktu yang singkat untuk mengabdikan diri sebagai wartawan di "rumah" mereka. Namun ternyata cukup untuk mendalami karakter-karakter pertemanan yang membuat mulut kaku oleh tawa.

In memoriam. 

Beberapa perjumpaan tak disengaja justru mendekatkan kami. Bagaimana lelaki berkaca mata itu lebih sering mampir ke indekos saya, di Citarum, untuk melepas penat. Bukan untuk menjenguk saya yang tinggal seorang diri. Tetangga di sebelah kamar lah yang lebih banyak menyita dan meminta perhatiannya. Mau tak mau kami harus mengakuinya sebagai yang paling rupawan.

Karena kebiasaan bertandang itu, ia juga sudah terbiasa dengan kami para penggila Pro Evolution Soccer (PES). Meski tak pernah ikut memasang tim, ia sudah menjadi bagian dari tim kami di dunia nyata.

Kami kerap menghabiskan waktu di depan teras kamar. Memaksakan waktu hingga fajar. Mengakali waktu dengan banyak camilan dan bentangan hammock

Baginya, memandangi kami yang sibuk mengumpat karena didera kekalahan bisa jadi hiburan tersendiri. Apalagi ketika sudah membawa-bawa persoalan stik yang dianggap rusak. Ia akan tertawa saja sembari mengunyah camilan hingga kantuk mendera. 

Bagian paling epik ternyata disimpannya di momen terakhir saya memeluk tanah Bugis. Tiba-tiba saja, ia bersama teman yang lain merencanakan farewell party. Katanya, cuma bakar-bakar ikan sebagai perpisahan.

"Biar kami nanti yang pergi beli ikan. Banyak di sekitar Bajoe. Eh, tapi kayaknya sudah tidak ada ikan jam segini," katanya bersemangat, satu malam sebelum saya mengemas barang-barang ke Makassar.

Tak habis pikir, bagaimana ia sanggup meluangkan waktu untuk hal remeh semacam itu. Seperti halnya ulang tahun, saya tak pernah menganggap penting sebuah seremoni. Terserah orang mau mengingatnya atau tidak. Bagi saya, tujuh bulan juga terlalu singkat untuk orang lain agar bisa menyusupkan saya sebagai ingatan.

Kenyataannya, saya dipaksa diam-diam menahan haru. Ia rela meluangkan waktu bersama yang lain hanya demi melepas kepergian saya. 

Perpisahan, apa pun bentuknya, memang mengguratkan kesedihan. Kata orang, perpisahan ada agar segala pertemuan punya makna. Bagaimana kita menghargai waktu-waktu yang dilalui sebelum berpisah. 

Dan kini, giliran kami yang harus melepaskan kepergiannya. Tanpa isyarat. Tanpa syarat. 

Kami akhirnya terpisah. Sebenar-benarnya terpisah dimensi dan realitas. Kami, yang masih fana. Sementara jiwanya, yang kekal menembus masa. 

Tak ada yang lebih menyakitkan daripada ditinggal seorang teman seperjuangan. Sebesar sesal itu yang menghujam ulu hati teman-teman di Kabupaten Bone. Pun, saya hanya bisa mengirimkan secuil doa dari jauh.

Terima kasih telah berjuang hingga kekuatan terakhirmu. 

Berbahagialah dengan segala doa dari mereka yang menolak melupakanmu.

Selamat jalan.

Kedua dari kanan.


--Imam Rahmanto-- 

You Might Also Like

0 comments