Remah-remah Ojol
Januari 16, 2020Baca Juga
Koordinat yang ditentukan sudah tepat. Harga sudah tertera. Seperti biasa, pesan singkat dari driver akan tiba setelahnya. Saya membalasnya singkat saja.
"Sesuai titik, bang."
Saya hampir hafal semua kebiasaan driver ojek online (ojol) di kota ini. Saban hari, saya harus berjumpa salah satu dari mereka. Menumpang di jok belakang. Memastikan titik yang dituju. Membayar secara cash atau online.
Karena belum begitu mengenal lokasi di sini, saya masih ragu menumpang mobil angkutan kota (angkot). Rutenya juga hanya di jalanan besar. Tak menyentuh semua gang.
Sebenarnya, jumlah angkot di kota Bogor sangat banyak. Jika saya hafal rute sesuai nomor-nomor yang tertera di jendelanya, bisa menghemat ongkos lebih banyak. Saya ingat betul perkataan driver yang pertama kali menjemput saya dari Stasiun Bogor mencari alamat indekos di Bubulak.
"Bogor mah bukan kota hujan, bang. Kota angkot. Udah terlalu banyak angkot di mana-mana," ujarnya, di antara gerimis kala itu.
Beruntungnya, saya belum pernah diadang hujan lebat setiap kali dibonceng abang-abang berjaket hijau itu. Hanya gerimis. Hujan lebat justru tiba saat perjalanan diboncengn rekan saya ke wilayah kabupaten. Kami pun dipaksa berteduh di antara deadline liputan bencana longsor.
Seringkali, saya mengusir kejenuhan dengan berbincang dengan mereka. Paling sering, perbincangan tentang pekerjaan ojol itu sendiri. Seluk-beluk yang biasa berujung pada curahan hati.
"Kalau poinnya, beda-beda, bang. Food delivery lebih tinggi poinnya ketimbang mengantarkan orang. Kalau target poin terpenuhi, dapat bonus,"
"Saya kagum dengan orang-orang yang pakai G***k. Karena dengan begitu, mereka cinta produk anak bangsa,"
Di waktu yang lain, saya juga menjumpai driver yang sangat kreatif. Ia bisa mendapatkan banyak rupiah dari pekerjaannya itu. Soal poin, tak pernah kurang dari target.
Ia juga sedikit memodifikasi bagian belakang motornya sebagai reklame berjalan. Toko-toko online tertentu akan memberikannya fee per bulan untuk setiap produk yang dipamerkan di jok belakang itu. Driver itu punya ilmu marketing secara autodidak.
"Saya sebenarnya juga masih kuliah, bang. Sempat kerja tapi resign karena tidak tahan dengan waktunya. Kalau kerja begini, saya yang atur sendiri," tutur driver yang juga mengaku perantauan ini. Perasaan saya sepulang dari kantor agak membaik, hanya karena memiliki "teman senasib".
Remeh-temeh percakapan semacam itu kadang berhasil membuat saya tersenyum. Sebagai orang baru, dengan kondisi serba terbatas, saya butuh mencari remah-remah semangat dari mana pun. Adaptasi saya juga harus berlangsung sesingkat mungkin.
"Tapi, logatnya gak kelihatan kalau bukan orang sini, bang," salah seorang driver pernah tak percaya kalau saya adalah rantauan.
"Mungkin karena beberapa teman saya dari luar sih, bang. Makanya udah adaptasi soal dialek juga, mungkin," jawab saya.
Momen receh itu anggap saja sebagai pelepas penat. Saya tak punya banyak hiburan di tempat ini. Kopi menjadi barang cukup mewah bagi saya. Saya harus menahan diri karena ada orang lain yang mesti saya pikirkan; adik.
"Kira-kira ada lampu merah yang lebih lama lagi ya disini?" saya bertanya suatu ketika menunggu antrean lampu merah yang mengesalkan.
Dijawab driver ojol, "Ada, mas. Istri saya."
Sungguh receh.
Saya mungkin lebih banyak berkawan dengan para pengemudi ojol. Hanya sesekali dibonceng rekan dari media yang sama. Itu pun ketika kami punya rencana yang sama. Atau tetiba penugasan lokasi liputan berdekatan. Ia akan menjemput atau menyambangi saya.
Dari "teman-teman" driver, saya melihat arti kerja keras yang terpatri cukup dalam. Ada yang keluar pagi-pagi. Pulang lewat tengah malam. Ada juga yang masih menanti orderan lewat dari tengah malam. Urusan makanan, saya juga banyak memesan via aplikasi. Tagihan di email saya sudah sesak dengan kuitansi atau receipts ojol.
Biasanya, saya memang ingin mencari secercah harapan dari obrolan-obrolan singkat sepanjang jalan. Apa yang membuat mereka betah. Apa yang membuat mereka rela keluar lebih pagi. Apa yang membuat mereka tidak memikirkan kata orang. Sementara saya masih mencari bentuk yang hakiki di tempat ini.
Ketika kota ini menyisihkan kenalan, menjadikan saya sebagai orang asing, keberadaan profesi yang tak jarang dipandang momok, bisa membuat anjlok seluruh mood dalam satu hari. Saya sungguh mengalami hari yang buruk.
Ucapan sederhana menjadi lebih berharga.
"Semoga sukses dengan kerjaannya ya, mas."
Seperti itu saja sudah bisa membuat saya tersenyum dan menekan sisi paling keruh dalam kepala. Saya turun dari jok, menyerahkan helm, dan berbalik sembari tersenyum dalam senyap. []
"Sesuai titik, bang."
