Adaptasi Kopi

Januari 19, 2020

Baca Juga

Basah di mana-mana. Mendung kali ini puas menumpahkan hujannya. Sejak sore, saya juga mendapati langit yang menyala-nyala. Garis petir sambung-menyambung menembus permukaan awan gelap. Muncul bergantian di antara gedung-gedung yang menjulang. Terasa amat jelas.

Sederhana banget, kan? (Imam Rahmanto)

Saya baru saja memesan kopi di warung kelontong pinggir jalan. Kios satu-satunya dengan satu meja dan kursi seadanya. Biasanya, beberapa driver ojol akan berkumpul di meja itu sembari menunggu orderan. Sementara di tepian trotoar, mas-mas tukang bakso atau siomay sesekali mampir jika hendak pulang.

"Be, satu kopimiks (coffeemix) ya," sembari membuka stoples wafer Bengbeng-nya.

Lelaki tua berkaca mata langsung menyeduhkan kopi sasetan di belakang kios. Cukup hitungan menit, seduhan kopi di dalam gelas plastik diserahkannya pada saya yang duduk di tembok pembatas trotoar.

Ia tampaknya sudah hafal betul dengan wajah-wajah pelanggan yang menghuni gedung kantor kami. Tidak seperti saya, yang baru dikenalnya selama dua minggu terakhir. Itu pun karena saya kerap duduk-duduk bersama satu rekan kantor.

Lelaki penjaga kios itu menawarkan sobekan kardus untuk menjadi alas duduk. Tembok trotoar memang masih basah. Tetesan hujan dari dedaunan pohon juga masih jatuh di atas layar gadget yang saya mainkan. Berkali-kali harus mengusapkannya ke kain celana.

Saya banyak mendapati kopi-kopi sasetan semenjak berada di kota ini. Di setiap sudut kota, selalu ada kios-kios kecil yang menyediakan seduhan kopi semacam itu. Tinggal pilih saja dari berbagai merek yang bergelantungan.

Bukan berarti tidak ada pilihan kopi modern atau coffee shop di kota ini. Justru, kafe-kafe dan warkop sangat menjamur. Sebagian besar menyajikan kopi asli arabika khas Malabar. Sisanya lagi, meramu tren kopi-kopi "indie" yang menjual kata-kata. Sepertinya lebih dikenal dengan signature coffee. Saya juga masih sering menjajal satu-satu.

Keberadaan kopi pinggir jalan itu, bagi saya, menunjukkan beraneka ragamnya orang-orang yang hidup di kota ini. Mereka mencari cuan dengan banyak cara. Malah, di kota Jakarta, kopi-kopi semacam itu dikenal dengan nama Starling a.k.a Starbucks Keliling. Sasetan yang dijajakan dengan sepeda. Hanya perlu diseduh dengan air panas di dalam termos.

Tak perlu menyangkalnya berlebihan. Saya hanya berusaha menikmati momennya. Duduk di pembatas trotoar. Membaui udara lembap sehabis hujan. Mengabaikan deru mobil yang memekakkan telinga. Mengamati satu per satu orang yang berjalan kaki. Dan lagi, memikirkan bagaimana pekerjaan akan menempa saya di tempat yang masih terasa asing ini.

Sudah separuh bulan saya beradaptasi dengan segala hal di tempat ini. Sayangnya, teman-teman belum bertambah banyak. Nomor-nomor baru yang justru berlari lebih kencang. Sementara nomor-nomor lama, mulai redup bertanya kabar. Sekadar tanya basa-basi "Bagaimana harimu?" sebenarnya sudah bisa menghidupkan secercah harapan bagi saya. Harapan agar tak dilupakan dan melupakan.

Yah, sudahlah.

Saya masih harus mengerjakan hal lainnya di kota ini. Kemarin, kabar dari adik saya tiba seperti biasanya. Selain ungkapan-ungkapan terima kasih dan rasa sayangnya, rincian tagihan ternyata mendominasi isi kepala.

"Jumlahnya itu segitu. Harus dibayar sebelum praktik," pesannya, yang telanjur mengirimkan foto rincian tagihan dari kampusnya.

Seketika, saya butuh lebih banyak kopi.


--Imam Rahmanto-- 

You Might Also Like

2 comments