Saya hampir hafal semua kebiasaan driver ojek online (ojol) di kota ini. Saban hari, saya harus berjumpa salah satu dari mereka. Menumpang di jok belakang. Memastikan titik yang dituju. Membayar secara cash atau online.
Karena belum begitu mengenal lokasi di sini, saya masih ragu menumpang mobil angkutan kota (angkot). Rutenya juga hanya di jalanan besar. Tak menyentuh semua gang.
Sebenarnya, jumlah angkot di kota Bogor sangat banyak. Jika saya hafal rute sesuai nomor-nomor yang tertera di jendelanya, bisa menghemat ongkos lebih banyak. Saya ingat betul perkataan driver yang pertama kali menjemput saya dari Stasiun Bogor mencari alamat indekos di Bubulak.
"Bogor mah bukan kota hujan, bang. Kota angkot. Udah terlalu banyak angkot di mana-mana," ujarnya, di antara gerimis kala itu.
Beruntungnya, saya belum pernah diadang hujan lebat setiap kali dibonceng abang-abang berjaket hijau itu. Hanya gerimis. Hujan lebat justru tiba saat perjalanan diboncengn rekan saya ke wilayah kabupaten. Kami pun dipaksa berteduh di antara deadline liputan bencana longsor.
Seringkali, saya mengusir kejenuhan dengan berbincang dengan mereka. Paling sering, perbincangan tentang pekerjaan ojol itu sendiri. Seluk-beluk yang biasa berujung pada curahan hati.
"Kalau poinnya, beda-beda, bang. Food delivery lebih tinggi poinnya ketimbang mengantarkan orang. Kalau target poin terpenuhi, dapat bonus,"
"Saya kagum dengan orang-orang yang pakai G***k. Karena dengan begitu, mereka cinta produk anak bangsa,"
Di waktu yang lain, saya juga menjumpai driver yang sangat kreatif. Ia bisa mendapatkan banyak rupiah dari pekerjaannya itu. Soal poin, tak pernah kurang dari target.
Ia juga sedikit memodifikasi bagian belakang motornya sebagai reklame berjalan. Toko-toko online tertentu akan memberikannya fee per bulan untuk setiap produk yang dipamerkan di jok belakang itu. Driver itu punya ilmu marketing secara autodidak.
"Saya sebenarnya juga masih kuliah, bang. Sempat kerja tapi resign karena tidak tahan dengan waktunya. Kalau kerja begini, saya yang atur sendiri," tutur driver yang juga mengaku perantauan ini. Perasaan saya sepulang dari kantor agak membaik, hanya karena memiliki "teman senasib".
Remeh-temeh percakapan semacam itu kadang berhasil membuat saya tersenyum. Sebagai orang baru, dengan kondisi serba terbatas, saya butuh mencari remah-remah semangat dari mana pun. Adaptasi saya juga harus berlangsung sesingkat mungkin.
"Tapi, logatnya gak kelihatan kalau bukan orang sini, bang," salah seorang driver pernah tak percaya kalau saya adalah rantauan.
"Mungkin karena beberapa teman saya dari luar sih, bang. Makanya udah adaptasi soal dialek juga, mungkin," jawab saya.
Momen receh itu anggap saja sebagai pelepas penat. Saya tak punya banyak hiburan di tempat ini. Kopi menjadi barang cukup mewah bagi saya. Saya harus menahan diri karena ada orang lain yang mesti saya pikirkan; adik.
"Kira-kira ada lampu merah yang lebih lama lagi ya disini?" saya bertanya suatu ketika menunggu antrean lampu merah yang mengesalkan.
Dijawab driver ojol, "Ada, mas. Istri saya."
Sungguh receh.
***
Hanya orang lewat, tetapi tak melewatkan senja dari pinggir jalan. (Imam Rahmanto) |
Saya mungkin lebih banyak berkawan dengan para pengemudi ojol. Hanya sesekali dibonceng rekan dari media yang sama. Itu pun ketika kami punya rencana yang sama. Atau tetiba penugasan lokasi liputan berdekatan. Ia akan menjemput atau menyambangi saya.
Dari "teman-teman" driver, saya melihat arti kerja keras yang terpatri cukup dalam. Ada yang keluar pagi-pagi. Pulang lewat tengah malam. Ada juga yang masih menanti orderan lewat dari tengah malam. Urusan makanan, saya juga banyak memesan via aplikasi. Tagihan di email saya sudah sesak dengan kuitansi atau receipts ojol.
Biasanya, saya memang ingin mencari secercah harapan dari obrolan-obrolan singkat sepanjang jalan. Apa yang membuat mereka betah. Apa yang membuat mereka rela keluar lebih pagi. Apa yang membuat mereka tidak memikirkan kata orang. Sementara saya masih mencari bentuk yang hakiki di tempat ini.
Ketika kota ini menyisihkan kenalan, menjadikan saya sebagai orang asing, keberadaan profesi yang tak jarang dipandang momok, bisa membuat anjlok seluruh mood dalam satu hari. Saya sungguh mengalami hari yang buruk.
Ucapan sederhana menjadi lebih berharga.
"Semoga sukses dengan kerjaannya ya, mas."
Seperti itu saja sudah bisa membuat saya tersenyum dan menekan sisi paling keruh dalam kepala. Saya turun dari jok, menyerahkan helm, dan berbalik sembari tersenyum dalam senyap. []
--Imam Rahmanto--
0 comments